Prolog

7.2K 725 190
                                    

Seharusnya kamu tahu definisi dari rasa sakit sebenarnya. Setiap orang memiliki kemampuan dan batasan tersendiri untuk mengatasi rasa sakitnya, menutupinya agar tak ada siapapun yang tahu dan memasang wajah bahagia setiap kali bertegur sapa dengan tetangga.

Seseorang tahu dimana batasan mereka masing-masing untuk menoleransi rasa sakit yang didapat. Kebanyakan dari mereka tahu cara mengatasi rasa sakit itu, bisa dengan mencari kebahagiaan lain, bersenang-senang, atau bisa juga menutupi rasa sakit dengan rasa sakit lainnya.

Sebagai seorang putri tunggal keluarga Kim, Kim Lalisa terbiasa menanggung banyaknya ekspektasi luar biasa dari orang tuanya terutama sang ayah. Tuan Kim yang selalu ingin putrinya menjadi nomor satu agar citra baiknya sebagai walikota tidak rusak dengan adanya anak bodoh.

Bukan tak pernah berusaha untuk keluar dari belenggu rantai emas yang mengikat kedua kakinya, tetapi Lisa memang tidak bisa keluar dari sana dan mengatasi segala rasa sakit yang ia terima.

Yang bisa Lisa lakukan hanya berdiri didepan ruangan sang ayah, menunggu pria itu memberi tanda supaya Lisa bisa masuk ke dalam dengan selembar kertas yang dibawanya.

Berbeda dari biasanya, Lisa kali ini butuh sedikit lebih banyak keberanian. Ia sampai terlihat menutup kedua matanya lalu menghembuskan nafasnya baru melangkah masuk ke balik pintu besar itu.

Tepat dihadapannya seorang pria gagah dalam balutan rapih setelan formalnya sudah menunggu kedatangan Lisa dikursinya. Tuan Kim selalu menantikan momen ini dan menyeringai kala putri tunggalnya menyodorkan selembar kertas itu kepadanya.

Mulanya ekspresi Tuan Kim masih tenang, namun kerutan mulai muncul dikeningnya seakan menemukan ada sesuatu yang salah, ada sesuatu yang tak seharusnya disana.

Kerutan kening pria itu semakin bertambah ketika membaca hasil keseluruhan evaluasi belajar Lisa tahun ini di sekolah. Seketika selembar kertas itu dirobek menjadi kepingan-kepingan kecil dan dilempar tepat ke wajah Lisa.

"Apa semua ini, Lisa-ya?" pertanyaan itu terdengar santai namun bulu dibelakang telinga Lisa sudah berdiri.

"LELUCON APA YANG KAU MAINKAN INI!?" bentak Tuan Kim penuh amarah.

Mata bulat Lisa terpejam sesaat. Sudah biasa baginya mendengar suara keras tinggi membentak milik sang ayah, tetapi sampai kapanpun juga tubuhnya masih merespon dengan penuh ketakutan.

"Peringkat dua? bagaimana bisa!?"


Prang!!

Vas bunga di sebelah pria itu jatuh ke lantai dan pecah. Bukan tanpa sebab, Tuan Kim sendiri yang membantingnya sebagai pelampiasan amarah dan rasa kecewa terhadap putrinya.

Lisa diam. Lisa tidak pernah bisa buka suara setiap kali ayahnya bicara. Lisa hanya bisa menatap gerak-gerik kemana pria itu pergi setelah bangkit dari kursinya menuju ke arah lemari. Mengambil sesuatu disana yang mampu membuat Lisa meneguk ludah sambil mengepalkan kedua tangannya erat.

Bugh!

Bugh!

Bugh!


Satu demi satu pukulan dari rotan itu menghantam betis Lisa. Tanpa ampun Tuan Kim mengayunkan benda itu berulang-ulang hingga kulit Lisa tidak lagi memerah melainkan mengelupas dan berdarah.

Lisa masih diam. Menutup kedua matanya erat dan mengatupkan bibirnya rapat, tak ada ekspresi kesakitan yang nampak diwajahnya. Lisa terbiasa menahan semua rasa sakit ini, bahkan setelah kematian ibunya akibat sikap ayahnya yang terlalu disiplin bukanlah hal baru bagi Lisa.

Baru satu hal, masih ada lainnya. Sebagai seorang remaja, Lisa berhak mendapatkan cinta. Meskipun kedisplinan sang ayah sangatlah ketat, tetapi Lisa mampu menyembunyikan hubungannya dengan seseorang dibalik sepengetahuan sang ayah.

Setidaknya setelah luka yang ia dapat dirumah, Lisa bisa sedikit lebih bahagia ketika melihat pacarnya disekolah.

Seharusnya begitu, kan?

"Jung--" belum selesai menyapa, pemuda itu berjalan melewatinya begitu saja bahkan terkesan menubruk bahu kanan Lisa dengan sengaja.

Dia menoleh dengan senyum manis dan gigi kelincinya. Pemuda bernama Jeon Jungkook itu hanya melambai sekilas terkesan mengabaikan lalu pergi begitu saja tanpa mempedulikan Lisa yang dia sebut kekasih.

Lisa masih bisa tersenyum dengan sapaan dingin itu. Jungkook bahkan tidak sedikitpun pernah mengucapkan selamat pagi atau basa-basi lainnya. Tidak apa, Lisa masih memilih sahabat terbaik yang selalu ada disisinya.

"Lisa-ya.." gadis berpipi mandu itu berjalan sambil mengerucutkan bibir, dia mendekati Lisa dan memeluknya dari samping.

"Aku lupa mengerjakan pr karena mengantuk malah ketiduran. Tolong buatkan, ya? pagi ini aku harus rapat koordinasi dengan anggota Osis."

Lisa mengangguk dan tersenyum. "Akan kubantu, Jennie-ya. Jangan khawatir"

"So sweet.." ucap Jennie mengedipkan sebelah matanya sembari mencolek dagu Lisa. "Gomawo Lisa-ya, kau memang sahabat terbaikku!"

Lisa tersenyum lagi. "Nee"

Bagi Lisa kebahagiaan adalah dengan melihat orang-orang disekitarnya terutama orang yang disayangi tersenyum. Ketika mereka bahagia, bisa tertawa lepas, dan bercanda tanpa beban maka Lisa akan ikut merasakan euphoria yang sama. Iya, kan?

Tapi, sampai kapan?

Dikejauhan tepat setelah Jennie pergi melewatinya, manik hazel Lisa bisa menangkap pergerakkan Jungkook yang keluar dari kelasnya dan merangkul Jennie akrab. Keduanya tertawa bahagia tanpa Lisa.










- TOXIC -

LIZKOOK

Toxic | lizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang