8. Kedatangan Anna

17 1 0
                                    

"A –Anna, kamu di sini?"

"Iya Paula aku di sini," jawab Anna dengan senyum yang mengembang di bibirnya, "Aku merindukanmu, jadi aku kemari untuk mengunjungimu," lanjutnya.

Tubuhku hampir tumbang dan kakiku terasa lemas ketika mendengar jawaban Anna. Tapi untung saja adikku menahanku, sehingga aku tidak sampai terjatuh.

"Siapa yang datang, Paulina?" tanya ibu yang sudah berdiri di belakangku bersama dengan ayah, "Kamu?" lanjut ibu dengan wajah yang langsung berubah pucat.

"Iya, Tante. Saya Anna," jawab Anna sambil mengulurkan tangan.

Ibu yang terlihat tidak suka dengan kedatangan Anna langsung pergi meninggalkan kami dan mengabaikan uluran tangan Anna, dan itu membuat hatiku terasa perih.

"Maafkan istri om, Anna. Istri om sedang tidak enak badan, jadi bersikap seperti tadi. Silahkan masuk dan anggap rumah sendiri," ucap ayah mencairkan suasana tegang di antara kami  semua sambil menyambut uluran tangan Anna yang tadi ditujukan untuk ibu.

"I –iya, Om." Jawab Anna sambil berusaha tersenyum dan melirikku.

"Paula, ajak temanmu masuk." Ucap ayah.

Ayah kemudian pergi setelah memintaku untuk mengajak Anna masuk, dan itu membuatku semakin takut dan binggung harus bagaimana bersikap dalam situasi seperti saat ini.

"Kak Paula, Kak Anna, ayo kita masuk," ajak adikku.

Anna hanya mengangguk menjawab ajakan Paulina. Sedangkan aku masih membeku di tempatku saat ini, hingga tangan Anna menarik tanganku.

"Ayo, Sayang."  Ucap Anna lirih sambil tersenyum, dan aku pun mengangguk dan mengikuti wanita pujaanku yang berjalan lebih dulu di depanku.

Genggaman tangan Anna benar-benar mampu menenangkanku dan memberiku kekuatan serta keberanian untuk menghadapi apa yang ada di hadapanku saat ini.

Sebuah kenyataaan pahit yang selama ini aku sembunyikan dari keluargaku tentang orientasi seksualku selama ini.

"Kalian berdua duduklah," ucap ayah yang sedang duduk menunggu kami bersama dengan ibu.

Aku yang masih berdiri menatap ibu yang terlihat menahan amarah dan membuang muka ketika kami berdua datang kemudian duduk setelah Anna menarik tanganku.

Rasa gugup dan sedikit takut mulai menghinggapiku lagi ketika ayah menatap kami berdua. Bahkan ayah nampak memperhatikan tanganku dan Anna yang masih berpegangan tangan ketika kami sedang duduk, sehingga aku segera melepaskan genggaman tangan kami berdua.

"Apa kalian berdua teman satu kantor, Paula?" tanya ayah memecah keheningan di antara kami semua.

"I –iya, Yah. Kami satu kantor," jawabku masih dengan perasaan takut.

"Apa kalian berdua juga tinggal bersama?" tanya ayah sambil menatap aku dan Anna secara bergantian.

Deg!

Pertanyaan ayah kali ini benar-benar membuatku terkejut. Bahkan dadaku terasa sesak dan otakku seperti tidak berfungsi ketika ayah bertanya seperti itu kepada kami berdua.

"Iya, Om. Tapi baru beberapa bulan ini," jawab Anna, dan itu membuatku langsung menoleh ke arah wanita yang sedang duduk di sampingku saat ini.

"Oh begitu. Ya sudah sekarang lebih baik kamu ajak temanmu itu sarapan dengan kita Paula. Dia pasti lapar setelah perjalanan jauh," ujar ayah.

Ayah kemudian bangkit setelah mengatakan hal itu. Tapi ketika ayah akan pergi, aku lalu menghentikannya dan ayah menatapku.

"Ayah, ini tentang yang tadi Paula ingin bicarakan dengan ayah dan ibu," ucapku memberanikan diri membahas masalah yang memang ingin aku bicarakan segera mungkin dengan kedua orang tuaku.

COMING OUT [ LGBT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang