Part 4 - You Can Do It

7.1K 124 6
                                    

Keesokannya di saat pelajaran olahraga, kami sekelas berkumpul di lapangan basket yang terletak di depan gedung SMA. Walaupun aku suka pelajaran olahraga, tetapi bidang ini bukanlah keahlianku. Pernah satu kali pelipis-ku terhantam bola basket sehingga menjadi bengkak berwarna biru. Sejak saat itu aku tidak pernah serius pada pelajaran olahraga.

Oh my God, hari ini panas bangett,” Gerutu-ku kepada Amelie sambil berusaha menghalang sinar matahari dengan telapak tanganku. Kelompok wanita di kelasku termasuk aku sedang bermain basket. Tapi posisi-ku selalu kosong karena mereka tidak akan mengoper bola padaku karena aku sangat bodoh dalam bermain basket.

“Bangett! Aku perlu minuman dingin nih!” kata Amelie sehabis mengoper bolanya, lalu mengibas-ibas baju olahraganya.

“Oke! Kelompok wanita boleh istirahat. Gantian kelompok pria main basket!” Teriak guru olahraga kami, Pak Guntur.

Kelompok pria pun langsung berdiri dari tempat duduk mereka dan berjalan ke tengah lapangan basket. Aku bisa melihat mereka sangat bersemangat dan tidak sabar untuk bermain. Beda dengan kelompok wanita. Kami pun langsung berhenti bermain basket dan langsung pergi berteduh untuk duduk di pinggir lapangan basket.

“Asiik! Waktunya istirahat!” kataku girang dengan suara lancang. Aku berpapasan dengan Jeremy dan aku berani sumpah, aku bisa melihat senyuman terlukis di wajahnya setelah aku ngomong begitu. Atau mungkin dia tersenyum karena habis memikirkan hal yang lucu. Itu bisa saja terjadi.

Kami pun beristihat sambil memperhatikan para laki-laki yang sedang bermain basket.

“Wah! Jeremy keren sekali!”

Mataku membesar ketika kudengar kalimat itu dari sisi kanan-ku. Aku menengok ke kanan dan kulihat teman sekelasku yang bernama Lena sedang memandang anak laki-laki bermain basket di lapangan. 

“Tuhkan! Jeremy jago banget barusan dia bikin point lagi,” bisik Lena kepada teman baiknya. Walaupun Lena berusaha berbicara dengan suara yang sangat pelan, entah bagaimana telingaku menjadi setajam pendengaran anjing kalau ada seseorang membicarakan tentang Jeremy.

Tambah satu saingan deh, pikirku sambil menghela napas. Aku memperhatikan Lena dan melihat wajah Lena yang berbinar-binar seperti sedang melihat bintang film dari Hollywood. Bukan hanya itu, aku juga melihat perempuan dengan wajah yang sangat manis dengan rambut lurus rapih sepundak dan mata bulat yang dihiasi dengan kacamata. Walaupun dengan kacamatanya, itu tidak membuatnya jelek sedikitpun. Dia malah terlihat sangat pintar. Dia memang terkenal pintar, baik dan ceria.

Aku bisa melihat beberapa kelompok pria yang bermain basket selalu memandang ke arah Lena setelah mereka mencetak point. Dan setelah kuperhatikan, sebagian besar dari kelompok wanita, pandangan mereka selalu tertuju kepada Jeremy.

Ternyata sainganku bukan satu tetapi mungkin bisa ratusan. Dan kuakui, Jeremy dan Lena bisa jadi pasangan yang sangat serasi kalau di lihat-lihat.

---

Agh, bukan hanya badanku yang mau rontok karena pelajaran olahraga tadi, tapi pikiranku juga sudah mau meledak karena memikirkan Jeremy sepanjang hari. Setelah kejadian Jeremy memberikanku kursi, aku tidak pernah lagi mengobrol dengannya. Bahkan dia tidak pernah melihat ke arahku seakan-akan aku ini invisible. Aku pulang ke rumah sambil menghela napas panjang entah sudah yang keberapa kali. Sesampainya di rumahku, aku melihat mobil Ibu Jane yang sedang terparkir di depan rumahku. Tandanya Jane juga pasti sedang di dalam rumahku. Aku tersenyum lega seakan-akan baru mendapatkan setitik harapan. Setitik harapan dari Jane yang mungkin bisa memberiku nasihat atau masukan apapun agar Jeremy bisa menyadari kehadiranku.

            Kaki-ku berlari menuju ruang tamu dan melihat Jane yang sedang bermain dengan handphone-nya sambil mendengarkan ibuku dan ibu Jane sedang berbincang. Tanpa menyambut terlebih dahulu, aku langsung lari menuju Jane dan merangkul lehernya lalu menariknya menjauh dari ibu-ibu kami.

Forever and Always (Michelle's POV)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang