"[name], senja ini indah ... bukan?"
Seketika wanita itu menoleh ke arah Manjiro dengan tatapan bertanya-tanya.
"Maksudmu?"
"Tidak ada yang akan mengancam nyawamu lagi meski kau hidup dengan bebas diluar sana ... bagaimana?"
[name] tertegun.
Melayangkan isyarat tentang perpisahan?
Darimana pria ini tahu kalau dia ingin hidup seperti manusia pada umumnya? Tanpa ancaman apapun.
Lalu ... Manjiro mengajaknya untuk bercerai?
"Kau gila? Baru saja kau berkata seakan-akan kita takkan berpisah ... tapi kau malah mengatakan hal ini?" tanya [name] kesal. "Lagipula, darimana kau tahu aku ingin hidup dengan bebas? Aku saja tidak pernah mengatakannya padamu."
Manjiro gelagapan, entah apa yang harus ia katakan karena bahkan istrinya tidak mengingat kata-katanya sendiri.
"Aku ... tidak ingat." ucap Manjiro sambil menggaruk tengkuk kepalanya.
[name] hanya senyum menahan tawa menanggapi reaksi dari pemimpin Bonten. Tidak hanya itu, ia suaminya, dan akan terus begitu.
Sampai maut memisahkan mereka.
"Apa kau tidak keberatan untuk aku bebani sampai salah satu dari kita mati?" pertanyaan [name] membuatnya langsung menoleh dengan cepat.
"Bahkan nyawa akan ku berikan untukmu," jawab Manjiro. "Tidak ada yang bisa membuatku hangat dan nyaman, memiliki rumah untuk kembali, dan merasa dicintai, selain oleh istriku." sambungnya.
Demi apapun, [name] merasa lemas mendengarkan kata-kata yang terlontar dari seorang Sano Manjiro. Ia merasa beruntung karena bisa melihat sisi lembut dari manusia yang satu ini.
"Awalnya memang tidak, tapi ... sekarang aku akui kalau aku mencintaimu, dan akan terus begitu."
"Aku bisa menjadi kelemahanmu ... kau tahu? Kejadian waktu itu ...."
"Justru kau kekuatanku, kalau kau melemahkanku ... mungkin aku yang memiliki nasib seperti Hanma."
Kini wanita itu yang tertegun menatap tubuh Manjiro yang mengenakan baju hitam sama sepertinya.
Situasi kelam apapun, akan mereka lewati bersama mulai hari ini.
Setidaknya, sampai mereka berdua mati.
"Kau tahu, aku mencintaimu ... [fullname]." ucap Manjiro lirih, "Tidak, kau adalah Sano [name]."
Dengan cepat [name] memeluk tubuh Manjiro erat, terdiam tanpa suara hingga beberapa saat kemudian terdengar suara isak tangis dengan air mata yang membasahi dada Manjiro.
Wanita ini menangis.
"Aku ... bersyukur karena ayah memang memberikanku opsi terbaik untuk menikah denganmu." lirih [name] sambil terisak.
"Sudahlah, pak tua itu sudah mati ... kau cukup menjalani hidupmu bersamaku disini."
[name] tersenyum, tak lama ia pun memejamkan mata dan terlelap di pelukan suaminya.
"Terima kasih."
-
"Kapan kau akan bangun, nona [name]?"
Cahaya matahari seakan-akan menerobos kelopak mata yang masih terpejam. Wanita itu perlahan membuka mata dengan nuasa ruangan cerah yang langsung menyapa netranya.
"Mana Manjiro?!" tanya [name] panik.
"Aku disini." jawab Manjiro ketus.
[name] langsung melirik ke sekitarnya, dimana ia melihat ada Manjiro dan petinggi Bonten lainnya disana. Melihat lengannya yang sedang diinfus meyakinkannya kalau ia sedang berada di rumah sakit.
"Apa yang terjadi?" tanya [name] linglung.
"Kau bunuh diri saat pulang dari pemakaman ayahmu, setelah bertemu denganku." jelas Manjiro. "Kau sudah koma selama seminggu."
[name] semakin kaget.
Jadi? Mereka belum menikah?
Semua yang ia rasa lalui dari saat menikah hingga di taman itu, hanyalah khayalannya saja?
Ya.
[name] baru mengingatnya, setelah pulang dari pemakaman ayahnya dan mengajak Sano Manjiro menikah, ia nekat untuk menyayat lengannya sendiri. Kesadarannya mulai hilang ketika ia kehilangan banyak darah dan beberapa pengawal yang langsung mengangkat tubuhnya entah mau kemana.
Ia bunuh diri karena saat tiba di rumah, ia malah dengan gilanya berfikir kalau ia ingin menyusul kedua orangtuanya saja saat melihat foto keluarga.
Memang gadis yang tidak bisa berfikir jernih.
"Soal pernikahan itu, kau bisa membatalkannya jika kau tak mau." ucap Manjiro tiba-tiba.
"Eh?" pekik [name] bingung.
"Aku hanya ingin membayar balas budi pada ayahmu sesuai permintaannya, jika kau tak mau aku tak bisa memaksa." ucapnya lagi.
"Kami permisi, lekas sembuh [name]"
Para petinggi Bonten pun berdiri dan menunduk, lalu meninggalkan ruangan rawat inap milik [name], menyisakan ia dan Manjiro.
Beberapa detik mereka saling bertukar pandang, hingga Manjiro mengalihkan pandangannya dan melangkah menuju pintu keluar.
"Manjiro?"
Panggilan dari [name] menghentikan langkah dari pria bersurai putih itu.
"Maafkan aku atas kecerobohanku." lirih [name]
"Minta maaflah pada dirimu sendiri." jawab Manjiro sambil memegang pintu.
"Lalu soal waktu itu ... aku bersedia menikah denganmu, jika kau mau." ujar [name] pelan namun masih bisa terdengar oleh Manjiro sendiri.
Senyuman simpul itu terbentuk di wajah Manjiro tanpa terlihat oleh [name].
"Lekaslah sembuh." ucap Manjiro lalu keluar dari ruangan rawat milik gadis itu dengan senyuman yang semakin merekah.
Hal ini tentunya membuat aneh para petinggi Bonten, selama organisasi ini berdiri rasanya belum pernah mereka melihat bosnya seperti ini.
Ingin bertanya, tapi takutnya ini berbahaya bagi diri mereka.
"Setelah misi hari ini selesai, siapkan pernikahan." ucap Manjiro sambil berjalan cepat meninggalkan bawahannya yang masih kebingungan.
Namun dengan cepat mereka mengerti. Sebentar lagi, Bonten akan memiliki ratu untuk raja mereka.
End.
Untuk semua pembaca cerita ini, aku ucapkan
Terima kasih banyak!
Untuk kesabarannya, dan terus ada disini sampai akhir.
Maafkan aku yang selalu jarang update, jangan kutuk aku:v
Oiya satu lagi, cerita selanjutnya dari Marry Me adalah ....
Sanzu Haruchiyo!
Stay tuned yaaa! Sekali lagi, terima kasih banyak:)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : 𝓢𝓪𝓷𝓸 𝓜𝓪𝓷𝓳𝓲𝓻𝓸
Fanfiction𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : ᵇᵒⁿᵗᵉⁿ ᵉᵈⁱᵗⁱᵒⁿ "Let's married, Manjirou." Hanya mengisahkan tentang y/n yang harus menikah dengan ketua organisasi kriminal bernama Bonten, karena permintaan ayahnya. Tokyo Revengers © Ken Wakui