Pindah

9 0 0
                                    

Mas Boim, kakak Laki - laki Shafa tengah duduk di ruang keluarga. Ia menjadi kepala Keluarga, pengganti Ayahnya. Kakaknya ini sudah menikah, sejak 3 tahun yang lalu.

Dikaruniai seorang anak laki - laki bernama Alwi. Baru genap 2 tahun usianya.

"Kenapa mas?"

Shafa datang seraya mempertanyakan, untuk apa dirinya dipanggil agar segera pulang. Tumben juga, di hari efektif seperti ini kakaknya tidak jaga malam. Padahal biasanya, ia mendapatkan sift malam.

"Duduk dulu."

Shafa mendudukan dirinya di sofa sisi kanan. Sedangkan berseberangan dengannya ada Dara- kakak iparnya beserta anaknya.

"Atu maem, ante sapa. Udah maem beyum?" (Aku makan, tante Shafa. Udah makan belum?) Tanya Alwi pada Shafa yang seharian baru dirinya lihat.

"Tante udah makan, makan apa itu kamu?" Shafa menanggapi keponakannya.

"Hakco, enyak maem inyi. Aaa ... ante sapa... aaaa bial al uapin, inyi enyak" (bakso, enak makan ini. Aaa.. tante Shafa... aaa Biar Al suapin. Ini enak)

Alwi datang mendekat kepadanya. Menyuapkan satu bulatan kecil Bakso yang berada di tangan mungilnya. Shafa membuka mulut, supaya Al dapat memasukkan bakso kedalam mulutnya.

"Nyam nyam nyam! Enaaaakk. Tante mau lagi. Suapin tante,Aaaaa" gurau Shafa kepadanya.

Shafa sangat menyukai anak kecil. Dirinya saat itu dekat dengan Alwi. Sejak kecil mereka tidak pernah berpisah, oleh karena itu Alwi memiliki ikatan batin yang kuat kepadanya.

"Beyi cendili" ucapnya yang menjauh dari Shafa. Lalu mendekat kepada Ibunya.

Shafa mencemberutkan bibirnya. Namun anak kecil itu justru mengabaikannya. Justru terfokus kepada makanan di hadapannya.

"Jadi kenapa mas?" Tanya Lingga setelah usai mengganggu Alwi.

"Gini, Mas tuh dapat surat pindah tugas. Ke Malang. Nah di kontraknya itu Mas Harus pindah ke sana selama 5 tahun."

Lingga menaikkan kedua kakinya keatas Sofa. Mendengarkan seksama cerita dari kakaknya.

"Terus? Hubungannya sama aku apa? Aku tetap ikut mas kan?" 

"Mau ku gitu dek, tapi masalah yang besar, di surat tugas itu tahun depan tepatnya bulan Agustus. Sedangkan, itu kamu udah kelas 12."

"Ya udah aku ikut mas aja. Toh Di Malang ada kampus Negeri yang bagus juga." Ucap Shafa santai.

"Kan kalo bulan Agustus kamu udah mulai Pembelajaran dek. Apalagi kamu udah kelas 12 yang artinya kamu udah ga bisa main - main lagi. Kamu kalo pindah, harus menyesuaikan diri lagi, mas ga mau nilai kamu turun. Nanggung, dek , kalau pindah kelas 12 itu."

"Ya terus masa aku di tinggal di sini sendiri?" Tanya Shafa realistis.

"Itu yang buat aku bingung, mba dara sama alwi kalo mas tinggal di jakarta sama kamu, nanti kalian ga ada yang jaga. Mas lebih khawatir. Kalu mau mas titipkan ke sodara, semuanya tinggal di Jakarta Pusat. Tetap aja jauh dari sekolah mu. Makan waktu banget buat pulang pergi."

Boim mengawang berpikir. Sangat sulit untuk memutuskan dalam situasi yang seperti ini. Terkadang, Shafa juga berpikir keras. Namun dia tak dapat berbuat banyak.

"Aku tinggal di rumah sendiri juga ga papa."

"ENGGAK!" Ucap Tegas Boim tatkala pernyataan Shafa yang tidak masuk akal.

"Kamu ngga boleh tinggal sendiri!" Tambahnya.

"Ada - ada aja dek Shafa ini. Kamu kan cewek dek. Ya kali tinggal di rumah sendiri." Tambah Dara.

"Ngga papa lah mba. Hidup mandiri ga ada salahnya."

"Idih. Anak zaman sekarang itu pergaulannya ga jelas. Jadi kamu ga boleh tinggal sendiri!" Putus Boim.

"Di apartemen mas. Aku jamin aman sentosa. Lagian mas Boim masa ga percaya sama aku si? Aku ga pernah macem - macem kok"

Shafa membela diri. Agar kakaknya itu mau mengizinkannya untuk tinggal sendiri.

"Engga! Sekali engga ya engga!"

Jika sudah keluar kalimat seperti itu dari mulut kakaknya, Shafa tidak dapat lagi membela diri. Ia hanya bisa menghela nafas.

"Ya udah lah, nanti di bicarakan lagi. Toh masih tahun depan aja lah yaa"

****

"Terus gue harus gimana lagi dong, Shaf? Hiks hiks. Gue ga tahu lagi harus gimana nih. Hiks hiks."

Gia menangis tersedu - sedu saat ini. Ia menceritakan tentang kisah cintanya dengan Bian. Kemarin malam, Bian jalan dengan Shella, disaat Gia membutuhkan bantuan.

Bian mengatakan jika dirinya tidak dapat membantu Gia karena sedang ada acara keluarga. Namun saat Gia berada di Mall untuk membeli beberapa barang yang dirinya butuhkan, ia malah melihat kedua makhluk itu sedang berjalan berduaan.

"Bian tahu ga kalo lo lihat dia jalan sama Shella?" Tanya Shafa.

"Engga lah! Ya gue pergi, daripada gue baku hantam sama tuh anak disana!"

"Mending lo tenangin diri lo sendiri dulu, terus habis itu lo minta penjelasan ke Bian tentang kejadian semalam.

"Hiks. Hiks. Gue ga mau putus sama dia Shaf!"

"Gue ga minta supaya lo berdua putus Gi, lo harus tenang dulu. Baru deh lo tanya ke dia yang sejelas dan sejujurnya."

Gia menenggelamkan kepalanya pada Lipatan tangan lagi. Anak ini memang dalam mencintai Bian, sampai tidak rela untuk di tinggalkan atau meninggalkan.

"Shafa?"

Panggil Andrew di depan pintu Kelas MIPA 1. Sepulang sekolah, dia tak segera pulang karena ada futsal hari ini. Sedangkan Gia dan Shafa masih terduduk di kelas, membuat dia penasaran.

"Gia kenapa?"

"Nangis"

"Tahu Shaf, masa lagi ketawa. Maksut gue, kenapa nangis?"

"TEMAN LO TUH! PECUNDANG BANGET. HIKS HIKS. DIA NYELINGKUHIN GUE BANGSAT BANGET TUH COWOK. BELUM PERNAH KAN DIA TITIT NYA GUE TENDANG? BIAR TAHU RASA SEKALIAN. hiks hiks!"

Sengap Gia yang mengetahui kedatangan Andrew. Ia melampiaskan amarahnya pada pria itu. Meski dirinya masih tidak paham, siapakah gerangan yang di maksut oleh Wanita itu.

Shafa menengakan Gia dengan mengusap kedua pundak kawannya. Berharap dapat meredam kemarahannya.

Sedangkan Andrew, menyernyitkan dahi. Tidak paham dengan pembahasan ini. Tetiba saja Gia marah padanya.

"T-teman gue siapa?" Tanyanya.

"Bian" ucap Shafa.

Gia menenggelamkan wajahnya lagi di dalam lekukan tangannya. Menangis tersedu sedu lagi. Sedangkan Shafa mencoba untuk menjelaskan kepada Andrew. Semoga saja pria itu mengerti, meski otaknya bodoh secara Unlimited.

***

RumpangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang