17. Terlaksana

3 4 2
                                    

Beberapa agenda seringkali hanya menjadi wacana, tapi ide gila ini, justru dapat terlaksana.
Katakan padaku, lebih gila ide ini, atau pelaksananya ?

Rafika Deraya

➖➖➖

Sejak 30 menit lalu, aku terus mondar-mandir di depan pintu kamarku. Aku sudah yakin untuk membuat ide gilaku ini terlaksana, tapi seperti ada yang mengganjal.

"Seragam udah, buku-buku udah, baju rumah udah, udah semua."

Aku mengangguk yakin, lalu menggendong tas sekolahku, serta menjinjing tas besar berisi barang-barangku.

Pintu rumah kembali kukunci dari luar, kuletakkan di tempatnya semula. Paket figura besar juga aku betulkan posisinya, setidaknya tidak terlihat habis dibuka.

Aku berjalan menjauh dari rumah, aku yakin, tapi ada sedikit kekhawatiran.

Aku terus berjalan tanpa tujuan, aku bahkan tak tahu sekarang ada di mana.

"Capek," keluhku lalu duduk di pinggir jalan.

Di sini sepi, dan sudah menjelang sore. Otakku tak bisa diajak kerjasama. Aku tak tahu harus kemana dan menghubungi siapa.

Aku kembali berdiri, hendak menyebrang.

Rintik hujan mengenai tubuhku, langkahku terhenti. Aku mendongak, melihat langit yang berwarna abu gelap.

"Apa langit tau Raya lagi sedih?" lirihku bertanya.

Aku menangis, menumpahkan semua air mata yang kutahan seminggu ini.

TIIIN

Suara klakson mengejutkanku, saat menoleh, cahaya oranye yang bersatu dengan derasnya hujan menyapa netraku.

Kakiku terpaku, yang kulakukan hanyalah melindungi kepala dengan kedua tanganku.

5 detik ...

10 detik ...

Kenapa tidak terjadi apa-apa?

"KALO BAWA MOTOR YANG BENER!"

Teriak seseorang, lalu terdengar segala umpatannya sembari kembali melaju.

Aku membuka mata, hendak memastikan apa yang terjadi.

"Kalo berdiri jangan di tengah jalan!"

Aku tersentak.

Di depanku ada seorang lelaki dengan pakaian serba hitam, juga helm full face yang senada. Ia mengendarai motor besar serta jaket kulit yang melekat sempurna di tubuhnya.

"Sana minggir!" sentaknya lagi.

Aku segera berdiri, lalu memberinya jalan.

"Ngapain masih di sini? Sana!" Ia menunjuk kursi halte yang tak jauh dari posisiku.

Aku mengangguk, sungguh aku tak bisa berkata apapun saat ini.

Saat sudah duduk, sosoknya sudah hilang entah kemana.

Aku menatap tubuhku yang basah kuyup. Semoga saja barang-barangku tidak ikut basah.

"HP!" Aku meraba saku, lalu mengambil ponsel untuk mengeceknya.

"Mati deh." Ponselku tak bisa dinyalakan, aku memasukkannya ke dalam tas.

Karena tak tahu harus kemana, aku memilih untuk tetap di sini. Menonton derasnya hujan di sore ini. Bahkan jika ada petir sekalipun, aku tak peduli.

"Raya!"

Aku memicingkan mata, berusaha mengenali siapa yang sedang menghampiriku.

"Kak May?" kagetku.

Esok dan SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang