Bab 14 : Ganti Peran

24 5 0
                                    

Ayana setiap beberapa menit sekali harus meluruskan pinggang dan jemarinya sejenak sebelum mulai menanda tangan lagi. Berkas yang menumpuk di meja seakan tak berhenti datang. Ia sendiri heran mengapa ayahnya tidak pernah mengeluh, tentang betapa banyaknya dokumen yang harus dicek dan divalidasi.

Ketukan di pintu membuat Ayana berhenti menandatangani dokumen-dokumen tersebut. Kepala Ezra muncul dari balik pintu dan berkata pelan, "Bu Ayana, Pak Damar sudah di sini." sekretarisnya memberitahukan dan langsung membuka pintu lebih lebar.

"Terima kasih, Za. Oh, iya. Tolong tinggalkan kami berdua."

Ezra menunduk dan meninggalkan ruangan setelah Damar masuk. Ayana langsung berdiri dan mempersilakan Damar untuk duduk di sofa yang harganya hampir 50 juta berwarna hitam berbahan dasar terbaik dalam ruangannya.

"Selamat, Aya. Om tahu, kamu memang gadis yang penuh semangat. Persis seperti papa kamu."

"Terima kasih, Om. Aku ambilkan minum dulu." Ayana membuka kulkas dan mengambil jus dalam kemasan. "Om, mau rasa apa?"

"Mangga kalo ada. Ehm, tadi pagi ada sedikit insiden, ya? Kok, kamu nggak muncul di pintu depan?"

"Oh, itu. Aku hanya belum merasa nyaman mendapat sambutan seperti itu." Ayana yang sudah berada di depan sofa, meletakkan minuman di depan Damar.

"Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Itu artinya sebelum berusia 25 tahun, kamu harus segera me—"

"Menikah. Aku yakin tentu saja. Aku bahkan sudah punya calon. Hanya saja aku belum memperkenalkan kepada publik. Lagi pula rasanya kurang pas kalau dalam waktu dekat, aku mengumumkan pertunangan. Kuburan keluarga kita bahkan masih basah."

Secepat ini? pikir Damar. Kekesalan yang sejak kemarin ditahan tidak dapat disembunyikan. Raut kemarahan pria itu terlihat oleh mata Ayana yang memang sengaja memprovokasi pamannya tersebut.

"Apa, Om Damar, pikir aku nggak bakal menikah? Aku memang introver, tapi aku masih gadis normal dan ingin punya kekasih, jika mau." Ayana menyunggingkan senyum kemenangan.

"Ah, tentu saja. Keponakanku cantik begini, siapa yang tidak suka." Damar mencoba sekuat tenaga agar wajahnya tidak menjelaskan ketidasukaannya kepada gadis di depannya.

"Emm. Aku panggil, Om Damar, ke sini bukan untuk membicarakan syarat yang sudah aku catat dalam benak itu. Tapi, aku ingin, Om, sebagai keluarga agar menyelidiki penyebab kematian opa, papa, dan mama." Ayana berhenti berkata demi memperhatikan kembali wajah pria di depannya, yang kini seperti menggelap tanpa sebab.

Damar berusaha keras untuk tidak bereaksi berlebihan. "Mereka sudah dimakamkan dan kasusnya sudah ditetapkan sebagai murni karena kecelakaan. Selain itu, sopir truk trailer sudah dimintai pertanggungjawabannya. Apa lagi yang kau inginkan?"

"Aku merasa ada yang aneh. Menurutku kita harus minta penyelidikan ulang atas kematian tak wajar mereka."

"Tak wajar? Dengan begini, kau menuduh pihak kepolisian tidak bekerja dengan benar?"

"Bukan begitu, aku hanya merasa proses penyelidikan sepertinya mendapatkan hasil yang terlalu cepat."

Damar terdiam sejenak. Ia memang sedikit terburu-buru dalam eksekusi kemarin. Ia pikir, gadis itu tidak akan menyadari kejanggalan yang berusaha ditutupi.

"Apakah kau punya bukti baru, Aya?"

"Tidak, ah, tepatnya belum. Tapi, aku akan mencarinya. Oleh sebab itu, aku ingin, Om, sebagai keluarga terdekat membantu dalam prosesnya." Ayana menatap lekat laki-laki di depannya.

Damar pun tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia akan berusaha memadamkan rasa penasaran Ayana terhadap kasus kematian Tirta dengan berpura-pura setuju.

"Oke, aku akan menemui pihak kepolisian lagi dan menemukan bukti baru agar kita dapat meminta proses penyelidikan ulang."

Under Blanket [ ✔️ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang