13. Kembali

8 4 4
                                    

Ketika rasa itu sudah tak ada, kau justru kembali dengan sejuta tawa.
Lantas aku harus bagaimana ?
Manyambutmu dengan penuh suka cita, atau menolakmu dengan derai air mata ?

Rafika Deraya

➖➖➖

Sudah 2 bulan lamanya aku duduk di kelas 11. Dan sudah selama itu pula, kak Rama kembali seperti awal-awal aku mengenalnya. Namun, ia jadi lebih perhatian padaku. Selalu saja mengirimiku pesan bahkan meneleponku.

Tapi jangan senang dulu, ia juga masih dekat dengan Abel. Ia perhatian padaku, begitu juga dengan Abel, tapi ya tetap saja Abel adalah prioritasnya.

Saat ini, aku sedang di rumah, sedang bosan lebih tepatnya. Ponselku lowbat.

"Fika!" Panggil kak Fisha yang langsung duduk di sebelahku.

Ah iya, keadaan keluargaku tidak sebaik dulu, tapi tidak seburuk beberapa waktu lalu juga. Namun, Papa sedikit berbeda akhir-akhir ini, seperti pilih kasih? Aku sendiri tidak yakin. Papa selalu menomorsatukan kak Fisha.

"Ya, kak?"

"Menurut kamu, kakak pilih di sini atau di Semarang?" tanyanya membuatku bingung.

"Pilih buat apa kak?"

"Kan kita mau kerjasama sama rekan bisnis Papa yang di Semarang. Kakak disuruh milih, mau tetep ngelola dari sini, atau di Semarang."

"Eum, terserah Kakak aja."

"Di Semarang aja kali ya ? Biar deket sama kakek nenek?"

Aku hanya mengangguk setuju.

"Ya udah, kakak ke kamar lagi."

Kak Fisha berlalu pergi. Namun baru beberapa anak tangga, ia berhenti dan berbalik menghadapku.

"Sebentar lagi kakak wisuda, jangan lupa!" katanya lalu melanjutkan langkahnya.

"Iyaaa." Teriakku.

Sepeninggalan kak Fisha, aku kembali merasa bosan. Sejak tadi hanya mengganti-ganti siaran TV saja.

"Kok kayak ada yang kelupaan ya?" kataku berusaha mengingat.

"Kenapa, Fika?" tanya Papa yang baru saja datang.

"Kayak ada yang kelupaan, Pa. Tapi apa ya?" tanyaku pada Papa.

"Perasaan aja kali," katanya lalu mulai membaca koran.

Aku kembali diam, sedangkan Papa asyik membaca koran.

"Oh iya. Nanti, kalo Fisha udah wisuda, kita semua pindah ke Semarang, ya."

"Hah?"

"Lho, kenapa?" tanya Papa bingung.

"Kok mendadak?"

"Mendadak apanya? Masih 4 bulan lagi, Fika." Papa meletakkan korannya lalu menatapku.

"Nggak mungkin kan Fisha di sana sendiri ? Papa kan harus bantu juga."

"Kan ada nenek sama kakek," cicitku.

"Emangnya, Fika nggak mau lebih dekat sama kakek nenek?"

"Mau, Pa."

"Ya udah." Papa beranjak dari duduknya, meninggalkanku di ruang keluarga yang sudah lama tak diisi canda tawa.

Karena tak tahan dengan rasa bosan ini, aku memilih untuk kembali ke kamar, siapa tahu daya ponselku sudah penuh.

Benar saja, dayanya sudah penuh. Aku berbaring di atas kasur, menghidupkan data seluler di ponselku.

"Banyak banget." Kagetku saat melihat ada begitu banyak pesan dan panggilan dari kak Maya dan Kak Rama.

Esok dan SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang