2. Andreas

42 4 0
                                    

Aku yang tidak mengenal pria di depanku saat ini hanya diam menatapnya, dan pria itu tanpa menunggu jawabanku dan meminta izin kepadaku langsung duduk di kursi di depanku sambil tersenyum.

"Apa kamu sudah lupa kepadaku, Paula?"

"Kamu siapa? Sepertinya kita belum pernah bertemu sebelumnya."

"Ayolah, Paula. Masa kamu lupa kepadaku? Apa karena sekarang aku sudah menjadi pria dewasa yang tampan sampai kamu melupakanku."

Aku yang masih binggung dan merasa tidak mengenal pria itu hanya diam mendengar ocehan pria yang ada di depanku, dan pria itu terus saja berbicara seolah-olah mengenalku.

Karena muak dengan ocehan pria itu, aku kemudian bangkit tanpa menanggapi sedikitpun ocehannya. Tapi baru saja aku berdiri, pria itu mencegahku untuk pergi.

"Lepaskan tanganmu!" perintahku sambil menatapnya tajam.

"Paula, apa kamu benar-benar tidak mengenalku?" tanya pria itu sambil bangkit, dan kali ini nada bicaranya menjadi serius.

"Aku tidak mengenalmu, dan sekarang lepaskan tanganmu karena aku harus pergi!" tegasku.

"Wow! Ternyata kamu sudah berubah Paula. Lima tahun kita tidak bertemu, kamu sudah melupakanku, padahal dulu kita sangat dekat dan ke mana-mana kita selalu berdua."

"Apa maksud kata- katamu itu? Memangnya siapa kamu? Sejak tadi hanya mengoceh tidak jelas tanpa menyebutkan namamu!"

"Kalau kamu ingin tahu siapa aku, maka berjanjilah kepadaku kamu tidak akan pergi, dan kamu harus menemaniku menghabiskan kopiku. Bagaimana, apa kamu mau?"

Aku yang tidak ingin membuang-buang waktuku memilih menolak permintaan pria itu dengan diam dan melangkah meninggalkannya.

"Aku Andreas, Paula. Apa sekarang kamu sudah ingat kepadaku?" teriak pria yang baru saja aku abaikan, dan teriakannya mampu menghentikan langkahku.

Andreas? Apa benar itu dia?

Aku yang tidak langsung percaya dengan apa yang dikatakan pria itu, kemudian berusaha mengingat-ingat sahabatku yang bernama Andreas, dan Andreas sahabatku dulu wajahnya tidak seperti pria yang baru saja aku temui saat ini.

Andreas sahabatku itu kurus, dekil dan tidak peduli dengan apa yang dia kenakan. Tapi pria yang baru saja aku temui, dia sangat tampan, bersih dan wangi serta modis.

Berbeda sekali dengan sahabatku Andreas. Tapi satu yang hampir sama dari dua orang itu, yaitu cara dia mengoceh hampir sama dengan sahabatku itu.

Apa mungkin dia benar-benar Andreas? Atau hanya pria iseng yang mengaku-ngaku Andreas?

Tapi bila dia benar Andreas, bagaimana dia mengenaliku. Sedangkan kami sudah lima tahun tidak bertemu.

"Apa kamu masih ragu denganku, Paula?" ucap lirih pria yang mengaku sahabatku tiba-tiba di telingaku, dan itu membuatku terkejut dan membubarkan lamunanku.

Sehingga aku langsung menoleh ke arah pria itu dan mendorongnya menjauh dariku.

"Kamu tidak mungkin Andreas!" elakku sambil mengamati pria yang ada di depanku dari atas hingga ke bawah dengan teliti, "Andreas sahabatku tidak seperti kamu. Karena dia—.“

"Dekil, jelek dan juga tidak modis 'kan? Bahkan untuk mengurus dirinya sendiri dia tidak bisa, sehingga sahabatnya Paula yang selalu mengomelinnya," sela pria yang ada di depanku sambil menatapku.

Aku hanya bisa membeku ketika pria yang mengaku Andreas ini menyelaku, dan dia lalu mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan sebuah foto kepadaku.

"Apa kamu ingat foto ini, Paula?"

"Iya, aku ingat. Ini ketika aku dan Andreas sedang liburan ke rumahnya dan dia sedang berulang tahun hari itu," jelasku sambil memandangi foto lama yang ada di tanganku saat ini.

"Jadi sekarang kamu sudah percaya kalau aku ini Andreas, Paula?"

"Tidak! Aku masih belum percaya kalau kamu Andreas!"

"Astaga, Paula. Bagaimana lagi aku harus membuatmu percaya kalau aku ini benar-benar Andreas? Apa aku harus membuka bajuku agar kamu bisa melihat seluruh tubuhku?"

"Begitu juga boleh. Itu juga kalau kamu berani!" tantangku.

"Baik kalau itu memang maumu, Paula. Aku akan membuktikan kalau aku benar-benar Andreas sahabatmu dulu."

"Ok! Lakukan kalau kamu memang Andreas sahabatku, dan bukan penipu yang mengaku sebagai Andreas!"

Pria yang ada di depanku itu diam untuk sesaat, tapi kemudian dia mulai membuka kancing bajunya dan semakin lama kancing bajunya satu persatu lepas dari tempatnya.

"Ok! Aku percaya kamu Andreas," ucapku ketika melihat pria yang mengaku Andreas itu akan membuka bajunya.

"Benarkah?"

"Iya," jawabku sambil mengalihkan pandanganku ke tempat lain, "Tapi kamu harus memberiku satu lagi bukti kalau kamu benar-benar Andreas sahabatku, dan kamu harus menjawabnya," tambahku.

"Apa itu?"

"Siapa nama panggilanku dan kamu ketika dulu kita sering bermain berdua?"

Pria yang mengaku Andreas itu diam ketika aku menanyakan hal itu, lalu dia mendekatiku dan mendekatkan wajahnya kepadaku.

"Hay, Fussy. I'm Ugly," bisik pria itu di telingaku.

Aku yang tadinya masih tidak percaya pada pria yang ada di sampingku ini, lalu menatapnya dan pria itu lalu tersenyum dan langsung memelukku.

"Aku tidak berbohong 'kan kalau aku ini Andreas. Sekarang kamu harus menebus apa yang sudah kamu lakukan karena tidak percaya kepadaku," bisik Andreas, dan aku langsung mendorongnya.

"Apa maksudmu, Andreas? Wajar kalau aku tidak percaya kepadamu. Kita baru bertemu setelah lima tahun, dan selama itu pula aku tidak tahu kabarmu dan bagaimana kamu selama itu. Apakah kamu masih de—."

Belum juga aku menyelesaikan kalimatku, Andreas langsung menutup mulutku. Kemudian dia menarikku untuk ikut dengannya ke meja di mana tadi kami duduk.

"Kenapa kita duduk di sini lagi? Apa kamu malu aku memanggilmu dekil, jelek dan kampungan?" ejekku.

"Tidak usah mengejekku, Paula.
Bukankah kamu bisa lihat sendiri aku sekarang bagaimana. Jadi jangan menjatuhkan harga diriku di hadapan semua orang yang ada di sini lagi," keluhnya, dan aku langsung tertawa mendengar hal itu.

Aku tidak menyangka Andreas sekarang sudah berubah. Tidak hanya dari penampilannya saja, tapi cara bicara juga. Bahkan dia sekarang sudah memikirkan harga dirinya dan itu membuatku sangat terkejut.

Benar-benar Andreas yang baru tapi ocehannya masih stok yang lama.

"Oh iya, Andreas. Bagaimana kamu bisa mengenaliku? Bukankah sudah lama kita tidak bertemu?" tanyaku penasaran.

"Itu—.“

Belum juga Andreas menyelesaikan kata-katanya, ponselku tiba-tiba berdering dan itu panggilan dari Anna kekasihku.

"Kenapa tidak mengangkatnya, Paula? Apa itu dari—.“

"Aku akan mengangkatnya dulu," selaku kemudian menjauh dari Andreas.

Aku tahu tindakan ini tidak sopan, tapi aku juga tidak ingin Anna mendengar suara Andreas ataupun Andreas tahu tentang Anna.

Anna sengaja menghubungiku karena khawatir dengan keadaanku, dan dia juga mengingatkanku agar aku tidak gegabah dalam berbicara dan bertindak ketika berbicara dengan kedua orang tuaku.

Karena bila hal itu terjadi, maka hubunganku dengan Anna bisa-bisa akan benar-benar berakhir, dan aku tidak akan bisa hidup tanpa Anna. Begitupun juga dengan Anna yang tidak bisa hidup tanpa aku.

Setelah mengakhiri panggilan teleponku dengan Anna. Ketika aku akan kembali ke mejaku di mana Andreas berada, mataku tiba-tiba tertuju pada bayangan seseorang yang sepertinya aku kenal.

"Bukankah itu?" ucapku sambil menatap ke arah orang yang baru saja keluar dari restoran di mana aku berada saat ini.

COMING OUT [ LGBT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang