Bab 8 : Duka dan Hak Waris

39 6 1
                                    

Kamar rawat inap dalam pandangan mata Ayana--yang baru saja sadar dari pingsan--tampak samar dan sepi. Tempat ia berbaring tak seempuk spring bed miliknya, bau disinfektan pun menyeruak penciuman, membuat dadanya tiba-tiba sesak.

Televisi yang tergantung di depan ranjang, menampilkan bayangan Ayana yang telah memakai piama pasien. Tubuhnya yang setengah tertutup selimut bergaris biru-putih, masih terasa sakit di beberapa bagian akibat latihan beratnya beberapa waktu lalu.

Sejenak ia mulai mengingat-ingat apa yang terjadi, sampai dirinya terbaring di kamar tersebut. Setelah beberapa menit, air mata mulai membanjiri pipi.

"M-mama, Papa, Opa," ratap gadis itu di tengah isaknya.

Ketukan lembut terdengar, Mbok Win yang duduk diam di tepi ranjang membukakan pintu untuk seseorang.

"Om Damar?" panggil Ayana lirih. Ia baru menyadari setelah semua yang terjadi, kini Damar adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki.

"Ayana." Damar berjalan cepat dan memeluk kepala gadis yang dulu sering ia gendong itu. "Bersabarlah. Kamu juga nggak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Biar Om yang urus pemakaman. Kamu tenangkan diri dulu, ya."

Tangis gadis dalam dekapan Damar pun pecah. Ia memang tidak terlalu dekat dengan laki-laki tersebut, tetapi hari ini ia tidak tahu harus menumpahkan kesedihan kepada siapa selain kepada pamannya itu.

"O-om Damar? Aya mau keluar dari sini. Aya mau lihat wajah papa, juga ingin memeluk mama untuk terakhir kali." Selagi berkata, Ayana merasa kepalanya seperti berputar tangis pun kembali tumpah.

Pria itu dengan sabar menenangkan keponakannya. Ia berusaha tampak tulus saat mengelus punggung gadis itu.

Setelah Ayana sudah sedikit tenang. Pria itu mulai berbicara serius.

"Maaf, Sayang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat bagimu. Namun, perusahaan tidak dapat berhenti beroperasi. Jadi, Om, harus segera mendiskusikan beberapa hal denganmu sekarang."

"Tentang apa?" Ayana menghapus air mata dan menatap Damar dengan mata yang sembap.

"Sebagai pewaris, maka otomatis kau adalah pemimpin selanjutnya. Namun, jika sekarang belum dapat melakukannya, aku dapat menggantikan dirimu sementara waktu. Setelah itu, kita bisa minta persetujuan dewan direksi untuk kelanjutannya, apakah kau dianggap mampu untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan ayahmu, atau kau bisa mendelegasikan kepada orang yang kau percaya. "

Ayana menatap mata kelam laki-laki di hadapannya. Selama ini, hanya sedikit yang gadis itu ingat tentang pamannya itu. Sebab keduanya tidak terlalu sering bertemu kecuali urusan keluarga. Ia tak menyangka perusahaan begitu kejam dengan langsung mengambil keputusan di saat warna duka masih menyelimuti perasaan.

Ia tidak sedang kehilangan satu orang dalam keluarga, tetapi tengah kehilangan tiga orang paling dipercaya sekaligus. Gadis itu bahkan tidak tahu, masih sanggupkah dirinya berjalan melanjutkan hidup besok tanpa ketiga orang tersebut di sisinya.

"Apa keputusan harus dibuat secepat ini, Om? Aku masih ...." Kerongkongan gadis itu terasa kering karena terlalu banyak menangis. 

"Om, paham. Tapi, perusahaan bisa kehilangan kepercayaan dari klien kalo kita tidak segera bertindak. Selain itu, harga saham bisa turun akibat hal ini."

Ayana terdiam. Menyadari inilah dunia bisnis yang telah dijalani keluarganya selama lebih dari 40 tahun. Seperti dulu ia pernah mendengar kalimat, "Bisnis ya bisnis, dalam bisnis tidak mengenal kata keluarga dan teman." Dulu ia bertanya-tanya apa makna di balik kalimat pedas tersebut, sekarang ia baru memahaminya.

Damar membuka tas, kemudian menunjukkan surat warisan dengan catatan Ayana adalah pewaris tunggal aset yang dimiliki ayah dan ibunya. Lalu dalam perusahaan, gadis itu akan memiliki besaran saham 40%. Namun, untuk dapat menerima saham, keuntungan perusahaan, dan keseluruhan aset milik kakeknya, ia harus menikah saat usianya menginjak 25 tahun.

Under Blanket [ ✔️ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang