5. Pengakuan

19 3 0
                                    

Langkahku langsung terhenti ketika seseorang memintaku untuk berhenti, dan bersamaan dengan suara itu sebuah tangan memegang bahuku, dan aku langsung menoleh melihat siapa yang menghentikanku, dan itu adalah ayah.

Ayah ada di hadapanku saat ini dan sedang menatap ibu tanpa berkedip sedikit pun.

"Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua? Apa kalian menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya ayah dengan suara lantang, dan itu mengejutkanku.

Aku yang berdiri di depan ayah hanya bisa menunduk ketika ayah bertanya seperti itu. Karena aku benar-benar takut bila ayah sudah seperti itu.

"Paula, sekarang jelaskan pada ayah apa yang terjadi. Kenapa kalian berdua bersikap seperti ini?"

Aku yang binggung harus menjawab apa pada ayah hanya bisa menatapnya. Karena aku tidak tahu harus memulai dari mana, dan akunjuga takut ayah akan marah kepadaku seperti ibu marah kepadaku.

"Kenapa kamu diam saja, Paula? Apa ini ada hubungannya dengan pekerjaan ibumu di Jakarta kemarin atau masalah yang lain?"
"Hmmm, itu—.“

"Lebih kamu kembali ke kamarmu dan bersiap, Paula. Sarapan akan segera siap," sela ibu.

"Anita!" bentak ayah, dan aku langsung melangkah mundur melihat ayah membentak ibu seperti itu.

Ibu langsung meninggalkan dapur setelah ayah membentaknya, dan itu membuatku merasa bersalah.

"Ayah, tolong jangan membentak ibu. Ini bukan salah ibu, tapi Paula lah yang bersalah," ujarku berusaha menenangkan ayah.

"Apa maksudmu, Paula? Ini salahmu? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan?"

"Paula, Pa—.“

"Kak Paula, bo—." Sela Paulina.

Paulina langsung menjeda kata-katanya begitu melihatku dan ayah, dan adikku itu lalu meminta maaf dan langsung menuju meja makan untuk sarapan dan memanggilku.

"Paula akan berbicara dengan ayah dan ibu nanti, Yah. Kalau ibu sudah mau berbicara dengan Paula. Sekarang lebih baik kita sarapan dulu karena ayah harus berangkat kerja dan Paulina harus kuliah."

"Baiklah, Paulina. Sekarang ayo kita sarapan dulu," ajak ayah.

Aku dan ayah kemudian menuju meja makan di mana Paulina adikku sudah menunggu kami. Sedangkan ibu, aku tidak melihat ibu di ruangan ini.

"Yah, aku akan memanggil ibu dulu. Ayah sarapan saja dulu bersama Paulina," ujarku, dan ayah pun mengangguk.

Setelah memastikan ayah dan adikku sarapan, aku lalu menuju ke kamar ibu dengan langkah ragu dan juga takut.

Aku hanya berdiri di depan pintu ketika sampai di depan kamar ibu. Ketika aku akan mengetuknya, tanganku terhenti ketika mengingat kemarahan ibu.

Cukup lama aku berdiri di depan kamar ibu, hingga tanpa aku sadari Paulina berdiri di belakangku.

"Biar aku saja yang memanggil ibu, Ka. Sekarang lebih baik kakak sarapan dulu berama ayah," ujar Paulina sambil memegang tanganku.

"Tapi—."

"Percaya kepadaku, Ka. Sekarang kakak turun saja ke bawah dan temani ayah. Aku akan berbicara dengan ibu," sela adikku.

Dengan berat hati aku akhirnya meninggalkan Paulina untuk berbicara dengan ibu, tapi aku sendiri juga belum berani untuk berbicara berdua dengan ibu.

"Paula, ada apa? Mana ibumu?" tanya ayah membubarkan lamunanku.

"I -ibu, ibu."

"Ibu ada di sini, Yah." Sela Paulina tiba-tiba.

COMING OUT [ LGBT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang