05. Panglima Akradewa

627 130 2
                                    

Vino menatap Aksa lama sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vino menatap Aksa lama sekali. Bukankah Aksa tertimpa puing bangunan tepat di depan matanya? Apakah ini mimpi atau kenyataan?

"Yang Mulia," ucap Aksa sambil bersujud bagaikan prajurit yang mengucapkan sumpah. "Hamba, Akradewa, Panglima Negeri Kelana akhirnya dapat terbebas karena Yang Mulia telah datang."

"K-kak Aksa...." kata Vino lirih. "Jangan kayak gini, kak."

Vino mendirikan tubuh Aksa. Tak tega dia melihat Aksa berlutut hampir bersujud seperti itu.

"Ribuan tahun kami menunggu, Yang Mulia. Kami yakin dan percaya bahwa penerus takhta pasti akan datang untuk menyelamatkan kami dan negeri ini."

"Kak Aksa?" Vino mengetes.

Aksa hanya mengernyit. "Nama hamba Akradewa, Yang Mulia. Terlebih lagi, hamba bukan kakak Yang Mulia. Hamba adalah panglima Yang Mulia."

"Susah jelasinnya...."

Seketika Panglima Akradewa yang Vino kenal sebagai Aksa membulatkan matanya lalu mengeluarkan pedang dari suatu sabuk.

CRANG!

Vino yang ketakutan langsung mundur beberapa jengkal. Dilihatnya Aksa mengiris pergelangan tangannya menggunakan pedang hingga darah bercucuran.

"Kak Aksa!!!" seru Vino kemudian mendekat pada Aksa.

Aksa yang masih berdiri tegap langsung mengoleskan darahnya di dahi Vino serah berkata, "Izinkan hamba mengoleskan darah kotor ini, Yang Mulia. Sekiranya Yang Mulia berkenan untuk melihat segalanya."

Mata Vino jadi buram. Kepalanya pusing dan seketika semua menjadi gelap. Ketika ia bangun dengan kepalanya yang nyeri, ia melihat sang kakek bertongkat yang tersenyum tenang dengan mata tertutup.

"Tuan, ternyata anda penerus takhta. Seharusnya saya memanggil anda Yang Mulia. Tapi, apa boleh buat? Lagipula saya sudah mati. Saya hanya mau menceritakan bahwa jiwa para panglima anda sedang tersesat. Baru satu yang telah ditemukan. Panglima dengan kekuatan darah muda yang tak akan kunjung menua. Dengan darahnya, semua pikiran manusia akan terbuka, seperti pikiran tuan sekarang ini."

Vino terdiam, berusaha untuk mencerna. Apanya yang terbuka? Pikiran Vino kini berkecamuk dalam lautan samudra. Semua masih mengambang bagai awan di langit yang amat luas.

"Tuan sudah dilahirkan kembali. Entah datang dari masa depan atau masa lalu, tuanlah satu-satunya harapan negeri."

"Saya, saya bukan siapa-siapa, kek! Saya punya keluarga di rumah. Saya punya nenek yang selalu menunggu saya. Saya punya pendidikan yang harus dikejar!"

Sudah cukup. Vino sudah muak dengan semua ini. Ia berlari dan terus berlari tapi terus kembali ke hadapan kakek tua tadi. Hingga akhirnya Vino dehidrasi dan pingsan sendiri. Saat terbangun, sudah ada Aksa yang tengah merobek pakaiannya dan membalut tangan yang teriris.

"Cepat sekali, Yang Mulia. Sekiranya apa yang Yang Mulia dapatkan semenjak tertidur tadi?"

"I-itu mimpi?" tanya Vino dengan napas yang tersendat.

"Semacam mimpi namun dapat dikendalikan, Yang Mulia."

"Tolong jelaskan semuanya ke saya. Saya tidak tau apa-apa. Saya mau pulang!"

Vino frustasi. Dia rindu kehidupannya yang dulu. Vino berharap dia tengah koma dan bermimpi aneh seperti ini.

"Negeri ini dikutuk oleh dewa-dewi karena dosa sang raja terdahulu yang telah menjalin hubungan terlarang dengan seorang penyihir. Sejak saat itu, penyihir di negeri ini dianggap hina dan najis. Semua orang terkena dampaknya. Termasuk kami, para panglima negeri," jelas Aksa.

"Apa dampaknya?" tanya Vino yang malah penasaran.

"Sang raja dikutuk menjadi seorang kakek tua dan sang penyihir dikutuk untuk hidup abadi dan merasakan bagaimana rasanya diasingkan dari peradaban negeri. Sedangkan kami, para panglima, kami tersesat dalam lautan emosi yang hanya ditemukan oleh kepekaan batin sang penerus takhta. Itulah anda, Yang Mulia, yang telah membebaskan saya dari sini."

"Sebentar. Ribuan tahun lalu anda dikutuk dan wajah anda masih semuda ini?!" ucap Vino tak percaya.

"Kami dikutuk hingga harus masuk ke dalam dimensi lain. Menurut rakyat, kami sudah menghilang selama ribuan tahun, padahal menurut kami, kami baru saja dikutuk dan masuk ke dalam dimensi itu kemarin," jelas Aksa. "Tapi, rasanya begitu lama karena di dalam dimensi tersebut kami dihantui oleh roh-roh jahat yang bisa saja membuat kami menetap di sana."

"Apakah hal itu terjadi pada panglima yang lain? Mereka juga merasakan hal yang sama seperti kakak?" tanya Vino.

Aksa mengangguk perlahan kemudian berkata, "Maaf, Yang Mulia, bisakah anda tidak memanggil saya kakak?"

"Turuti saja perintahku," ucap Vino dengan nada sombong sambil menahan tawanya.

"Baik, Yang Mulia. Perintah anda adalah sabda bagi hamba," kata Aksa sambil menundukkan kepala.

Setelah itu Vino pun bertanya, "Kak Aksa tau di mana mereka?"

"Darah hamba yang teroles di dahi Yang Mulia akan menuntun kita untuk mencari mereka," jawab Aksa. "Apapun yang Yang Mulia lihat atau rasakan nanti, sekiranya dapat dipahami dan dimengerti."

"Maksudnya?" tanya Vino.

"Lihat saja nanti," jawab Aksa.

Lagi-lagi kepala Vino pusing. Semua menjadi gelap. Ia membuka matanya kemudian melihat Aksa tepat di depan dia tengah berbicara dengan seorang wanita.

"Nadinia, jikalau nanti aku harus pergi untuk menepati sumpahku ini, apakah engkau rela menanti?" tanya Aksa.

"Sungguh aku rela. Tepatilah kiranya janjimu untuk negeri. Aku tau menjadi panglima tidak semudah yang didengar, Tuan Akradewa."

"Bahkan ketika diriku gugur saat tengah melindungi raja, apakah engkau akan setia untuk menanti?" tanya Aksa sekali lagi.

"Aku akan selalu menunggumu sampai akhir."

Perempuan yang Vino tebak bernama Nadinia itu menautkan tangannya pada Aksa lalu meletakkannya di atas jantungnya.

"Selama jantungku masih berdetak, aku akan setia padamu tetap," ucap Nadinia pada Aksa.

Vino melihatnya dengan rasa pilu. Walaupun Aksa sudah kembali, namun, Nadinia sudah mati. Aksa telah meninggalkan Nadinia selama ribuan tahun. Tak mungkin ada manusia yang bisa bertahan hidup selama itu.

"Ada manusia yang pernah berkata, semakin dalam engkau mencintai, maka akan semakin sakit segala hal yang engkau lewati," ucap Nadinia. "Aku rasa cintaku terhadap dirimu tak bisa dibendung lagi, hingga rasanya sakit sekali untuk sekadar melepasmu pergi."

"Tiap kau rindu, sebut namaku berulang kali. Aku akan datangi kau dalam mimpi bahkan dalam setiap imaji," ucap Aksa.

Vino seperti tengah menyaksikan teater. Kosakata yang mereka gunakan indah. Sama sekali tak jijik ataupun merinding mendengarnya. Entah kenapa Vino merasakan cinta yang amat tulus di antara keduanya.

"Nona, aku berjanji akan kembali." Aksa pun mencium tangan Nadinia lalu pergi.

Seketika Vino kembali pada realita. Ia melihat Aksa sudah menunggangi kuda. Entah kuda milik siapa.

"Apa yang kau lihat, Yang Mulia?" tanya Aksa sambil menunggang kuda dengan Vino di belakangnya.

"Masa lalumu, kak," jawab Vino.

Mereka pun terdiam. Dalam kendali semesta, dua insan itu tengah berharap untuk dapat menopang satu sama lain dan berdoa agar dapat berhasil hingga akhir.

Panglima Raja KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang