Esok paginya, Ayana telah siap menggunakan blazer berwarna krem, serasi dengan rok span selutut yang memiliki sedikit belahan di samping kanan. Ia memang introver, tetapi kalau untuk urusan fesyen gadis itu pandai memadu padan. Rambutnya diikat jadi satu dengan rapi, tak lupa pula ia memoles sedikit riasan. Tak berlebihan, sederhana menurut gadis itu.
Morina mengetuk pintu kamar, saat Ayana hendak menempelkan lipstik berwarna cokelat muda ke bibirnya yang tipis dan berbentuk busur tepat di tengah itu.
"Sudah siap, Sayang?" tanya wanita itu.
"Tinggal pakai lipstik, Ma," jawab Ayana yang sedikit menyesal, karena mengiakan kemauan kakeknya semalam. Padahal ia sangat senang karena semasa kuliah dulu, gadis itu hanya keluar rumah satu minggu sekali saja. Kuliah hanya berlangsung di hari Sabtu dan selebihnya diberi tugas. Sisanya berleha-leha sepanjang hari.
Ayana yang tak senang jadi pusat perhatian, kadang lebih memilih menggunakan hoodie, celana jeans gombroh, dan tanpa make-up sama sekali untuk ke kampus. Akan tetapi, hari ini ia bukan mau ke kampus, melainkan bekerja di perusahaan besar yang telah dibangun dengan susah payah oleh sang kakek, dibantu ayah dan pamannya.
"Stop!" Morina membuat anak gadisnya--yang sudah mulai memulas bibir--menjadi terkejut. Lipstik pun melenceng keluar jalur.
"Ahhh! Mama!" Ayana langsung panik.
"Maaf, Sayang. Sini Mama bantu." Morina segera mengambil tisu di atas meja.
Setelah membersihkan lipstik yang menodai wajah mulus anaknya. Morina mengambil lipstik dengan warna merah muda. "Jangan terlalu tipis riasannya, kamu masih muda. Coba gunakan warna yang lebih ceria seperti warna pink ini. Warna-warna nude bikin wajahmu terlihat pucat."
"Enggak mau! Baju ini aja udah cukup mencolok, apalagi kalau aku pakai lipstik warna pink."
"Kalo gitu, biar lebih soft kita padukan dengan warna cokelat muda yang tadi. Gimana?"
"Iya, deh. Tapi jangan tebal-tebal, Ma. Aku enggak suka." Ayana berkata dengan nada manja, lalu otomatis memonyongkan bibir. Wanita yang berdiri di depannya segera menempelkan pewarna bibir tersebut.
"Iya, Mama, paham. Kamu nggak suka tampak menonjol. Tapi, walau bagaimanapun kamu itu anak seorang CEO perusahaan besar di negara ini. Calon pewaris enggak mungkin dandan asal-asalan. Seorang pemimpin juga harus bisa menunjukkan cara berpakaian yang pantas, agar dapat menjadi contoh bawahan."
Morina telah selesai memulas bibir dan mengangsurkan cermin kecil ke depan anak gadisnya. Ayana memahami, pemimpin akan menjadi contoh teladan bagi anak buahnya. Bukan hanya hal besar saja, tetapi dimulai dari hal kecil seperti gaya berpakaian.
"Iya, Mamaku Sayang." Gadis itu tersenyum manis kepada sang ibu yang memeluk kepalanya.
Keputusan untuk bekerja di perusahaan keluarga, disambut gembira oleh ayah dan ibunya. Dimas dan Morina tak habis pikir, bagaimana cara Tirta dapat merayu gadis keras kepala itu semalam.
"Aku sudah mendirikan perusahaan dengan bernegosiasi ke berbagai macam klien, masa aku kalah dengan cucu sendiri." Tirta menyombongkan diri di depan Dimas. Dadanya membusung seraya menepuk dada kiri.
"Salut, Pa. Kalau aku yang merayunya, sudah pasti nggak bakal mempan." Dimas tersenyum seraya menyeruput kopinya.
"Ngomong-ngomong, di mana anak itu? Kok, belum kelihatan batang hidungnya? Jangan-jangan belum bangun?" Tirta menatap Morina--yang datang dari arah dapur membawakan dua piring wafel dan madu.
"Sudah berangkat dari tadi, Pa." Morina menjawab pertanyaan sang mertua seraya meletakkan piring di depannya.
"Loh, kok, enggak bareng Dimas?" Tirta merasa heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Blanket [ ✔️ TAMAT ]
ChickLitApa jadinya, jika seorang introver seperti Ayana Paradista menjadi CEO? Jangankan menjadi pemimpin sebuah perusahaan, bertemu dan bergaul dengan orang lain saja ia sungkan. Apa yang harus Ayana lakukan saat harus menjalani hal yang tidak disukainya...