Setelah akhirnya tertidur jam dua pagi karena memikirkan banyak hal. Ayana pun baru terbangun jam delapan keesokan harinya. Ia langsung terkejut menatap jam weker dan berlari ke kamar mandi, kemudian balik lagi ke kamar karena handuknya ketinggalan. Ia mandi secepat kilat sampai hampir lupa sikat gigi.
Selagi menatap pantulan diri di cermin yang berembun seraya menyikat giginya. Pikiran Ayana terlempar kembali pada tawaran Gilang. Ia menepuk keningnya yang setengah basah karena terlalu gila sampai menawarkan hatinya kepada laki-laki itu.
Ia bukannya terburu-buru. Hanya saja waktu terus berjalan dan hubungannya dengan laki-laki itu masih saja jalan di tempat. Tenggat waktu umur 25 tahun tak terasa tinggal hitungan bulan. Memang belum saatnya panik, tetapi ia ingin serakah dengan menginginkan Gilang.
"Semoga aja laki-laki itu nggak mikir gue cewek gampangan." Ayana meludah dan berkumur. Kemudian baru ingat hari ini ia tak perlu ke kantor. Tampangnya langsung lemas karena menyesal sudah telanjur mandi.
Gadis yang menggulung rambutnya dengan handuk itu kembali menepuk keningnya yang sedikit lebar dan licin. Persis seperti kakek dan ayahnya. Ia baru sadar Om Damar sama sekali tidak mirip dengan mereka, kulit Om Damar lebih gelap, rambutnya pun sedikit ikal. Tidak seperti rambut mereka sekeluarga yang lurus.
"Apa Oma dulu mirip dengan Om Damar?"
Ayana berpikir seraya kembali ke kamarnya dan kembali bergelung di balik selimut. Cuaca hari ini memang cocok untuk kembali tidur, gerimis di luar membuat suasana pagi cukup dingin.
Ketukan di pintu membuat Ayana memutar bola matanya. Sejak jadi CEO ia bahkan hampir tidak memiliki waktu libur, apalagi Ezra yang ia tugaskan menjadi sekretaris ternyata sangat perfeksionis.
"Masuk," seru Ayana kepada entah siapa yang mengetuk pintu kamarnya.
Kepala Ezra muncul setengah di balik pintu. "Pagi, Bu Ayana. Apakah Anda sudah berpakaian lengkap?" Pria itu menanyakan hal absurd, sebab kejadian sebelumnya sampai terbawa mimpi dan jangan sampai terulang lagi.
"Katanya gue boleh libur hari ini? Gue mutusin buat healing barang sehari, Za." Ayana merengut di balik selimutnya yang hangat.
"Iya, gue tau. Gue cuma mo kabarin sedikit hal aja." Ezra duduk di kursi samping nakas dan menariknya lebih dekat ke pembaringan. Pria itu langsung membuka gawainya.
"Kan, lo bisa chat aja atau telepon? Kenapa mesti ke sini?" Ayana terpaksa duduk dengan tegak.
"Gue sekalian mau lihat kondisi elo. Gue khawatir banget sampai nggak bisa tidur tau enggak?" Ezra langsung berubah menjadi moda ngeselin seperti biasanya.
"Kalo gitu, liat baik-baik. Gue nggak apa-apa, kan?" Ayana merentangkan lengannya dan memiringkan badan ke kiri dan kanan. "Masih sehat dan lengkap."
"Paling enggak gue udah lihat, kan. Oh, iya. Jadi serius si Agam lo jadikan pengawal pribadi? Lo enggak bermaksud jadiin ini ajang balikan, kan?"
"Enggak, lah. Soalnya gue takut kalo pakai jasa orang lain. Mana tahu orangnya mesum? Paling enggak sedikit-banyak gue udah paham karakter si Agam."
"Jadi, lo yakin si Agam enggak bakal mesum?"
"Yaaa, setidaknya gue kenal kalian. Lo paham, kan, kalo gue harus ketemu orang asing itu rada gimana gitu?"
Ezra merasa sedikit keberatan, tetapi laki-laki itu hanya mendesah. "Iya, iya. Paham. Lo itu harusnya coba untuk sedikit demi sedikit belajar dalam keramaian, ketemu orang baru, jadi lo nggak gaulnya sama kita-kita terus."
"Gue bukan nggak bisa ketemu orang baru, Za. Cuma gue ngerasa kurang nyaman ngobrol sama mereka yang gue nggak kenal deket. Lo, kan, tau gue nggak bisa berbasa-basi busuk apalagi harus berpura-pura perhatian. Aduhhh, nggak banget. Paling tidak dengan kalian berdua gue ngerasa nyaman, itu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Blanket [ ✔️ TAMAT ]
Chick-LitApa jadinya, jika seorang introver seperti Ayana Paradista menjadi CEO? Jangankan menjadi pemimpin sebuah perusahaan, bertemu dan bergaul dengan orang lain saja ia sungkan. Apa yang harus Ayana lakukan saat harus menjalani hal yang tidak disukainya...