Bab 2

87 10 0
                                    

"Ngapain kita ke rumah Papa?" Dinda bertanya dengan nada tak santai. Dia tak suka bertemu papanya tanpa persiapan karena tak siap menghadapi mulut tajam orang tua itu. Seketika suasana hatinya berubah mendung. Bayangan kasur yang sudah memanggilnya sejak keluar dari ruang terapi di rumah sakit harus buyar.

Raffa meringis. "Tadi papaku titip undangan pernikahan salah satu teman mereka untuk diantarkan ke Om Hardy. Maaf, ya nggak kasih tau kamu, tapi kita ke sana nggak lama, kok."

Dinda membuang napas kasar. "Aku di mobil aja. Lagi malas ketemu Papa."

Orang tua Dinda sudah resmi bercerai lima bulan yang lalu. Sekalipun Dinda sudah memenuhi permitaan papanya agar memudahkan proses perceraian orang tuanya, tetapi tetap saja papanya tak membiarkan mamanya bisa tenang.

Bahkan rumah yang dijanjikan oleh papanya untuk ditempati mama setelah bercerai tak dipenuhinya. Dinda merasa ditipu. Makanya Dinda sangat malas bertemu papanya yang kini hidup sendirian di rumah yang sudah ditempati mereka hampir 17 tahun.

"Kamu tunggu di sini, ya." Raffa mengambil undangan yang dia simpan di dalam tasnya dan keluar dari mobil yang mesinnya dibiarkan menyala.

***

Raffa yang sudah sangat akrab dengan Hardi--papanya Dinda--tak pernah sungkan masuk ke rumah Hardi begitu saja tanpa mengetuk pintu. Namun, kali ini dia menyesali kebiasaannya itu. Dia menemukan Hardi yang hanya mengenakan celana pendek tanpa baju sedang dijamah tubuhnya oleh seorang wanita yang kelihatan seumuran dengan Hardi.

"Iya, di situ, Len. Jangan ... agak ke bawah dikit ... nah, pas mantap," ujar Hardy sedikit meringis.

Raffa bergidik ngeri mendengar suara desahan Hardi.

"Permisi Om," ucap Raffa memalingkan wajahnya berlawanan dengan tempat duduk Hardy dan perempuan itu.

Hardy mengangkat wajahnya melihat Raffa. "Oh, Raffa, calon mantuku. Sini, Nak," panggil Hardy ramah tak merasa canggung ada Raffa di sini.

Raffa melirik perempuan itu yang masih menekan punggung Hardy dengan kedua jempolnya naik ke arah bahunya.

"Badan Om pegel-pegel. Maklum baru pulang dari proyek di luar kota."

Raffa menyerahkan undangan pada Hardy. Pria itu melihat nama di undangan lalu tertawa terpingkal-pingkal.

"Akhirnya si tua bangka itu mau nikah juga. Padahal dia pernah ngomong ke Om nggak akan menikah lagi karena terlalu cinta mendiang istrinya. Sekarang, malah jilat ludah sendiri ... Apa saya bilang, nggak ada laki-laki yang betah lama-lama menduda. Setuju kan Raf?"

Raffa tersenyum masam dan menggeleng. "Nggak setuju, Om. Papanya temanku ada yang menduda udah puluhan tahun sampai sekarang sejak ditinggal istri waktu anaknya masih kecil."

"Alah, saya nggak percaya. Paling dia punya perempuan simpanan."

"Nggak semua laki-laki sebrengsek itu, Om," sambung Raffa yang langsung menyesali ucapannya setelah mendapat pelototan tajam dari papanya Dinda itu.

"Len, lanjutin pijetnya." Hardy menepuk pundaknya. "Kapan kamu nikahi Dinda, Raf?"

Raffa menahan napas. Dia menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Pelan-pelan aja, Om. Kita fokus sama kesembuhan Dinda, terus saya juga masih mau nabung dan bangun rumah dulu. Lagian Om dan orang tuaku udah sepakat untuk kasih kebebasan buat kami menentukan sendiri tanggal pernikahannya. Nanti tunggu aja kabar dari kami."

"Ya, kalau nunggu persiapan ini itu, keburu saya yang melangkahi kalian."

Rahang Raffa hampir jatuh. Dia tak menyangka Hardy bisa berucap seperti itu. Dia dan istrinya baru bercerai. Bisa-bisanya sudah memikirkan pengganti mantan istrinya yang super baik dan sabar itu.

Raffa tak mau lagi memperpanjang percakapan dengan Hardy yang akan membuat urat-urat syarafnya semakin tegang. "Om, aku pulang ya. Kasihan Dinda kelamaan nunggu aku di mobil." Raffa menengok jarum jam di pergelangan tangan kanannya.

Hardy menegakkan punggungnya dan menjauhkan tangan perempuan yang sedang memijatnya dari punggung. "Lho, kenapa anak itu nggak masuk?"

"Dia lagi ikut kelas online, Om. Dinda lagi semangatnya belajar ilmu baru," kilah Raffa sengaja mencari alasan agar Hardy tak memarahi Dinda.

Hardy berdecak. "Saya tidak habis pikir. Anak tak tau diri itu, bisa-bisanya membenci orang yang sudah baik hati mau menerima dan membiayai dia dan mamanya puluhan tahun. Kamu tolong, ya, Raf, didik dia jadi perempuan yang nggak lupa akan kebaikan orang lain. Bagaimana pun nama saya masih tertulis sebagai ayah di akta kelahirannya. Dia jangan sombong."

Raffa mengerutkan dahinya. Apa yang dia dengar dari Dinda dan saksikan bagaimana cara Dinda menghadapi papanya, tak sesuai dengan penuturan Hardy saat ini.

Raffa tau persis bagaimana watak keras Hardy. Dia adalah pria yang tak segan melayangkan tangan dan berkata penuh sumpah serapah kepada istri dan anak tunggalnya ketika dikuasai oleh amarah.

"Dinda sudah menjadi anak yang sangat berbakti dengan orang tua. Menerima perjodohan ini salah satu tanda baktinya. Aku harap Om yang bisa berusaha lebih dekat lagi dengan Dinda. Kasihan, dia sedang sakit dan butuh support system untuk cepat sembuh, Om."

Hardy melambaikan tangannya di udara. "Alah. Udah kamu pulang aja. Saya nggak butuh nasihatmu."

Raffa langsung balik badan tanpa berpamitan sekali lagi. Dia menutup pintu rumah dengan perasaan gundah gulana.

Dia melangkah ke sudut teras rumah dan bersandar pada tiang beton yang menyangga atap rumah. Kebetulan kaca jendelan mobilnya masih tembus pandang, Raffa sengaja berhenti di tempat itu agar bisa puas menatap sahabat 11 tahunnya itu karena Dinda selalu marah padanya kalau ketahuan sedang diperhatikan.

Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas melihat Dinda yang sedang bersenandung sambil menggerakan kepala ke kiri dan kanan. Hatinya yang tadi diliputi kesedihan, berganti dengan kehangatan yang menjalar sampai ke matanya. Dia mengedipkan kelopak matanya beberapa kali mencegah agar air bening itu tak jatuh.

Sudah cukup, luka yang dirasakan gadis itu dari papa dan mantan pacarnya yang kasar itu. Dalam hati Raffa berjanji akan berusaha sebaik mungkin membuat Dinda selalu tersenyum dan mengusahakan apa pun agar gadis itu jatuh cinta padanya. 

TBC
14/07/2022

TBC14/07/2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Orang yang Tepat di Waktu yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang