• 7

2.7K 311 12
                                    

"Manjiro? Apa aku boleh ke markas?"

"Tidak, tunggu dirumah."

-

"Kapan kau pulang?"

"Aku tidak tahu."

-

"Ini sudah larut, apa kau mau tidur di markas malam ini?"

"Jangan menelfonku terus, kau mengganggu!"

-

Sudah berlalu dua pekan, dan selama itu juga [name] tidak bertemu dengan Manjiro karena ia tak kunjung pulang ke mansion.

[name] sudah menghubunginya, tetapi saat ketiga kalinya menelfon ia malah mendapat balasan seperti itu. Mungkin suaminya itu sedang mendapat masalah yang besar dan [name] akan membantu dengan cara tidak mengganggunya dan hanya diam di mansion dan melakukan aktivitas yang membosankan seperti tidur, makan, bercocok tanam di halaman belakang, masak, lalu minum teh di balkon, berenang, begitu saja dan kegiatan itu terus berulang setiap harinya.

Anggota Bonten yang lain pun tidak ada yang pulang sejak sepekan ini, [name] berharap kalau mereka semua tak berada dalam bahaya, dan terus bersama Manjiro.

Namun pagi hari ini tentunya ada yang sedikit kendala, saat bangun tidur [name] selalu pusing dan mual-mual, sudah beberapa hari ia mengalami hal ini dan ia sudah mulai jengah karena harus bolak-balik ke toilet untuk menuntaskan rasa mualnya.

Apa ia sakit?

Padahal pola makannya teratur.

Ia mengambil ponsel yang berada di atas nakas, lalu menekan sebuah kontak yang hendak ia hubungi. Jika dikiranya akan menghubungi Manjiro, kalian salah.

Ia takut reaksinya akan sama, dan ia tak ingin mengganggunya.

"Halo, Koko?" sapa [name] pada penerima telepon.

Ia menghubungi Kokonoi.

"Iya, ada apa?" tanya Kokonoi to the point. Terdengar dari telepon bahwa ia juga tengah sibuk.

"Aku ingin bertanya ..." ucapan [name] tergantung, membuat Kokonoi menunggu apa yang akan diucapkan oleh istri bosnya ini.

"Iya, bertanyalah sesukamu." ucap Kokonoi.

"Apa kalian mempunyai dokter pribadi?" tanya [name].

Kokonoi terdengar menghentikan aktivitasnya sejenak, "Nyonya [name] apa kau sakit?" pekiknya kaget.

"Hei jangan keras-keras!" tegur [name] membuat Kokonoi menutup mulutnya spontan.

"Aku membutuhkan dokter ... hanya untuk konsultasi." ucap [name], "Kalau tidak ada, ya tidak masalah."

Kokonoi hening sebentar, pria itu berfikir dan mencoba mengingat sesuatu sebelumnya.

"Seingatku ... dokter pribadinya Bonten yang terakhir kali kondisinya koma gara-gara dihajar Sanzu, karena ia menyuruh Sanzu untuk beristirahat saat tulang iganya patah beberapa minggu lalu." ucap Kokonoi santai.

[name] seketika terdiam, ia agak ngeri membayangkan kondisi dokternya yang sangat tragis ketika mengobati Sanzu yang pribadinya keras dan susah diatur hingga dokter itu dihajar sampai koma.

"Kau serius tidak ada keluhan soal kesehatan?" tanya Kokonoi ragu, karena bandar uang itu yakin bahwa istri bosnya takkan menanyakan soal dokter jika tidak ada sesuatu tentang kesehatannya.

"Hanya sedikit, aku bisa mengatasinya untuk sementara waktu ini, tenang saja." ucap [name]. "Oh ya, jangan beritahu Manjiro kalau aku menghubungimu, ya?"

"Kalau sampai ia tahu soal ini, aku takkan mengampunimu!" ancam [name] dan langsung mematikan sambungan teleponnya.

Meninggalkan Kokonoi yang kebingungan, sebenarnya ada apa?

-

Tidak ada pilihan lain, dengan sisa uang yang ia punya di rekeningnya [name] pun diantar supir dan sengaja ia meminta untuk tidak mengirim pengawal agar tidak terkesan mencolok, lalu menuju rumah sakit yang letaknya lumayan jauh dari mansion.

Ia duduk di kursi yang disediakan di ruang tunggu, menunggu giliran namanya akan disebut.

"Nyonya Sano [name]." setelah sekitar satu jam menunggu, akhirnya namanya dipanggil.

[name] segera masuk ke ruangan, kali ini ia memutuskan untuk menemui dokter kandungan karena ia takut bahwa tanpa sadar ada kehidupan disini yang menjadi dalang morning sicknessnya setiap hari.

Lalu, apa hasilnya?

Entah harus bagaimana, tapi yang jelas wanita itu sangat bahagia kali ini.

Ucapan selamat yang ia dapatkan dari dokter karena kandungannya yang sudah mulai menginjak satu minggu.

Sampai keluar ruangan hingga masuk kembali kedalam mobil pun, ia masih tak berhenti menampakkan senyuman manisnya yang tak kunjung pudar sambil meraba perut rata yang terhalang bajunya itu dengan perasaan senang.

Tak jarang air mata haru itu mengalir dari mata [name], masih tak percaya dengan apa yang kini terjadi.

"Secepat ini tapi ... aku bahagia." lirihnya.

"Manjiro, kau benar-benar memberikannya padaku?"

Senyuman itu terus merekah, hingga tiba-tiba sebuah mobil dari arah yang berbeda menabrak sisi depan bagian kanan mobil.

Brak!

"Astaga!"

"Nyonya ... cepat lari ...." lirih supirnya yang terluka parah sebelum terpejam.

Ia panik seketika, ditambah ketika melihat sekumpulan orang yang tak ia kenali mendekat kearahnya lalu membuka pintu mobil dan menyeret [name] keluar dengan paksa.

[name] mencoba memberontak agar melarikan diri dari sini.

Tetapi ...

Sebuah balok kayu membentur kepalanya sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.

Ya setidaknya itu adalah sedikit yang ia ingat sebelum hal ini terjadi. Setelah ia membuka mata, kedua tangan dan kakinya diikat oleh tambang dan ini cukup melukai kulitnya.

Bukan hanya itu, wajahnya pun penuh dengan bekas pukulan yang sudah cukup membiru.

"Aku ... dimana?"

"Halo, selamat datang sayang."

-

Beberapa lembar potret yang menunjukkan seorang wanita yang tak sadarkan diri dan terlihat tak berdaya dengan kondisi acak-acakan terbaring di lantai kotor itu membuat Manjiro mengepalkan kedua tangannya, menahan amarah yang kini sedang meledak di dalam dirinya.

Istrinya diculik, artinya mereka sudah mengibarkan bendera perang.

Sedangkan anggota yang lain hanya menatap barang itu shock, apalagi Kokonoi. Ia baru sekitar dua jam yang lalu dihubungi olehnya, tapi mengapa?

"Supir mobilnya terluka parah dan meninggal dunia ditempat, nyonya [name] dibawa oleh mereka." ucap Takeomi.

"Cari sampai dapat, siapapun yang terlibat, bunuh mereka." ucap Manjiro datar.

"Sudah jelas kan? Siapa pelakunya?"

Semuanya mengangguk mengerti, lalu mulai bergerak mencari ratunya yang diculik oleh para bajingan itu dengan semena-mena.

Manjiro kini bersama Sanzu dan Takeomi, ia langsung berangkat ke tempat yang sudah ia pastikan bahwa kesanalah tujuannya. Dirinya mencoba meredam emosinya, walaupun dalam hatinya rasa khawatir itu sangat membuncah. Rasa takut istrinya terluka segores pun ia rasa ia takkan mengampuni siapapun yang melakukannya dan akan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Apalagi jika terjadi hal-hal lainnya, entah apa yang akan terjadi nantinya.

"Setelah sampai, eksekusi mereka."

"Jika perlu, bakar saja ... asal [name] sudah benar-benar selamat dan jauh dari area."

"Jika dia sampai terluka, bunuh semua orang yang ada disana."

𝐌𝐚𝐫𝐫𝐲 𝐌𝐞 : 𝓢𝓪𝓷𝓸 𝓜𝓪𝓷𝓳𝓲𝓻𝓸 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang