13

145 36 29
                                    

Mendapat kabar dari rumah sakit, Mila kondisi kesehatannya turun. Tanpa basa - basi Elesta langsung menuju kesana.

"Bu..! Ibu? Why? Kemarin baik - baik aja, Dok" El menatap Wen penuh harap. Harapan agar pria itu menjawab kondisi ibunya baik.

"Sudah. Percaya sama dokter, kamu berdoa kak" Pria yang seharusnya ia panggil ayah itu merangkul pundak Elesta erat.

Entah darimana asal kabar beritanya, yang pasti ayahnya sudah lebih dulu tiba disini.
"Ibuku  gak sadar loh itu" Gelisahnya.

"El.. Tenang ya" Kalimat Dokter Alya bahkan saat ini tidak bisa membuatnya tenang.

Mila masih tidak sadar. Dokter menjelaskan kesehatan Mila memang sangat turun. Elesta kalut, ia tak tau harus bagaimana. Ia tak bisa melakukan  hal apapun.

"El..." Suara itu menyadarkan gadis yang merenung dibawah pohon. Ibunya tidak boleh ditunggu, ia lebih baik ditempat ini.
"Ayah boleh duduk?"

Elesta menggeser posisinya, seolah memberikan tempat.
"Duduk aja"

"Terimakasih, kak"

El canggung. Ia menatap lurus dengan mata berkaca. Tak ada satu kata setelahnya, mereka sama - sama terdiam sampai pada akhirnya sama - sama ingin mengucapkan sesuatu namun bertabrakan.

Mata Elesta dan ayahnya saling tatap. Tak ada kalimat apapun kecuali airmata  yang turun. Spontan El memeluk ayahnya erat dan menangis tersedu - sedu.

"Maafkan ayah, kak. Kamu jadi susah, sesusah - susahnya sendirian"

"Elesta capek, yah. Ibu kenapa? Allah gak cukup kasih cobaan belasan tahun? Masih harus hukum El lagi?"

Billy yang mendapat kabar dari Wen langsung meluncur dan menyaksikan hal ini didepan matanya. Ia mengalihkan pandangan, matanya berair.

Seorang suster menghampiri mereka, menanyakan perihal jenazah ibu Mila.
El dan ayahnya saling tatap lalu El meraung dengan amat sangat keras dipelukan ayahnya.
"Ibuuuuuuuu" Ia langsung berlari dan tersungkur didepan ruangan Mila dirawat sebelumnya.

Billy mengejar Elesta dan merangkulnya  erat. Ia memapah tubuh mungil itu kedalam, melihat ibunya yang sudah tertutup kain.

El seperti kehilangan kaki, ia lupa bagaimana caranya berdiri. Luruh tubuhnya ke lantai. Runtuh dunianya yang selama ini ia sokong dengan semangat yang hanya sebesar ranting. Rantingnya sudah lapuk, dunianya tak lagi memiliki semangat.
"Aku mau ibu, dok. Dok tolong, balikin ibu, sembuhin ibu. Tolong, dokter please" Histeris El meremas kerah kemeja Billy.

"El, husssttt. Kasian ibu, hei. Ikhlasin ibu, memang udah jatah usia ibu sampai hari ini" Nasihat Billy menenangkan gadisnya yang benar - benar hancur.

"Elestaaaa" Lula menjerit berlari memeluk sahabatnya. Mereka berdua menangis saling berpelukan.

"Ibu gue, La. Ibu, La. La tolong kasih tau mereka semua kalau ibu masih sehat. Buruan La, lo paling bisa bantu gue. Tolong gue, La"

Sampai jenazah Mila disemayamkan dirumah duka, setiap yang El kenal pasti dimintai tolong agar membangunkan ibunya. Suaranya habis , matanya bengkak.

"Jangan ditutup, pak. Kasian ibu saya gak bisa nafas. Tolong pak, jangan ditutup" Raungnya telungkup diatas tanah kuburan Mila. Ia histeris saat penggali kubur mulai menjatuhkan tanah kedalam liang.

"Ibu, gimana El hidup besok? Siapa yang El kunjungi disana?  Ibuuuu" Pedih rasanya hati setiap peziarah.

Billy masih setia disamping El mengenakan kacamata hitam dan kemeja yang sudah acak - acakan. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya pelukan erat dan sapu tangan untuk membersihkan wajah Elesta.

"Dok, ibuu" Lirihnya menatap Billy, seolah memohon jangan kubur ibunya.

Billy mengangguk mengerti apa maksudnya.
"Gak boleh sayang, kasian ibu" Suara Billy bergetar.

"Ayaaah, bilang ke mereka jangan kubur ibu. Ayah, tolong yah" Sampai lemas tak berdaya Elesta meraung, menangis, berteriak histeris. Pada akhirnya sudah terbentuk gundukan makam didepan mereka semua.

Isak tangis peziarah, sanak saudara pecah saat El memeluk nisan kayu bertuliskan nama ibunya.
"Ibu kenapa gak setia sama El? Elesta setia sama ibu, gak pernah absen lihat ibu. Kita sama - sama berjuang, kenapa ibu tinggalin Elesta sendirian? Tante jauh, belum bisa disini sekarang, tante masih dijalan. Elesta minta tolong ke siapa? Mereka semua gak bisa nolongin kita, bu. Ibu!!!" El memukul tanah itu sekuat tenaga dan perlahan ia lemas.

Billy membopong El kedalam mobil. Pada akhirnya ia tak sadarkan diri. Billy telaten membersihkan wajah El dengan tissue basah. Mengoleskan minyak angin kehidung El dan sekitar keningnya.

10 menit kmudian El sadar. Langsung dengan isak tangisan.

"Nanti pusing, sayang. Tenang ya, minum" Suara Billy menandakan kalau ia juga hari ini sangat lelah. Kejadian ini menguras emosional siapapun yang melihatnya.

"Dok.. " Lirih Elesta.

"Ibu? Iya sayang, ikhlasin. Kamu gak mau dibilang anak yang tidak beriman kan? Semua akan pergi, akan mati, meninggalkan orang yang dia sayang, barang yang ia suka, apapun itu semuanya pasti ditinggalkan. Yang unggul dimata Tuhan cuma amal dan doa dari orang - orang yang ditinggalkan. Kamu nangis begini, apa ibu bisa bangun? Tidak, mustahil"

"Ayah udah pulang?" Lirih Elesta.

"Mereka semua sudah ke rumah kamu. Mau ke makam ibu lagi?" Tawar Billy.

Elesta mengangguk dan Billy menuntunnya kembali.
El duduk sampai sore, meminta Billy meninggalkannya ditempat itu.

"Mau tidur disini?" Tanya Billy.

"Nanti kalau El pergi, malaikat datang. Katanya, 10 langkah peziarah meninggalkan kubur, malaikat datang ke mereka"

"Di sisa hidupnya bahkan ibu makhluk spesial ciptaan Tuhan. Yang perlu kamu lakuin cuma doa"

"Aku gak tau harus apa setelah ini, dok. Ibu tujuan hidup satu - satunya, dan dia udah gak ada lagi"

"Pulang yuk, uda sore. Mereka dirumah nunggu kamu. Ayo.."
Billy tersenyum saat El mengulurkan tangannya.

"Dok, tapi ibu.. "

"Elesta Maura, anak hebatnya ibu. Ibu akan lebih happy kalau kamu ikhlas. Dinding iman kamu harus kuat. Ibu butuh doa kamu  bukan airmata"

Sampai di hari ke tiga kematian Mila, Billy terus rutin mengunjungi Elesta. Itu semua tidak luput dari mata Shela.
"Kerja atau apelin si paling ngaku adik?" Sindirnya.

Billy cuma memandang dengan tatapan tak bersahabat.

"Aku udah sabar banget! Aku ini istri! Istri mana yang rela liat suaminya care banget sama gadis lain? Emang keluarga dia gak ada? Sampe harus kamu yang rangkul, peluk, gendong. Itu pasti cuma pura - pura!"

"STOP!!!" Billy menggebrak meja.
"Kalau gak bisa baik hati, minimal kau bisa berempati"

"Aku bisa aja angkat berita atas perbuatan menjijikkan gadis yang suka caper sama suami orang. Selain gak tau diri ternyata dia buta! Kamu suami aku! Dia gadis murahan, mau aja deketin suami orang!" Amarah Shela tak tertahan.

"Kalaupun dia murah, aku sendiri orang yang akan beli dia dengan harga mahal. Kalaupun dia murah, itu karena belum terjamah tangan nakal. Bukan murah karena BEKAS DIPAKAI ORANG! Bisa kau dengar? BEKAS!"

"KALAU GAK SUKA BISA CEREIN AKU!"

Billy yang sudah hampir sampai pintu seketika menghentikan langkahnya. Ia berjalan kembali mendekati Shela dengan wajah sedih dan menyesal.

Mimik wajah Billy membuat Shela mengulum senyumnya.

"Kau minta cerai? Kenapa? Tega?" Tanya Billy.

"Aku capek, kamu gak pernah hargai aku. Sekarang kamu nyesal kan?"

"Kenapa kamu tega paksa mami aku, sayang? Kau.. Kau tega sekali baru meminta hal ini sekarang. Kenapa gak dari dulu? Demi Tuhan, rumah ini hilang berkahnya karena ada pelacur didalamnya! Wait and see! Kau yang minta aku ceraikan. With my pleasure" Senyum Billy sinis

ELMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang