9. Ayah kena serangan jantung

12 2 0
                                    

Wanita yang berdiri di depan kami itu tidak langsung menjawab pertanyaan Paulina. Tapi dia meminta salah satu dari kami untuk ikut masuk ke dalam bersamanya.

"Kakak saja yang masuk dan melihat kondisi ayah," ujar Paulina.

"Tidak boleh! Dia tidak boleh masuk!" cegah ibu yang membuat kami semua menoleh ke arah ibu, "Ibu saja atau kamu yang masuk, Paulina." Lanjut ibu tanpa mau melihatku.

"Tapi, Bu. Kak Paula—.“

Belum juga adikku menyelesaikan kalimatnya, ibu tiba-tiba langsung masuk ke dalam ruangan, dan Paulina akhirnya aku minta untuk mengikuti ibu.

"Maaf, hanya satu orang saja yang boleh masuk," cegah perawat ketika Paulina akan masuk.

"Maaf, Sus. Kalau boleh biar adik saya saja yang masuk. Nanti ibu saya akan kami minta keluar," mohonku.

"Maaf, Mbak. Tapi ini sudah peraturan rumah sakit ini. Kalau saya mengizinkan mbak masuk, pasti keluarga pasien yang lain akan protes," jawab perawat.

Mendengar penjelasan perawat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi membiarkan ibu mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada ayah juga bukan hal yang baik.

Karena bila ibu sampai tahu penyakit ayah parah, bisa saja akan terjadi hal buruk pada ibu.

"Paulina, lebih baik kamu saja yang masuk dan menyuruh ibu untuk keluar. Karena kakak tidak ingin terjadi apa-apa pada ibu," saranku.

"Tapi, Kak. Apa boleh? Kakak saja tadi tidak diperbolehkan."

"Pasti boleh, Paulina. Bilang saja kamu ingin menggantikan ibu di dalam, dan ibu juga pasti tidak akan menolak."

Paulina tampak berpikir sesaat setelah mendengar penjelasanku, dan dia akhirnya  setuju dengan saranku dan masuk ke dalam menyusul perawat yang sudah masuk lebih dulu.

Ada rasa takut dan perasaan lainnya ketika aku menunggu di luar bersama Anna. Tapi tak berselang berapa lama aku menunggu, pintu ruangan yang ada di depanku seperti ada yang membuka, dan ibu keluar dari ruangan itu.

"Bu, ba—," tanyaku ketika ibu berjalan ke arahku.

Tapi belum juga aku menyelesaikan pertanyaanku, ibu melewatiku tanpa memandangku. Bahkan bisa aku bilang ibu tidak menganggapku ada.

Sungguh sakit rasanya diperlakukan oleh orang yang kita sayangi seperti itu. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkan ibu. Karena semua yang terjadi saat ini adalah salahku sendiri.

Andai aku tidak mencintai Anna, dan menyembunyikan orientasi seksualku selamanya, mungkin semua ini tidak akan terjadi.

"Sayang, ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Anna membubarkan lamunanku.

"Hmmm, aku hanya mengkhawatirkan ayah saja," jawabku sambil menatap Anna yang masih berdiri di sampingku dan memegang tanganku.

"Apa kamu tidak ingin mendekati ibumu dan berbicara dengannya? Karena aku lihat dari tadi ibumu berulang kali mengusap air matanya," ucap Anna.

Apa yang kekasihku ucapkan membuatku langsung menoleh ke arah wanita yang sudah melahirkanku itu.

Ada rasa takut dan rasa bersalah ketika melihat keadaan ibu saat ini. Tapi untuk mendekati dan berbicara kepada ibu aku juga tidak berani. Hingga suara pintu mengalihkan pandangan kami semua.

"Paulina, bagaiman keadaan ayah?" sela ibu ketika aku baru saja akan bertanya kepada adikku.

"Ayah sudah sadah sadar, Bu. Tapi kata doker ayah harus banyak istirahat dulu dan tidak boleh banyak bicara untuk saat ini," jelas Paulina sambil menatapku dan ibu bergantian.

"Apa ibu sudah boleh melihat ayahmu?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca.

Paulina pun mengangguk menjawab ibu, dan tanpa basa-basi lagi ibu langsung masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan ayah.

“Apa semua baik-baik saja, Kak?" tanya adikku mengalihkan pandanganku.
"Hmmm, semua baik-baik saja Paulina. Hanya saja ...."

"Hanya saja apa, Kak? Apa ibu memarahi kakak lagi?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaan Paulina, dan aku lalu bertanya kepada adikku itu bagaimana keadaan ayah sebenarnya.

"Ayah tadi kena serangan jantung, Kak. Tapi karena kita segera membawanya ke rumah sakit. Jadi nyawa ayah masih tertolong," jelas adikku.

"Apa katamu, Paulina? Ayah kena serangan jantung?" tanyaku tidak percaya.

"Iya, Kak. Tapi keadaan ayah sekarang sudah melewati masa kritisnya, dan yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendoakan ayah agar semua baik-baik saja," jelas adikku.

Mendengar penjelasan Paulina kakiku terasa lemas dan air mataku turun tanpa aku sadari. Karena aku masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku dengar, dan semua itu bagai mimpi.

"Salahku! Salahku! Semua adalah salahku!" sesalku sambil memukuli tubuhku.

"Apa yang kakak lakukan? Kenapa kakak memukuli diri kakak sendiri?" bentak adikku sambil mencegahku memukuli diriku lagi.

"Semua ini salahku, Paulina. Andai aku tidak memberitahu ayah tentang hubunganku dengan Anna, pasti ayah tidak akan kena serangan jantung seperti ini," sesalku sambil berusaha memukuli tubuhku lagi, tapi adikku dan Anna mencegahku.

"Ini bukan salah kakak. Sebenarnya ayah sudah lama menderita penyakit jantung, Kak. Hanya saja kami tidak memberitahu kakak."

Apa yang adikku katakan membuatku seperti dihantam ombak sekali lagi. Karena selama ini aku tidak tahu bila ayah menderita penyakit jantung.

Apa aku selama ini terlalu cuek dengan keluargaku? Ataukah memang keluargaku sudah tidak menganggapku penting lagi?

Semua pertanyaan itu berkecambuk dalam hatiku. Rasanya aku masih tidak percaya dengan semua yang terjadi saat ini, semua bagai mimpi di mana aku ingin segera bangun dan semua baik-baik saja.

"Se–sejak kapan ayah sakit jantung, Paulina? Dan mengapa kalian tidak memberitahuku?"

"Sebenarnya ayah sudah menderita sakit jantung sejak lama, Kak. Hanya saja aku baru mengetahuinya ketika kakak baru saja dipindahkan, dan saat itu kakak juga sedang ada masalah di tempat kerja kakak yang baru. Jadi aku tidak memberitahu kakak karena aku tidak ingin kakak kepikiran," jelas Paulina.

"Tapi, Paulina. Kakak 'kan—,“ protesku.

Tapi belum juga aku menyelesaikan kata-kataku, Anna memegang tanganku dan menggeleng.

Awalnya aku tidak paham dengan apa yang Anna lakukan, tapi kemudian Anna mengedarkan pandangannya ke arah pintu, dan ibu sudah berdiri di depan pintu menatap kami.

"I–ibu," ucapku terkejut ketika melihat ibu menatap kami dengan pandangan yang tidak dapat aku artikan.

"Ibu, sejak kapan ibu berada di sana? Apa terjadi sesuatu pada ayah?" tanya adikku yang terlihat mengalihkan pembicaraan.

Ibu hanya diam dan berlalu tanpa menjawab pertanyaan adikku, dan Paulina lalu mengejarnya. Sedangkan aku sendiri hanya bisa membeku menatap dua orang yang aku sayangi itu pergi.

"Sayang, apa kamu tidak ingin melihat ayahmu?" tanya Anna mengalihkan pandanganku.

"Ayah?" ucapku binggung.

Anna mengangguk, dan aku pun lalu menatap ibu dan adikku lagi yang sedang duduk tak jauh dari tempatku berada.

Ada rasa ragu ketika aku ingin melihat ayah setelah menatap ibu dan adikku. Tapi di sisi lain, aku juga sangat ingin tahu kondisi ayah saat ini.

"Sayang, tunggu apalagi? Cepat lihat ayahmu, aku yakin ayahmu pasti juga ingin melihatmu," ujar Anna membubarkan lamunanku.

"Tapi, Anna. Bagaimana bila ibu—.“

"Semua akan baik-baik saja," sela Anna sambil tersenyum tipis.

Aku yang masih ragu dan takut kemudian menghela napas sebelum melangkahkan kakiku. Begitu melihat ibu, kakiku rasanya langsung berhenti dan aku ingin mengurungkan niatku. Tapi demi melihat ayah, aku akhirnya melawan semua rasa itu dan berjalan menuju ke arah pintu di mana ayah di rawat.

"Berhenti di situ, Paula?" teriak ibu, dan aku langsung membeku seketika.




COMING OUT [ LGBT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang