Δεκαεπτά | Perburuan

41 12 14
                                    

Edlynne memandang layu ke luar jendela. Oh, betapa ia merindukan putranya. Dalam hati ia berdoa agar Theon tidak hidup sepertinya. Agar hidup Theon menjadi lebih bagus darinya. Seharusnya sekarang Theon sedang bahagia dengan Darien, kan?

Ia lalu mengarahkan sorot tatapnya ke seluruh penjuru rumahnya yang kecil dan kotor. Dengan dinding tak rata yang dibangun dari susunan batu dan kapur. Tak lupa ruangan kecil yang menggabungkan dapur sederhana serta ruang tengah dengan cerobong asap yang sudah lama tak dibersihkan sejak musim dingin tahun lalu. Pun kamar sempit yang bahkan jendelanya rusak, tak dapat ditutup hingga mengakibatkan dirinya harus memastikan tirai terpasang rapat guna menahan udara dingin malam hari.

Belakangan, meski membawa kenangan buruk, kehadiran Darien di rumah ini membuat beban yang dirasa Edlynne berkurang. Itu karena ia tak harus bekerja keras demi mendapatkan uang dan memperhatikan Theon di saat bersamaan. Pun agaknya, jauh di hati kecilnya, ia merasa tenang melihat Theon gembira bertemu dengan ayah kandungnya.

Kini setelah kepergian Theon dan Darien dengan raut lesu yang masih terbayang di kepala Edlynne, rasanya rumah itu menjadi sepi. Terbalut oleh nista dan suram yang tebal. Apalagi sejak diangkat menjadi tabib kerajaan, Revian jadi sering berada di istana.

Edlynne tak mau mengakuinya, namun diam-diam ia ingin Darien kembali kesini lagi. Bahkan jika Darien mengajaknya untuk pergi ke Demesilia dan memulai hidup baru bersama disana, lagi, sepertinya Edlynne tak akan langsung menolak kali ini.

Lantas Evan?

Perempuan bermanik hijau emerald tersebut menghela napas. Entah mengapa, datang keraguan di hatinya mengenai pria itu.

Apakah Edlynne sungguh-sungguh mencintai Evander? Bukankah Edlynne menyukainya hanya karena Evan adalah seorang pangeran? Jika hingga kini ia masih belum tahu bahwa Evander adalah pangeran, akankah ia menganggap bahwa perasaan nyaman di relungnya ini adalah cinta? Atau keraguan ini muncul hanya karena ia lama tak bertemu sang kasih?

Lalu Edlynne mulai berandai-andai. Seandainya waktu itu ia tak menolak ajakan Darien untuk hidup bersama, atau mengesampingkan sedikit ego dan harga dirinya, atau lebih jauh dari itu. Seandainya ia tidak kabur setelah malam dimana Darien mabuk dan melakukan hal hina padanya, seandainya Edlynne tidak bertemu dan menjadi budak keluarga Casino, seandainya ia lahir dari orang tua yang mapan dan menyayanginya,

akankah hidup Edlynne detik ini terasa lebih baik dari yang seharusnya terjadi?

Tok tok.

Kalut pikiran Edlynne seketika terbuyar manakala rungunya menangkap suara pintu rumah yang diketuk. Gadis itu merapikan cepat dirinya yang tampak berantakan, lalu melangkah menuju pintu sebelum kemudian menarik kenopnya.

Tepat 2 detik setelah pintu itu terbuka, sosok pria di hadapannya langsung menghambur memeluknya. Edlynne tentu saja terkejut. Namun tidak butuh waktu lama bagi si puan untuk mengenali kasihnya.

"Lynn! Aah.. Aku sangat merindukanmu!"

Tidak seperti biasanya, Edlynne diam ketika kasih sayang Evander menerjang dirinya. Jika dirinya yang biasa akan balas memeluk sang lelaki dan berkata 'aku juga meridukanmu, Evan', kali ini Edlynne tak memberikan respon apapun. Bahkan tak segaris senyum pun muncul di parasnya.

Evander melepas dekapnya dan menatap sang cinta heran kala menyadari bahwa puannya tak bersikap macam biasa. "Lynn, apa kau baik-baik saja?"

Wanita dengan surai coklat terang itu akhirnya balik menatapnya. "Aku baik. Tapi bisakah kau mengecilkan suaramu?"

"Maaf," ucap Evan berbisik. Ia lalu tersenyum manis. "Bagaimana jika kita pergi ke tempat itu, Lynn?"


꒰ C h a m è n o s ꒱



𝐈𝐁𝐄𝐑𝐈𝐀: ChamènosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang