Ruangan dengan nuansa putih dan dingin itu seakan membuat wanita yang kini sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit itu semakin frustasi.
"Aku ingin pulang." ucapnya dangan nada ketus kepada lelaki bersurai putih yang kini sedang tertidur di pinggir ranjang istrinya.
Manjiro, kenapa ia bisa ada disini setelah dicurangi oleh mereka?
-
Tiga hari yang lalu ...
"Ka ... u ...."
"Nyatanya ... walau kau lebih kuat dariku, namun otakku lebih licik darimu."
Namun tak berselang lama, terdengar suara ledakan di bagian belakang gedung. Sontak Hanma menoleh ke asal suara, dimana siluet kobaran api sudah terlihat jelas oleh matanya..
Eksekutif Bonten bekerja dengan cepat.
"Bos! Cepat lari!" peringatan itu terdengar oleh telinganya, membuat ia tersenyum.
Manjiro, kau kalah.
Ya, setidaknya itulah yang membuat pemimpin tenryu itu tertawa sambil berjalan santai tanpa takut kobaran api dengan cepat melahap tubuhnya.
Dor.
Langkah santai itu terhenti, begitu juga pemilik postur tinggi yang sejak tadi berjalan angkuh itu ambruk ke lantai.
Sano Manjiro tidak akan pingsan begitu saja dengan pukulan balok kayu sisa puing-puing yang rapuh seperti itu.
"Aku yang menang, selamatkan dirimu jika kau mampu ...."
"Karena aku bahkan tak sudi melihatmu hidup setelah memperlakukan istriku seperti itu."
"Dia milikku, jangan coba-coba merebutnya dariku."
" SANO MANJIROO!!"
-
"Kau belum pulih total ... tidak boleh pulang." larang Manjiro sambil mengelus rambut [name] lembut.
Entahlah, beberapa hari yang lalu ia rasa ia hampir gila ketika melihat foto istrinya yang bahkan ia tak ingin membayangkannya.
Ayahnya menjodohkan mereka, agar [name] selalu aman bersamanya. Namun, ia merasa gagal.
Gagal menjaga istrinya, bahkan anaknya.
[name] keguguran setelah peristiwa itu. Terlihat raut wajah marah Manjiro yang berapi-api, bahkan ia ingin kembali ke gedung itu dan memastikan Shuji Hanma benar-benar menjadi santapan si jago merah dan mati, atau tidak.
"Aku sudah memastikannya, sisa tubuh dan abunya dibuang ke laut beberapa hari yang lalu, bos." ucapan Mochi membuat Manjiro berhenti berbuat apa yang ada dalam pikirannya.
Begitu pula anggota Tenryu yang lain, mereka sudah habis oleh anggota Bonten yang lainnya.
Kini ia hanya fokus membantu [name] agar cepat pulih.
Ditengah lamunan itu, netra mereka saling beradu pandang dengan tatapan sendu.
[name], air matanya tiba-tiba menetes begitu saja saat melihat tatapan Manjiro padanya.
"Maafkan aku ...." ucap [name] diiringi isak tangis sambil menunduk.
Tidak.
Ia tak bisa melihat istrinya menangis seperti ini.
Dengan sigap Manjiro pun berdiri dan menarik [name] ke pelukannya. Punggung yang bergetar itu ia elus perlahan agar menenangkan istrinya.
"Tidak, aku yang salah ... aku tidak bisa menjaga kalian, maafkan aku." lirih Manjiro.
Tunggu, pria itu menangis?
Sungguh, ia pertama kali menangis di keadaan seperti ini.
"Tidak ... aku yang pergi tanpa izinmu ja--"
"Sudah, jangan menyalahkan dirimu lagi. Menangislah sesukamu sekarang, setelah ini ... berjanjilah untuk terus tersenyum dan lupakan semua ini."
"Manjiro ...."
"Kita sama-sama kehilangan, kita bisa membuatnya lagi jika kau siap."
-
"Bagaimana harimu hari ini?" tanya Manjiro pada [name] yang sedang minum teh di halaman belakang sambil menikmati suasana sore dengan sunset yang memanjakan mata.
"Aku berusaha baik, bagaimana denganmu?" ucap [name]
Sejak kepulangan dari rumah sakit selama sepekan ini, [name] selalu memakai gaun hitam dengan rutinitasnya menikmati teh di halaman belakang mansion.
Jauh dalam lubuk hatinya, ia masih terluka dan berduka.
Ada banyak hal yang terjadi yang bahkan ia alami, namun ia tak menceritakannya kepada Manjiro, suaminya.
Ia memendam apa yang ia alami sendiri, ia tak ingin membebani suaminya yang bahkan sudah menyelamatkannya sebelum Hanma memperlakukannya lebih dari itu.
Penyiksaan itu seakan-akan menjadi luka psikis bagi [name] dan membebani dirinya sendiri.
Tangan kanan miliknya ditarik oleh Manjiro perlahan, membuatnya menoleh ke arah suaminya yang kini sedang membungkuk di hadapannya.
"Kau sangat cantik ... terlepas dari apapun yang terjadi, aku tak ingin melepaskanmu."
"Kau ini kenapa? Tiba-tiba seperti ini? Apa kepalamu terbentur sesuatu?" pertanyaan yang dipenuhi rasa heran itu berasal dari [name].
"Tidak, aku sedikit gila melihatmu berduka seperti ini." ujar Manjiro. "Aku akan tetap menerimamu, aku tau apa yang terjadi ... kau tetap istriku, dewi yang turun ke bumi untuk mendampingiku." ucap Manjiro sambil menatap [name] dengan tatapan tulus. "Andai saja aku ...."
"Shut!" ucapan Manjiro dipotong paksa oleh [name] yang dengan cepat menahan bibir Manjiro dengan telunjuknya. "Jangan menyalahkan dirimu sendiri."
"Begitu juga kau."
[name] tertegun, ia berfikir kalau memang jika menyalahkan diri memang tidak berguna.
Jika ia salah, ia harus apa?
Sepertinya memang ia harus merelakan apa yang telah terjadi.
"Terima kasih, Manjiro."
"Aku yang harusnya berterima kasih."
Setelah itu, suasana hening. Manjiro dan [name] bahkan terlarut dalam suasana sore hari dengan senja yang menenangkan hati.
Namun, tiba-tiba Manjiro kepikiran tentang sesuatu tentang [name]
Tenryu sudah habis, lalu apa lagi yang harus ia takutkan jika [name] hidup layaknya manusia pada umumnya? Bukan di dunia kriminal seperti ini.
"[name], senja ini indah ... bukan?"
Seketika wanita itu menoleh ke arah Manjiro dengan tatapan bertanya-tanya.
"Maksudmu?"
"Tidak ada yang akan mengancam nyawamu lagi meski kau hidup dengan bebas diluar sana ... bagaimana?"
-
Yee tamat!
Belum sih, ada satu lagi'-'
Eh iya, buat cerita Marry Me selanjutnya mau siapa nih?
Kandidat terkuat, ea :v
1. Sanzu
2. Ran
3. Rindou
4. Kakucho
5. Kokonoi
6. Takeomi
7. MochiBantu vote yaaaa manisssss><
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : 𝓢𝓪𝓷𝓸 𝓜𝓪𝓷𝓳𝓲𝓻𝓸
Fanfiction𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : ᵇᵒⁿᵗᵉⁿ ᵉᵈⁱᵗⁱᵒⁿ "Let's married, Manjirou." Hanya mengisahkan tentang y/n yang harus menikah dengan ketua organisasi kriminal bernama Bonten, karena permintaan ayahnya. Tokyo Revengers © Ken Wakui