"Kau tahu, menolak kerja sama ini sama saja dengan membahayakan organisasimu, Sano Manjiro."
"Jadi kau mengundangku kesini hanya untuk mengancamku dengan hal semacam itu?"
Ini sudah pukul 23.00, namun Manjiro dan Takeomi belum pulang ke mansion karena mendapat undangan dadakan untuk bertemu dengan perwakilan dari Tenryu, untuk membahas kembali tentang kerja sama yang sempat ditolak.
"Kami hanya mau bekerja sama, jika kami bertemu langsung dengan pemimpin Tenryu." ujar Takeomi.
"Maaf, sepertinya itu mustahil." jawab utusan Tenryu, "Tanpa kehadiran bos Tenryu ... ku jamin bahwa bisnis hasil kerja sama ini akan berjalan dengan baik."
Manjiro hanya menatap datar kepada lelaki itu, tidak ada minat sedikitpun untuknya melakukan kerja sama bisnis dengan keuntungan yang kecil seperti yang Kokonoi katakan.
Yang menarik baginya kali ini adalah untuk mengetahui identitas pemimpin Tenryu yang sebenarnya.
"Ayah! Sialan! Kau bahkan tak membiarkanku keluar dari dunia yang gelap ini setelah kau mati sekalipun!"
Ucapan [name] yang sedang mabuk saat itu kini berputar di kepalanya, membuat Manjiro semakin berambisi untuk membunuh pemimpin Tenryu sekaligus dengan menghancurkan organisasinya. Agar istrinya bisa mendapatkan kebebasan untuk melakukan apapun yang ia inginkan selama ini.
"Aku beri waktu sampai besok, katakan pada bosmu ... kalau Sano Manjiro hanya akan setuju jika dia berhadapan langsung dengan pemimpinnya langsung." ucap Manjiro.
"Sudah kubilang, tidak bisa." ujar utusan itu.
"Ya sudah, lupakan bisnis itu dan matilah saja kalian semua." ujar Takeomi dengan santai.
Manjiro dan Takeomi pun keluar ruangan, namun segera dihentikan dengan beberapa pria yang menodongkan senjata pada mereka berdua saat akan keluar dari ruangan.
"Tidak ada yang mengizinkan kalian pergi, sebelum kalian menyetujuinya!" seru utusan itu, namun tak membuat mereka takut sama sekali.
"Gegabah." gumam Takeomi.
"Sanzu! Kakucho!" seru Manjiro dan tiba-tiba ...
Srettt!
Dor!
Dor!
Semua lelaki yang menodongkan senjata pada Manjiro dan Takeomi kini semuanya tumbang.
"Harunya ini semua bagianku saja, aku kurang puas menebas mereka semua!" racau Sanzu sambil cengengesan, sepertinya dia berada dalam pengaruh obat-obatan.
"Mempercepat durasi, bersyukurlah aku ada disini membantumu." ketus Kakucho menanggapi Sanzu.
Sedangkan utusan dari Tenryu tadi kini sudah menghilang dalam sekejap mata, entah bagaimana caranya ia pergi, hanya ada jendela yang terbuka lebar.
Tunggu, apa lelaki itu terjun dari ruangan ini yang berada di lantai 20?
Takeomi segera mengeceknya, dan itu salah.
"Kemana sialan itu pergi?!" tanya Sanzu kesal.
"Ayo, kita harus pergi sekarang." ajak Kakucho.
"Tenryu, kalian membuatku tak bisa menepati janjiku kali ini."
-
Tengah malam, dan [name] belum memejamkan matanya sama sekali. Sosok yang ia tunggu tak kunjung datang padahal ia sudah berjanji takkan pulang terlalu malam.
Kini sedikit rasa sakit itu mulai berkurang dan ia masih bisa berjalan walaupun masih agak tertatih dan terkadang butuh penyangga.
Lupakan soal kakinya, apa ia tidur saja sekarang?
Tunggu sebentar lagi, siapa tahu suaminya akan datang sebentar lagi.
Sejak sore tadi itulah perkiraannya, namun sampai kini tak ada sama sekali yang terjadi sesuai pemilkirannya.
[name] memutuskan untuk menunggu sebentar lagi, ia bangun dari tempat tidurnya karena ia ingin diam di balkon untuk menunggu kedatangan Manjiro. Namun saat ia membuka pintu ia terkejut karena Manjiro sudah berada disana.
"Akhirnya ... kukira kau takkan pulang malam ini." ucap [name] lega.
Tiba-tiba, Manjiro dengan ekspresi lesunya langsung berlutut dihadapan [name] dan hal itu membuat gadisnya refleks memundurkan kakinya karena kaget.
"Apa yang kau lakukan, jangan berlutut seperti itu dihadapanku!" ucap [name] panik.
"Aku ... tidak menepati janji pertamaku padamu." ucap Manjiro dengan sorot mata penyesalan, "bunuh aku, atau lakukan apapun yang kau inginkan untuk menebus kesalahanku."
[name] menatap sendu ke arah suaminya yang kini masih berlutut, ia kini memposisikan diri agar sejajar dengannya, menatap wajah prianya yang kini sedang menampakkan raut wajah menyesalnya.
"Selamat karena telah memenuhi janjimu, dan ini belum terlalu malam untukku ... terima kasih sudah pulang."
Walaupun sebenarnya itu adalah kebohongan, karena ini sudah dini hari.
Manjiro membalas tatapan netra [name] dengan lekat, terlihat juga senyuman yang terlukis di wajah istrinya kini membuat hatinya tenang setelah dilanda kekesalan sebelumnya.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Manjiro.
"Kau pernah melakukan hal yang lebih dari itu, kenapa masih bertanya?" tanya balik [name]. "Kau bebas melakukan apapun."
"Kalau aku menginginkanmu? Apa kau bersedia?"
"Kau sudah mendapatkannya, dihadapanmu."
Setidaknya, ini hal yang bisa dilakukan oleh wanita itu untuk membalas budi pada seorang Sano Manjiro.
Tanpa basa-basi lagi, Manjiro segera menyerang bibir wanitanya lembut lalu mengangkat tubuh langsing milik [name] itu dan menendang pintu supaya tertutup rapat dan tak lupa juga untuk menguncinya.
Tidak ada yang boleh mengganggunya malam ini, siapapun orangnya.
"Kalau raja saja berlutut dihadapannya, lalu perempuan itu apa? Dewi?" tanya Sanzu yang sedari tadi menyaksikannya bersama Ran dan Rindou.
"Dia memang seperti dewi disini ...." ujar Ran yang masih belum berkedip sejak menyaksikan kejadian tadi.
"Kakak, aku ingin menikah!" cetus Rindou membuat Ran membelalak kaget.
"Lebih baik kau menyewa jal*ng saja, Rin." jawab Ran.
"Istrimu akan stress berat lalu bunuh diri kalau menikah denganmu, lebih baik jika kita nyabu ... untuk apa menikah? Merepotkan." tanggap Sanzu santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : 𝓢𝓪𝓷𝓸 𝓜𝓪𝓷𝓳𝓲𝓻𝓸
Fanfiction𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : ᵇᵒⁿᵗᵉⁿ ᵉᵈⁱᵗⁱᵒⁿ "Let's married, Manjirou." Hanya mengisahkan tentang y/n yang harus menikah dengan ketua organisasi kriminal bernama Bonten, karena permintaan ayahnya. Tokyo Revengers © Ken Wakui