Part 8 - Just An Ordinary Girl

5.4K 107 7
                                    

“Tenang saja, Lena. Jangan di pikirkan. Kau pasti akan mendapatkan Jeremy kok. Kalian kan sudah sangat dekat.”

Aku yang masih di dalam kabin toilet sekolah setelah buang air kecil, tiba-tiba mendengar suara teman baik Lena yang sedang menyemangati Lena. Tidak tahu harus berbuat apa jadi kuputuskan untuk diam dan tidak keluar dari kabin toilet. Aih! Sialnya ke toilet pada waktu yang kurang tepat.

“Tapi kelihatannya Jeremy sudah semakin dekat dengan Michelle,” Kata Lena yang terdengar khawatir. Aku bisa membayangkan Lena yang pasti sedang mengigit kukunya karena dia selalu melakukan itu setiap kali dia gugup dan khawatir.

“Memang sih. Tapi mereka kan baru akhir-akhir ini dekatnya. Sedangkan kau sudah dekat dengannya sejak 3 tahun yang lalu!” Aku yang masih berdiri seperti patung di dalam kamar kecil ini berpikir, tentu saja perempuan semanis Lena memang pantas bergaul dengan geng cowok populer di kelasku. 

“Lagipula, sepertinya hampir sekelas tahu kalau kau suka Jeremy, deh,” tambah temannya Lena.

“Tapi hanya saja, Jeremy sepertinya tidak tahu,” Jawab Lena yang makin terdengar putus asa.

Aku masih tidak bisa habis pikir, dengan satu kalimat Jeremy waktu itu, bisa membuat Lena, wanita yang paling pintar dan cantik di kelas menjadi putus harapan begini. Dan memang betul dengan kenyataan bahwa hampir smua orang di kelasku mengetahui kalau Lena menyukai Jeremy. Itu sebabnya mereka selalu mencoba untuk menjodohkan Lena dan Jeremy. Tapi sepertinya Jeremy hanya menganggapnya sebagai candaan. Jeremy kelihatannya kurang sensitif untuk masalah ini. Bisa dibilang begitu.

“Ih! Yang bikin aku sebal itu ketika Jeremy mengusir aku seakan-akan aku mengganggu pembicaraannya dengan Michelle. Aku jadi merasa Jeremy lebih memilih Michelle dibanding aku yang sudah dekat dengannya jauh lebih lama!” kata Lena yang suaranya berubah dari khawatir menjadi terdengar amarah.

“Tenang saja lah. Kamu harus mendekati Jeremy lebih lagi. Lagipula kau kan jauh lebih cantik dari Michelle.”

Aku tidak percaya apa yang barusan aku dengar. Kakiku otomatis menginjak pedal toilet untuk mem-flush-nya. Sekarang aku tidak mendengar suara apa-apa di kamar kecil ini, sepertinya Lena dan temannya menyadari bahwa pembicaraan mereka telah terdengar oleh seseorang. Mereka cepat-cepat keluar tanpa mengeluarkan suara. Seharusnya ini yang harus kulakukan 5 menit yang lalu. Aku tidak tahu apakah aku harus kesal atau sedih. Mungkin aku kesal mereka membicarakan aku di belakang. Mungkin aku sedih karena sekarang sudah ada orang yang melihatku sebagai saingan. Atau mungkin aku sedih karena aku tidak akan mungkin mendapatkan Jeremy dengan tampang yang pas-pasan begini. Aku tidak yakin.

Jantungku terasa aneh dan tanganku terasa panas. Aku kembali ke kelas dan mendapati Jeremy dan Lena yang sedang mengobrol di kelas. Postur ideal Lena dengan badannya yang lumayan tinggi dan dengan wajahnya manisnya dan otak pintarnya, lelaki mana yang bisa menolak Lena. Harus kuakui Lena memang cocok berpasangan dengan Jeremy.

Mungkin sekarang mataku terbuka; bahwa gadis biasa sepertiku tidak akan mungkin bisa berpasangan dengan cowok perfect seperti Jeremy. Kenapa aku bisa punya perasaan suka ini terhadap Jeremy? Padahal aku tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang sebelumnya. Kenapa harus Jeremy? Aku terus bertanya kepada diriku sendiri dan hasilnya nihil. Aku sendiri tdak tahu kenapa aku bisa suka padanya.

“HOI!!!” suara familiar yang dari arah belakangku ini membuatku kaget setengah mati,

Tentu saja, suara familiar ini adalah suara David.

“Ihh! Iseng bangett. Kagett nih,” kataku sambil mengelus-elus dadaku.

“Hahaha siapa suruh kau melamun terus,” katanya yang sambil cekikikan sehabis melihat diriku yang meloncat karena dikagetin.

“Pergi sana, orang iseng!!” Aku mendorongnya pergi

“Makanya jangan melamun di siang bolong begini” katanya sambil tertawa-tertawa.

“Bukannya melamun tapi banyak pikiran tau,” Aku mengoreksinya.

“Sok banget, masih kecil sudah banyak pikiran” Kata David yang menganggapnya sebagai candaan.

“Ihh, beneran tau, yang kecil mah kamu,” Kataku yang meledek tinggi badannya sambil bercanda karena David mempunyai tinggi badan yang sama denganku. 

“Heh, siapa yang kecil!” katanya sambil menjinjit.

“Btw, apakah kamu melihat Amelie?” tanyaku kepadanya.

David terlihat bingung lalu berkata, “Hah? Amelie dari tadi duduk di kursinya.” Kupikir dia bercanda lalu aku menengok ke arah kursi Amelie dan David memang betul, daritadi Amelie memang duduk di kursinya. Aku jadi tidak fokus gara-gara pembicaraan Lena dengan temannya. 

Aku menghampiri Amelie yang sedang membaca buku, “Ameliee, gawat aku suka seseorang,” kataku dengan suara yang cukup pelan agar orang-orang tidak bisa mendengar suaraku. Kata-kataku ini membuat mata Amelie membesar dan langsung menutup buku yang sedang dibacanya itu.

“Bohong!” Katanya tidak percaya

“Kok bohong?? Benerann!” kataku sambil melotot Amelie.

Mata Amelie semakin membesar seakan-akan bisa jatuh keluar, “Siapaaaaaa??” tanyanya dengan nada yang tidak santai.

Aku tertawa melihat ekspresinya itu, “Hahahaha, tebak!” 

“David ya??” tanya Amelie

“Kamu gila ya? Bukann David! Aku tidak mungkin suka sama David!” kataku yang tidak menyangka Amelia akan menjawab David.

“Siapa dong?” kata Amelie yang mulai kebingungan. “Michael? Joseph? Dereck? Henry? Andrew?”

“Hahaha! Nope!!”

“Siapa?? Just let me know right now!” kata Amelie yang tidak sabaran sambil memohon-mohon.

“Jeremy,” Kataku yang kasihan melihat Amelie yang putus asa.

“Jeremyy??” Tanya Amelie yang tidak percaya kalau aku menyukai Jeremy. “Wow, dari seluruh teman lelaki di kelas kita, kamu memilih untuk menyukai Jeremy yang sangat populer itu? Sepengetahuanku sepertinya banyak yang menyukai Jeremy.”

Aku menghela napas panjang, “Termasuk Lena. Ugh! Bagaimana ini? Aku tidak tahu alasan kenapa aku bisa menyukai Jeremy sampai segininya.”

“Sainganmu berat juga ya. Dan memang cinta itu memang tidak dapat di prediksi. Tapi jangan khawatir, kamu harus berusaha mendapatkan Jeremy. Aku akan mendukungmu.” Inilah yang kusuka dari Amelie, dukungannya selalu dapat membuatku lebih tenang.

“Terima kasih, tapi sepertinya aku harus menyerah karena aku tidak akan bisa menang dari Lena. Dia terlalu cantik dan pintar!” 

“Heyy.. Ini bukan masalah menang atau kalah. Tapi masalah perasaan kamu dan Jeremy. Kalau Jeremy suka padamu, dia akan suka padamu dengan tulus tanpa mempedulikan penampilan fisik.” Aku merasa Amelie sudah seperti berumur 100 tahun setiap kali dia memberikanku nasihatnya.

“Woah! Aku harus banyak belajar dari kamu kalau tentang masalah ini. Sepertinya kamu sudah berpengalaman ya.” Seharusnya aku beritahu masalah ini ke Amelie sejak dulu. Dia memang dapat di andalkan.

“Aku kan sudah punya pacar, makanya jadi expert dalam hal beginian. Hehe. Kamu masih harus banyak belajar.” katanya yang mengetahui kalau aku tidak pernah berpacaran dengan siapapun sebelumnya.

“Yes, Master! Aku akan berjuang!” kataku sambil mengepalkan kedua tanganku.

Aku akan berjuang.

Forever and Always (Michelle's POV)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang