Hari ini, Ayana menyesal gara-gara obrolan dengan ibunya tempo hari. Hari liburnya yang berharga telah hilang karena asal berkata ingin ikut les beladiri.
Sekarang, ia telah berada di depan gedung bertingkat dua dengan papan reklame besar. "Dojang O Kumgang" yang berarti tempat berlatih taekwondo "Lima Gunung Berlian".
"Punya satu gunung berlian aja udah kaya raya, gimana lima?" Ayana tersenyum-senyum seraya memasuki tempat tersebut. Wajar ia memahami arti dari tulisan hangul yang berasal dari Korea. Ia sudah lulus ujian dengan nilai terbaik. Untungnya bisa kuliah berbasis online adalah, gadis itu bebas mengambil pendidikan non formal lain di luar kampus.
Tak ada yang salah dan masalah dengan nama tempat tersebut. Namun, sesaat setelah gadis itu melangkah masuk. Ia terbengong-bengong ketika mengetahui siapa yang akan menjadi pelatihnya.
"Agam? Agam Sumarga?" Mata gadis itu terbelalak.
Laki-laki yang dipanggil jelas merasa bahagia. Matanya berbinar saat gadis yang dirindukan tiba-tiba muncul dihadapannya.
"Ayana? Gue pikir ini mimpi. Ketemu lo di sini enggak pernah terbayang dalam benak selama ini." Laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itu menatap wajah Ayana sampai merasa jengah.
"Sama. Gue juga nggak nyangka. Tapi, kayaknya mau cancel aja, deh. Gue tiba-tiba enggak enak badan." Ayana langsung berbalik, tidak ingin melanjutkan latihan, yang berarti ia dan Agam akan bertemu terus dua kali dalam satu minggu, mana latihannya privat pula.
"Lo, sakit atau kenapa? Istirahat dulu aja kalau begitu. Lagian, mana bisa di cancel. Bu Morina sudah membayar lunas untuk satu tahun." Agam berkata dengan nada tenang, masih seperti dulu. Saat mereka masih pacaran, suara bariton pria itu memang memberi efek aman.
"Apa? Ya, kalo gitu lo pulangin aja uang nyokap gue. Lagian ini baru hari pertama juga."
"Enggak bisa juga, berhubung biaya yang dibayarkan sudah termasuk pembelian baju dan perlengkapan." Agam pun meminta salah satu anggota untuk mengambilkan kotak yang berada di ruangannya.
Anggota tersebut menempatkan kotak di antara kedua insan yang masih berdiri dengan canggung. Agam segera membuka segel dan mengeluarkan semua isinya satu-persatu.
"Ini semua perlengkapannya?" Ayana mengeluarkan dobok--seragam beladiri taekwondo, target, dan body guard lengkap, plus alat pelindung alat kelamin yang bentuknya seperti celana dalam.
Agam mengangguk. "Yup!"
Ayana merasa seperti terjebak. Ia kebingungan dan hendak menghindari laki-laki yang terus menatapnya dengan pandangan penuh rindu itu.
Namun, tak ada yang bisa gadis itu lakukan. Dengan terpaksa ia mengikuti saja kemauan ibunya dan memulai latihan di hari minggunya yang tidak jadi ceria.
Pulang dari latihan yang melelahkan. Ayana duduk di atas sofa ruang tamu. Ia mengangkat kedua kaki jenjangnya ke atas meja berpelitur mengilat. Gadis itu memanggil Nita—ART-nya.
"Rumah, kok, sepi, Ta? Pada ke mana?" tanya Ayana kepada Nita yang mengantarkan es jeruk.
"Tuan Tirta, Pak Dimas, dan Ibu Morina pergi ke acara peresmian apartemen baru di daerah Jakarta Utara, Non." Nita menjawab seraya mengelap jemari di apronnya.
"Oh." Ayana tak lanjut berkata, ia segera meneguk minumannya dengan cepat.
Pemilik apartemen yang dimaksud Nita, adalah klien besar perusahaannya. Mereka menggunakan produk dari Nila Paint dan memesan dalam jumlah banyak.
Ayana melirik jam dinding. "Udah jam sembilan, kok, belum pulang? Acaranya masih lama kali, ya?"
"Mungkin, Non. Soalnya ibu tadi bilang sekitar jam sebelas baru nyampe rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Blanket [ ✔️ TAMAT ]
Chick-LitApa jadinya, jika seorang introver seperti Ayana Paradista menjadi CEO? Jangankan menjadi pemimpin sebuah perusahaan, bertemu dan bergaul dengan orang lain saja ia sungkan. Apa yang harus Ayana lakukan saat harus menjalani hal yang tidak disukainya...