Di depan ruang rawat VVIP, beberapa karyawan dan kolega datang menjenguk Ayana sekaligus ingin menyampaikan bela sungkawa. Namun, gadis itu masih tidak mau menerima siapa pun untuk menemuinya. Ia malah menyembunyikan diri di balik selimut rumah sakit seraya memandang jendela dengan nanar.
"Non, ada Bu Tanti dan Pak Erwin." Mbok Win menyampaikan informasi selagi dirinya meletakkan karangan bunga dari beberapa vendor perusahaannya.
"Aku nggak mau ketemu siapa-siapa, Mbok. Aku, kan, sudah bilang dari tadi."
"Baik, Non." Mbok Win mengangguk dan kembali ke luar ruangan.
Ayana sedang kebingungan, ia tidak tahu bagaimana caranya memimpin perusahaan besar yang telah dirintis sejak akhir tahun 70-an itu. Ia merasa tidak mampu, tetapi untuk menyerahkan perusahaan dengan Damar, gadis itu justru ragu. Entah mengapa, sulit baginya untuk mempercayai setiap kalimat yang dilontarkan pria itu beberapa hari yang lalu.
Belum lagi masalah pernikahan yang terlihat dipaksakan. Seperti sengaja ada oknum yang ingin perusahaan Nila Paint tak boleh jatuh ke tangannya. Masalahnya ia tidak tahu harus ke mana mencari jawaban. Sedang gadis itu tidak mengenal seorang pun yang bisa dipercaya dalam menjalankan bisnis ini.
Selama berkecimpung di dunia kerja, ia telah melihat beberapa rekan bisnis keluarganya yang hanya memikirkan keuntungan dan investasi, ditambah saham yang mungkin merosot karena penggantian pimpinan yang dianggap tidak mumpuni. Ayana takut akan menghancurkan perusahaan Nila Paint melalui tangannya.
Selagi berbagai macam pemikiran berkecamuk. Gadis itu dikejutkan dengan pintu yang terbuka tiba-tiba. Di belakang pintu tersebut, wajah Ezra dan Agam muncul dengan senyum lebar ala mereka masing-masing. Satunya kenes sedang yang lain terlihat ramah.
"Hei! Kalian?" Ayana jelas protes.
"Halo Aya. Lo, kelihatannya baik-baik aja. Ngapain masih di sini?" Ezra bertanya sembari berjalan mendekati ranjang rumah sakit dengan senyumnya yang menawan, tetapi terkesan genit itu.
"Harusnya gue yang nanya, Za. Ngapain kalian di sini?" Ayana duduk dengan tegak sebab terkejut mendapat kunjungan mendadak itu .
"Jenguk elo, lah. Lo tega bener kita berdua juga sampe nggak boleh nengok. Salah kita apa coba?" Ezra bicara sambil memperhatikan wajah sahabatnya itu.
"Sori. Gue butuh waktu buat mikir. Sekarang kalian keluar aja," pinta Ayana seraya berpaling kepada Mbok Win yang berdiri di depan pintu. "Antar keduanya keluar dan pastikan sekuriti di depan mendapat teguran atas kelalaiannya."
"Kamu mau negur siapa, Ay? Yang jaga, kan, gue. Itu sebabnya gue biarin si Ezra buat masuk. Lagian lo aneh banget, deh. Kita berdua ini bukan orang asing." Kali ini Agam berkata santai seraya duduk di sofa.
"Maaf, Gam. Tapi, aku bener-bener butuh waktu sendiri. Ada sedikit masalah perusahaan sepeninggal Opa dan Papa." Ayana masih berusaha mengusir kedua pria itu.
"Kalo sedikit, kenapa kita sampai dilarang masuk? Padahal lo bisa cerita ke kita, biar bisa mikir bareng-bareng. Itulah jeleknya elo, Ay. Kebiasaan diam dan mikir sendirian. Padahal ada banyak orang yang peduli. Termasuk kita berdua." Ezra ganti berkata seraya menarik kursi di samping tempat tidur Ayana.
"Ini bukan masalah kalian, kenapa harus repot minta dibagi masalahnya, sih?"
"Karena lo sobat gue, gue gak suka liat lo muram gini. Lagian mana ada sahabat yang ninggalin kayak lo dulu." Ezra berkata cuek, kali ini ia tidak ingin Ayana melarikan diri dari masalah lagi.
Agam yang sedang mengunyah roti keju buah tangan para pengunjung ikut komentar. "Gue mungkin bukan sahabat, tapi kita pernah dekat, Ay. Seharusnya masalah elo jadi masalah gue juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Blanket [ ✔️ TAMAT ]
Chick-LitApa jadinya, jika seorang introver seperti Ayana Paradista menjadi CEO? Jangankan menjadi pemimpin sebuah perusahaan, bertemu dan bergaul dengan orang lain saja ia sungkan. Apa yang harus Ayana lakukan saat harus menjalani hal yang tidak disukainya...