ii. loser

615 86 2
                                    

'Jangan kabur, jangan kabur, jangan kabur.'

Entah sebanyak apa dirinya telah mengulang kalimat itu. 2 hari berlalu sejak pertengkaran dengan Ayahnya. Dan selama itu pula Sarada sama sekali tidak beranjak dari kamarnya. Hanya Jeanne yang ia izinkan untuk keluar dan masuk.

Nyatanya, Sarada tak cukup berani untuk menghadapi semua hal yang berhubungan dengan kehidupan lamanya. Tak apa jika dirinya dikatakan pengecut. Namun, rasa takut itu akan dengan mudah menguasai dirinya.

Tapi dengan berdiam diri seperti ini juga tidak akan mengubah apapun. Apalagi ia mengerti Sasuke juga sudah membuat keputusannya. Sarada memang harus pergi ke Chesterfield.

"Jeanne, siapkan kebutuhanku untuk pergi ke Chesterfield." perintahnya begitu ia bangkit dari tempat tidur.

"Yang Mulia yakin akan pergi?" tanya Jeanne berhati-hati.

"Hmm."

Gumaman Sarada bukan menjadi hal yang ambigu lagi baginya. Wanita yang telah setia mengikuti Sarada sejak kecil itu menyusulnya ke balkon. Menuangkan teh hitam dan menata cemilan sore diatas meja kecil.

"Kalau begitu, saya izin kembali untuk menyiapkan keperluan Yang Mulia."

"Pintunya jangan ditutup,"

"Baik, Yang Mulia."

Semilir angin menyapa lembut permukaan kulitnya. Kicauan burung acap kali terdengar dari kejauhan. Dahan-dahan pohon yang kerap bergesekan juga terdengar oleh telinganya. Sore ini terasa begitu menenangkan.

Semburat oranye turut menghiasi langit dan membiaskan warna keunguan. Hingga netranya terpusat pada sosok yang berlari menyebrangi taman dalam istana. Surai pirang itu bergerak seiring dengan sang pemilik yang terus berlarian.

Pandangannya terkunci pada pemuda itu. Tanpa ia sadari jika langkah pemuda itu terhenti. Kepalanya mendongak, netranya menyipit saat sinar mentari memasuki inderanya. Begitu safir miliknya menemukan sosok Sarada, kedua ujung bibirnya tertarik. Melukiskan sebuah senyum hangat kepada Sarada.

Satu tangan pemuda itu terangkat, melambai kepada Sarada yang masih mematung. Tungkainya lemas. Begitu pemuda itu berbalik untuk melanjutkan kegiatannya, Sarada jatuh terduduk. Kedua tangan miliknya terangkat menutup mulut agar tak mengeluarkan isakan.

"Boruto..."

Hal konyol yang lagi-lagi tak ia mengerti. Mengapa perasaannya kini bergejolak. Sarada merasa ingin berlari dan memeluk pemuda itu. Namun, akal sehatnya menahan untuk tak melakukan hal konyol. Yang malah membuat dirinya merasa sesak.

🔆

Dokumen penugasannya ke Chesterfield telah berada diatas meja saat Sarada membuka matanya pagi itu. Tugas kali benar - benar tak bisa ia hindari. Bahkan 3 koper besar telah tertata dipojok kamarnya.

Sarada bangkit untuk bersiap. Tak butuh waktu lama untuknya menyelesaikan riasan dan memakai gaun. Tentu saja dibantu oleh dayang-dayangnya.

Kakinya melangkah menyusuri lorong istana yang masih lengang pagi itu. Barang-barang miliknya telah terlebih dahulu diantarkan dengan kereta kuda menuju Pangkalan Udara. Sarada melepas topinya begitu memasuki kereta kuda.

"Hati-hati dalam perjalanan Anda, Yang Mulia." ucap Jeanne sebelum memberikan hormat. 3 pelayan lain dibelakangnya juga mengikuti.

Anggukan ia berikan sebagai jawaban, "Jalan," perintahnya pada Sang Supir.

Once Again ㅡ borusara. [ON REVISION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang