Bab 5

29 4 0
                                    

Raffa sedang menimbang ponsel yang berada di atas telapak tangan kanannya. Ia membasih bibir sedang memikirkan alasan apa yang ingin disampaikan pada Dinda kalau ia tak bisa menemani gadis itu ke rumah sakit untuk terapi.

Sebenarnya ia sudah bersiap menjemput Dinda ke rumah sakit, tetapi saat semprotan terakhir parfum di belakang daun telinga, ponselnya berdering. Menampilkan nomor tanpa nama yang sangat ia kenali siapa pemiliknya.

Ia enggan menjawab, tetapi panggilan itu terus masuk. Mau tak mau harus menjawab telepon itu.

"Hai, kok lama jawab teleponnya?"

"Aku lagi siap-siap ke kampus. Kenapa?" jawab Raffa dengan intonasi dingin.

"Oh, ya, udah. Hati-hati ya. Aku cuma mau bilang terima kasih. Transferannya udah masuk. Walaupun jumlahnya nggak sama kayak biasanya, tapi nggak apa-apa deh. Daripada nggak sama sekali."

"Hmmm," gumam Raffa langsung memutus panggilan.

Dia mendesah. Menunduk memerhatikan kesepuluh jarinya yang gemetar. Telapaknya lembab, pelipisnya dialiri oleh keringat. Kemudian, ia berdecak sebal karena bajunya di bagian punggung juga ikut basah oleh cairan yang mengalir tiada henti.

Saat ia berusaha menenangkan diri, bunyi ketukan di pintu masuk ke telinganya.

"Kamu ngajar pagi?" tanya Sofi--mamanya Raffa--pada anak sematang wayangnya.

"Hari ini jadwal terapi Dinda, Ma. Bentar lagi mau berangkat jemput dia."

Sofi memindai penampilan anak laki-lakinya yang mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih dan celana jeans biru pudar. Tinggi Raffa sekitar 170 sentimeter, berkulit terang, dan rambut lurus berwarna hitam. Banyak yang memuji anaknya tampan. Apalagi karakternya yang santun dan lembut seolah tak ada cacat pada diri anaknya.

Menyadari sedang diperhatikan, Raffa mengangkat alis menatap mamanya heran.

Sofi menggeleng dengan senyum. "Kamu cepat gede. Mama nggak nyangka kamu udah sedewasa ini. Bentar lagi mau nikah."

Raffa tersenyum tipis. "Masih belum nikah. Dinda belum kasih lampu hijau. Mama coba dekati dia dong. Siapa tau dia berubah pikiran dan menerima lamaranku."

Sofia menggeleng disertai decakan. "Mama nggak mau urus campur soal kalian. Kalau akhirnya Dinda nggak bisa terima perjodohan ini, sih, nggak masalah. Masih banyak perempuan yang akan terima kamu."

Raffa mengerutkan dahinya. Ia melihat ada perubahan sikap dari mamanya. "Mama masih merestui aku dan Dinda untuk menikah, kan?"

"Masih, tapi kita juga harus realistis. Perasaan itu nggak bisa dipaksakan. Lagian kamu juga harus melihat baik-baik karakternya Dinda. Jangan karena cinta kamu membutakan mata untuk melihat kekurangan dia. Mama nggak mau kamu salah pilih."

"Oma ngomong sesuatu ke Mama?"

Sofi berdeham. "Nggak. Udah, ah. Mama lanjut masak dulu."

"Ma, aku beneran suka sama Dinda. Nggak peduli keluarganya seperti apa. Aku akan tetap pilih dia."

Sofi mengabaikan ucapan Raffa dan keluar dari kamar itu dalam diam.

Raffa mengambil ponsel dan menimbang untuk membatalkan janjinya memenami Dinda.

Perasaannya semakin tak enak ketika menutup telepon. Terlebih, ia menangkap ada nada kecewa dari suara Dinda sebelum mengakhiri panggilan.

Raffa merasa suasana hatinya sedang tak baik pagi ini. Bermula dari nomor tanpa nama yang menghubunginya. Ditambah kehadiran mamanya di kamar, membuatnya yakin kalau Oma sudah memberitahu keengganan menerima Dinda menjadi bagian dalam keluarga mereka.

Orang yang Tepat di Waktu yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang