11. Aku mau kita putus

9 3 0
                                    

Kata-kata ibu benar-benar menyakitiku. Kini aku yakin sekali Anna pergi karena ibu, atau lebih tepatnya ibu yang mengusirnya.

"Wanita yang bernama Anna itu sudah pergi jauh dan tak akan kembali lagi," ucap ibu.

"Apa maksud ibu? Memangnya apa yang sudah ibu lakukan sampai Anna pergi?" geramku.

"Ibu tidak melakukan apa-apa kepadanya. Ibu hanya memberitahu dia, bahwa dia harus tahu di mana posisinya seharusnya berada."

Mendengar kata-kata ibu membuatku geram. Untung saja kami saat ini berada di rumah sakit. Kalau tidak, aku pasti sudah tidak bisa menahan emosiku dan sudah membentak ibu.

"Mau ke mana kamu, Paula?" teriak ibu ketika aku memilih pergi daripada terjadi keributan di tempat ini.

Aku yang sudah sangat geram mengabaikan teriakan ibu. Karena menjawabnya pun tidak ada gunanya, dan tidak bisa mengembalikan Anna kepadaku.

***

"Anna, apa kamu di dalam? Anna, Anna," teriakku sambil menggedor pintu kamar kami.

Tapi aku tidak mendengar jawaban dari dalam. Sehinggga aku kemudian mencari kunci cadangan kamar ini untuk membukanya. Namun, aku tidak menemukannya, dan itu membuatku semakin panik.

"Anna, buka pintunya sayang. Aku tahu kamu di dalam. Aku bisa menjelaskan semuanya," teriakku.

Namun, dari dalam tetap tidak ada jawaban. Sehingga aku mencoba menghubungi nomor kekasihku itu, tapi nomor Anna tetap saja tidak aktif.

"Anna, aku mohon buka pintunya sayang. Kita harus bicara, biar aku jelaskan semua. Kalau kamu tetap seperti ini, lebih baik aku mati saja daripada hidup tanpa kamu," bujukku putus asa.

Namun, usahaku itu belum berhasil juga. Karena pintu kamar yang ada di depanku belum juga terbuka, dan itu membuatku tambah putus asa dan tubuhku akhirnya ambruk di lantai sambil menangisi yang terjadi.

Derttt ... derttt.

Mendengar ponselku bergetar aku langsung meraih ponselku yang tergeletak di lantai.

Ternyata panggilan itu bukan dari orang yang sangat aku harapkan, melainkan dari adikku Paula. Sehingga aku memilih mengabaikannya.

"Anna, aku mohon buka pintunya. Biarkan aku menjelaskan semua," ucapku lirih sambil bersandar pada tembok di samping pintu.

Kriet!

Mendengar suara pintu seperti dibuka, aku segera menoleh. Wanita yang sangat aku cintai akhirnya muncul, dan aku langsung bangkit dan memeluknya.

Bahkan air mata pun ikut turun bersama rasa bahagia yang aku rasakan saat ini.

"Terima kasih, Sayang. Kamu mau membuka pintu dan berbicara kepadaku," ucapku setelah melepas pelukanku.

Anna hanya diam begitu aku berbicara kepadanya. Bahkan sikapnya terlihat dingin dan tidak mau menatapku, tidak seperti biasanya ketika dia sedang marah kepadaku.

"Kenapa kamu diam saja, Anna? Tolong bicara kepadaku," mohonku ketika melihat sikap kekasihku masih saja dingin.

Anna bukannya menjawabku, tapi dia malah melangkah menuju ruang tamu. Aku pun kemudian segera mengikutinya untuk berbicara dengannya. Walaupun aku tidak yakin bisa membujuknya, tapi aku akan terus berusaha menjelaskan kepadanya agar hubungan kami kembali seperti semula.

"Duduk saja di sana!" ketus Anna sambil menunjuk kursi yang ada di depannya tanpa menatapku.

Melihat sikap Anna yang masih dingin, aku memilih menuruti apa yang wanita aku cintai itu katakan. Karena aku tidak ingin membuatnya lebih marah lagi dan memperburuk situasi saat ini.

COMING OUT [ LGBT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang