13. Panglima Kimal

314 63 1
                                    

"Sedikit lagi sepertinya akan turun hujan, kak," ucap Vino yang tertatih menyamai langkah Dixa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sedikit lagi sepertinya akan turun hujan, kak," ucap Vino yang tertatih menyamai langkah Dixa.

Dixa pun menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh kemudian dengan gemetar ia berkata, "Yang Mulia...."

"A-ada apa, kak?" Vino jadi panik. Rintik hujan pun turun tak henti seirama dengan air mata Dixa yang perlahan menghiasi pipi. "Ada yang bisa ku bantu, kak?"

"A-aku tak tau sekarang kita ada di mana."

"Ah ... Tak apa, kak. Istirahat dulu sejenak di sini." Vino mengajak Dixa duduk di bawah pohon rindang. Sekarang ia mengerti, tak hanya matahari, Dixa juga bisa mengendalikan hujan seturut dengan emosinya. Itu artinya ...

"Kekuatanmu itu mengendalikan cuaca, ya, kak?" tanya Vino.

Dixa mengangguk sembari mengusap air matanya. "A-aku ... Aku merasa bertanggung jawab atas semua makhluk yang ada di semesta ini. Kau tau, Yang Mulia? Aku tak bisa selamanya bahagia, aku harus menangis agar tak terjadi kemarau berkepanjangan."

Vino menghela napasnya. "Hah ... Bukankah sama saja seperti hidup ini, kak? Tak selamanya kita akan bahagia. Tangisan kadang membuat semuanya sempurna. Kala hal itu terjadi, tak selamanya juga kita akan bersedih, karena tawa pastinya akan hadir kembali."

Mendengar perkataan itu, Dixa tersenyum ceria. Matahari tiba-tiba menampakkan sinarnya di balik awan yang begitu muram.

"Kau benar, Yang Mulia." Senyum Dixa makin merekah hingga matanya ikut melengkung, membuat rerumputan yang mengembun kembali segar diliput cahaya mentari sore.

Mereka berdua melangkah. Untuk yang kedua kalinya, Dixa berhenti.

Ia menoleh ke belakang dan bertanya dengan dada kembang kempis. "Yang Mulia, bukankah Pimal selalu mengikutimu?"

"Iya, betul, kak ... Ah! Apakah dia padam karena hujan tadi tiba-tiba turun?!"

"Oh, tidak ..." Dixa berlutut bagai tersungkur. "Ini semua salahku!"

Langit menangis lagi seiring terjunnya air mata Dixa. Tak lama kemudian sepercik api membakar sehelai rumput, berusaha ia untuk terus menyemburkan kobarannya.

"Kak Dixa! Lihatlah!" Vino meminta Dixa melihat percikan api itu. "Ini Pimal!"

Lagi-lagi hujan berhenti. Tiba-tiba percikan api itu berubah menjadi kobaran api yang besar dan membakar beberapa rerumputan membuat hawa panas menyergap.

"Ah, panas!" seru Kimal yang keluar dari kobaran api. "Oh, tidak, hutan ini akan terbakar! Hei, Panglima Pratama! Menangislah lagi! Cepat!"

Dixa tak bisa mengeluarkan air matanya lagi. Mau tak mau Kimal memukul kepala Dika dan berseru, "Kau ini memang tak ada guna! Dasar, panglima teledor! Bagaimana mau melindungi keturunan raja, hah?!"

Air mata Dixa kemudian memili. Hujan deras meresap ke dalam tubuh masing-masing mereka. Entah itu Vino, Dixa, dan Kimal, ketiganya terguyur air yang dijatuhkan oleh langit.

Panglima Raja KelanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang