Bab 1

474 15 5
                                    

Tema perjodohan adalah salah satu tema kesukaanku yang gimana pun ceritanya aku nggak akan bosan ngikutin cerita tema yang satu ini (kecuali perjodohan nikah di bawah umur).

So, selamat menikmati cerita tema perjodohan versiku.

Cerita ini sebelumnya adalah sekuel dari Terjebak Pacar Posesif (TPP), tapi karena TPP udah aku revisi endingnya, maka anggap saja cerita ini adalah versi universe lain setelah TPP tamat, walaupun memang masih ada nyambungnya dengan TPP.

Nanti suatu saat, aku akan nulis ulang TPP dan sekuelnya.

Jadi, silakan nikmati cerita ini sebelum aku gantikan dengan sekuel TPP yang sebenarnya.

Cerita ini bisa dibaca terpisah tanpa baca  TPP.

Cerita ini juga belum aku revisi, jadi boleh banget dikasih masukan kalau ada typo atau kesalahan penulisan lainnya.

*** 

Bab 1

Widia membuka pintu kamar anaknya dan mendapati Dinda sudah berpakaian rapi sedang memusatkan perhatian ke luar jendela.

"Nak, Rafa udah sampai mana?" tanya Widia dari jarak dua langkah di belakang gadis itu.

Dinda yang sedang termenung sambil menatap awan kelabu berbagai bentuk yang berbondong hilang dari pandangan mata, tak mendengar panggilan mamanya.

"Dinda!" seru Widia sekali lagi dengan intonasi lebih tinggi.

Dinda tersentak dan buru-buru mengusap pipinya yang basah. Ia memutar kursi roda lalu menjalankannya ke hadapan mamanya.

"Ada apa, Ma?" Dinda bertanya dengan senyum yang dipaksakan.

Mama menarik kedua sudut bibirnya ke atas dan menyentuh kedua pipi anaknya. "Lagi mikirin siapa?" tanya Widia lembut dengan senyum teduhnya. Walaupun jantungnya tengah berdenyut nyeri melihat kesedihan tercetak jelas di mata anaknya.

Dinda menunduk sejenak lalu menaikkan pandangan dan menggeleng.

"Setelah sembuh, aku ingin kita pindah ke luar negeri. Aku akan cari kerja. Sementara Mama hanya boleh duduk manis di rumah atau jalan-jalan sama geng sosialita, arisan cantik, dan liburan keliling dunia," kata Dinda menyentuh tangan Widia yang berada di bahunya.

Widia tak berani bermimpi menjadi orang kaya. Ia hanya mau menjadi orang yang bahagia tanpa disakiti oleh siapa pun. Namun, daripada mengatakan impiannya yang dangkal itu, ia menunjukkan raut ceria untuk memberikan dukungan pada apa pun yang diimpikan anaknya.

"Kalau dilihat dari kemampuan kita saat ini rasanya mustahil, tapi nggak apa-apa... Mama aminkan apa pun yang kamu impikan. Tuhan sendiri bilang, apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu... Dinda anak yang baik, nggak pernah berbuat jahat sama orang lain, suatu saat Tuhan akan jawab doa kamu... tapi, sekarang fokus terapi, ya... Rafa udah datang tuh." Senyum Widia mengembang mendengar klakson mobil yang kembali dibunyikan di depan rumah kontrakan mereka.

Sudah satu tahun Dinda beraktivitas menggunakan kursi roda. Ibu mana yang tak hancur hatinya melihat anak tunggalnya harus mengalami banyak kemalangan akibat ulah jahat mantan pacar anaknya. Widia tak tinggal diam. Ingin anaknya segera pulih, ia rela banting tulang mengambil dua sampai tiga pekerjaan dalam sehari untuk membiayai terapinya. Makanya ia lebih banyak meminta tolong Rafa menemani anaknya terapi di rumah sakit.

Rafa, sahabat Dinda sejak kelas 7 SMP yang tahun lalu baru pindah dari Malang dan sekarang mengajar sebagai dosen kontrak di sebuah kampus swasta. Sejak hari pertama Dinda masuk rumah sakit sampai harus menjalani terapi, Rafa selalu setia menemani.

Orang yang Tepat di Waktu yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang