"Ku akui, kau memang cepat menghabisi anak buahku."
"Aku tak butuh pengakuan darimu."
Hanma mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya, lalu mengambilnya sebatang dan menyalakannya. Ia menatap Manjiro yang kini berekspresi datar ke arahnya dengan tatapan mengintimidasi, terkesan dingin dan mencekam hingga ia bingung.
Bagaimana nasibnya kali ini?
"Biarkan aku menghabiskan sebatang rokok ini, lalu kita putuskan siapa yang akan pulang terlebih dahulu." ucap Hanma dengan tenang.
Tidak. Dia tidak takut pada Manjiro.
Ia hanya merasa kalau akhir itu sudah dekat, entah akhir dari siapa.
Ia sudah bermain api, akankah ia terbakar dan hangus?
Sementara itu, kebingungan yang sama juga melanda Manjiro. Khawatir yang tak pernah ia rasakan itu memenuhi relung hatinya.
Manjiro, ia takkan membiarkan ia ataupun istrinya mati disini.
Ia sudah bersalah karena tak bisa menjaga istrinya sendiri dengan baik sehingga ia harus menderita seperti ini
Demi kebebasan yang diinginkan oleh istrinya, ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskan rantai pengikat yang selalu mencekik [name] dan melarangnya untuk hidup seperti manusia pada umumnya.
Jika ia mengalahkan Hanma, hingga memusnahkan Tenryu ... ia tak akan khawatir untuk melepaskan istrinya untuk merasakan arti hidup yang ia inginkan sejak lama.
Tidak ada ikatan lagi, tidak ada belenggu yang akan merenggut nyawanya ketika ia hidup sendiri.
Jika setelah ini ia dan [name] harus bercerai dan berpisah sekalipun ia tak keberatan, [name] bebas memilih jalan, tujuan, dan pasangan hidup, atau hal apapun yang berkaitan dengan hidupnya tanpa tuntutan dari pihak manapun, sekalipun dari ayahnya sendiri.
Sepanjang hidupnya, Manjiro akui kalau hatinya kini kembali menghangat karena ada sosok [name] di dekatnya. Ia kembali merasakan cinta yang sudah lama tidak muncul untuknya.
Jika hal kecil seperti memusnahkan Tenryu ini adalah sebuah caranya untuk meminta maaf dan berterima kasih kepada [name] istri tersayangnya, ia tentu dengan senang hati melakukannya.
"Tidak ada waktu, lanjutkan acara merokokmu di alam lain saja ... Shuji Hanma."
Senyuman smirk di wajah mereka terlukis dengan mudahnya, seakan-akan merasa tertantang untuk melihat hasil akhir yang sudah dinantikan hasilnya.
Antara Manjiro dan Hanma, mereka kini terlihat hasrat ingin saling membunuh. Entah siapa yang akan menang, kita tidak tahu.
"Selesaikan dengan tangan kosong, maka jika mati pun aku takkan merasa terhina." ujar Manjiro.
"Kau pikir aku akan menyerahkan nyawaku begitu saja padamu?" Hanma tertawa sarkas, "Aku kotor, kau hina. Kita sama saja!"
"Ucapanmu ... kau mengakui kalau kau lebih lemah dariku." ketus Manjiro.
Brak!
Bugh.
Gerakan cepat itu menghantam kepala bagian belakang Manjiro, membuat kesadarannya menghilang begitu saja. Tubuhnya ambruk ke lantai tepat di depan Hanma.
"Ka ... u ...."
"Nyatanya ... walau kau lebih kuat dariku, namun otakku lebih licik darimu."
-
Takeomi diikuti Kokonoi kini sedang menyisir semua ruangan yang ada disana, sebenarnya mereka berpencar bersama Sanzu, Ran, Kakucho, juga Rindou.
Lantai 1, nihil.
Lantai 2, kosong.
Lantai 3, tidak ada.
Lantai 4, masih tidak ada.
Hingga Kokonoi mencurigai salah satu ruangan yang sedang dijaga oleh dua orang anggota Tenryu yang masih tersisa, mungkin Sanzu dan Ran belum sampai kesini.
Pria bersurai putih itu mengeluarkan senjata apinya, membuat atensi Takeomi yang semulanya sedang melihat bosnya yang sedang memanas dengan Hanma kini tertuju ke arah Kokonoi.
"Takeomi, lihat?"
"Tidak perlu menggunakan senjata ... mereka sudah habis."
Takeomi pun berjalan ke arah ruangan itu dan langsung memukul mereka, namun setelah itu tubuh kedua pria penjaga itu ambruk.
Mereka sudah tiada.
Kokonoi dengan sigap mengambil kunci di saku jaket salah satu penjaga dan membuka pintu itu dengan cekatan.
"[NAME]!" pekik Takeomi yang kaget melihat kondisi istri bosnya.
Keadaannya saat ini jauh dari kata baik-baik saja, ia terluka dengan darah yang mengalir. Kesadaran wanita itu masih bertahan walaupun hanya sedikit lagi.
Gaunnya sudah terkoyak, luka sayat maupun lebam tercetak jelas disana.
"Takeomi ... di ... mana ... Manjiro?" rintihnya dengan nada yang serak.
"[name] tenang, dia ada di bawah."
"Kita harus segera ke rumah sakit!"
Tanpa basa-basi lagi ia bersama Kokonoi melepas ikatan yang ada di tubuhnya. Takeomi segera mengangkat tubuh tak berdaya milik [name] dan membawanya keluar dari ruangan ini.
Namun Kokonoi, dengan segala tanda tanya ada di otaknya yang memenuhi isi kepala. Banyak spekulasi yang memenuhi kepalanya, tentang apa yang terjadi.
Jadi, [name] menanyakan dokter itu untuk membahas soal kandungan? Melihat darah segar yang mengalir di antara kedua kakinya.
"Takeomi, [name] sedang hamil."
"Maksudmu? Darah ini juga ..." jeda Takeomi sambil melirik darah segar yang menodai gaun yang dipakai. "Kita harus bersiap untuk membakar tempat ini."
"Tapi bisa saja ... menstruasi?"
"Aku tak bisa membayangkan jika bos tahu hal ini sekarang, kalau menstruasi ... ia pasti pakai pembalut."
"Darimana kau tahu dia tak pakai pembalut?" tanya Takeomi curiga. "Kau mengin ...."
"ITU TIDAK PENTING SEKARANG!"

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : 𝓢𝓪𝓷𝓸 𝓜𝓪𝓷𝓳𝓲𝓻𝓸
Fiksi Penggemar𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : ᵇᵒⁿᵗᵉⁿ ᵉᵈⁱᵗⁱᵒⁿ "Let's married, Manjirou." Hanya mengisahkan tentang y/n yang harus menikah dengan ketua organisasi kriminal bernama Bonten, karena permintaan ayahnya. Tokyo Revengers © Ken Wakui