Bab 15

27 1 0
                                    

Terima kasih udah mampir ke bab ini.

Selamat membaca

***
Orang itu sudah bebas.

Setahun lalu pria itu dijatuhi tiga tahun penjara, tetapi belum genap masa tahanan, ia sudah menghirup udara kebebasan. Sebenarnya tak heran kalau pria jahat itu bisa melenggang bebas sebelum waktu seharusnya ia bebas karena keluarganya merupakan salah satu keluarga paling berpengaruh di kota ini. Dengan kekuatan yang mereka punya, mampu membebaskannya.

Dinda mencoba mengkonfirmasi kabar kebebasan Thomas pada Danisa, mantan sahabat Thomas yang menjadi korban lain atas kebrengsekan pria itu dan berkat bantuan Danisa, Thomas bisa dijebloskan ke penjara. Jawaban yang datang pada Dinda adalah benar Thomas sudah bebas.

Seketika ketakutan mencengkeramnya. Bagaimana kalau pria itu menemuinya untuk membalas dendam karena sudah menjebloskannya ke penjara dan mengakibatkan bisnis sepatu yang dirintisnya dari nol hancur berantakan. Dinda jadi dihantui mimpi buruk dan berakhir sulit memejamkan mata sampai matahari terbit.

"Dinda, Mama ke pasar, ya. Ini ada nasi kuning sama rendang sisa semalam yang udah dipanaskan dan mie bihun, udah mama siapkan," ucap Widia setelah meletakkan sepiring nasi di nakas dekat tempat tidur Dinda.

Rutinitas yang dilakukan Widia sebelum ke pasar pada pukul lima pagi, selalu menyediakan sarapan untuk Dinda di nakas. Nanti gadis itu akan menghabiskan sarapan kalau sudah bangun. Sekitar jam sepuluh, Widia sudah berada di rumah dan akan membantu Dinda membersihkan diri.

Namun, hari ini ada yang berbeda dari anak itu. Seluruh tubuhnya dibungkus selimut tebal. Widia yang melihat tak ada pergerakan sama sekali dari anaknya, seketika panik. Ia menghempas selimut kasar untuk melihat keadaan anaknya.

Widia bernapas lega ketika melihat perut anaknya masih naik turun beraturan dengan mata masih terpejam. Widia menyentuh wajah anaknya yang terlihat kuyu dan ada bekas air mata di wajahnya.

"Dinda, bangun, Nak ... kamu sakit?" tanya Widia menyentuh dahi anaknya. Sekali lagi ia menarik napas lega karena kulitnya tak panas.

Perlahan Dinda membuka mata, lalu mengerjap untuk menyesuaikan netranya dengan cahaya matahari yang masuk lewat jendela yang sudah dibuka Widia. Dinda sedikit menggerakan kepalanya.

"Mama di sini aja. Temani aku ... takut," ucap Dinda dengan suara parau.

Widia tahu kondisi anaknya sejak kemarin sedang tak baik-baik saja, sejak melihat kemunculan orang yang membuatnya mengalami trauma. Akan tetapi, ia tak bisa melepas tanggung jawab menjajakan kue titipan orang yang ia dagangkan di pasar.

"Mama harus berangkat. Nanti minta tolong Rafa temani kamu. Mau?" tanya Widia mengelus rambut anaknya.

Dinda menggeleng. Ia tak mau bertemu dengan pria itu.

Nampaknya sang Mama tak mau mendengar keengganan anaknya. Dua puluh menit setelah Widia pergi, Rafa masuk ke kamar Dinda dengan langkah tergesa.

Saat membuka pintu, Rafa sempat terserang kepanikan karena Dinda menjerit histeris, meneriakinya sebagai pencuri.

"Lain kali ketuk pintu. Yang sopan dong!" gerutu Dinda.

Rafa hanya cengengesan merasa terhibur mendengar wajah cemberut Dinda.

"Kata Tante kamu masih tidur. Makanya aku masuk aja ... maaf."

Dinda memutar bola mata lalu mengambil ponsel dan mengabaikan Rafa yang sedang bertanya apa yang dibutuhkan Dinda.

Tak mendapat respon dari Dinda, akhirnya Rafa menyerah dan pergi ke dapur mencari makanan karena ia belum sarapan. Ia mengambil nasi kuning dan lauk seperti yang disediakan Widia untuk Dinda yang disimpan di lemari makanan dan pergi ke kamar Dinda untuk menghabiskan makanan di sana.

Orang yang Tepat di Waktu yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang