Border 4: The Organization of the Lost People

261 42 2
                                    

TW: Mentions of body mutilation; mentions of suicide

Riki memperhatikannya terbangun, memeriksa catatannya, bergumam. "Ini sungguh aneh, seharusnya kalian berdua bangun bersamaan." Jongseong tak menjawabnya. "Sesuatu terjadi?"

"Aku meninggalkannya," bisiknya. Yang lebih muda mengernyitkan dahinya, tak mengerti. "Aku meninggalkan Jungwon di altar!" Mata Riki membulat. "Entah itu Jungwon atau Julius– aku tak tahu, oke?!"

"Apa dia sudah menyadari bahwa itu kau?" Dia menggelengkan kepala. "Kalau begitu tak masalah. Setidaknya kau tidak– Yah, kau tahulah. Aku mengerti jika kau tak melihat Jungwon seperti itu dan–"

"Tidak– Bukan itu–"

"Jadi kau melihatnya seperti itu?"

"Bukan!" Jongseong mengacak-acak rambutnya. "Entahlah, tiba-tiba melihatnya di altar membuatku– terkejut. Dan yang kupikirkan adalah bahwa pernikahan ini akan membawa bencana dan aku harus menghentikan ini. Tapi aku tak bisa. Dan aku hanya merasa bahwa aku sebaiknya meninggalkan semua keputusan pada orang yang seharusnya disana– kepada Romeo–"

"Jadi kau kabur."

"Itu yang sedari tadi kukatakan."

"Yah, baiklah," dia menyerah. "Sebaiknya tidak menyebutkan apapun soal ini sampai Jungwon bangun. Kurasa akan lebih baik jika kau menyimpan ini untuk dirimu sendiri."

~~~

Jaeyun membuka matanya. Di sekitarnya sunyi dan tak memiliki cahaya sama sekali. Tangannya terikat ke belakang, bertautan dengan tangan yang sangat dia kenali. Jadi dia mencoba menoleh.

"Heeseung," panggilnya, berbisik. "Bangun." Suaranya tak bergema, namun dia bisa mendengar dengan jelas. Ketika dia tak menanggapi, Jaeyun menundukkan kepalanya, dengan sekuat tenaga mendorong ke belakang, memukulnya tepat di kepala. Dia mengerang. "Maaf," gumamnya. "Kau tak mau bangun."

"Yah, jangan dicoba setiap hari." Jaeyun tertawa kecil. "Ini dimana?"

Dia menggelengkan kepalanya. Ingatan terakhirnya adalah mereka mengikuti Belphegor di pusat kota, rambut oranye memimpin mereka hingga ke sebuah padang bunga yang berkabut pekat dan aromanya kuat. Dia bahkan tak ingat kapan terakhir kali mereka melihat satu sama lain dan ambruk ke tanah.

Mereka mendengar pintu terbuka dan warna putih menyapa mereka. Untuk seketika, Heeseung bersyukur bahwa mereka dibiarkan berada di dalam kegelapan. Suara tapak kaki orang itu terdengar jelas hingga ke telinga mereka, bahkan kebiasaan Jaeyun dimana dia memainkan kukunya ketika gugup terdengar jelas.

Ruangan putih.

Sebuah metode penyiksaan yang bisa membuat mental seseorang tersiksa, membuat mereka gila dan mengalami nasib lebih sial dari kematian.

"Heeseung–" keduanya menoleh ke arahnya. "Belphegor–"

Jaeyun sadar ketika yang lebih tua menggenggam tangannya. Situasi ini berbeda dengan situasi mereka dulu – tanpa senjata dan terikat. Ini mungkin menjadi akhir mereka. Keduanya menutup mata rapat-rapat, tak ingin melihat bagian tbuh mana yang akan dimangsa olehnya.

Namun sebuah suara menyapa mereka. "Maafkan aku."

Heeseung membuka matanya, menyadari suara itu. "Belphie–" dia menganggukkan kepala. "Kau– Hidup hidup?" Dia tersenyum kecil, menganggukkan kepalanya. "Tapi kau– Mereka semua melihatmu–"

"Aku yakin maksud kalian adalah pembunuhan-pembunuhan itu," ujarnya. "Aku mengirimkan surat pada Jongseong–" Jadi surat itu memang benar. "Tapi kurasa, kuasaku tak bisa mencapai kalian, ketika aku mendengar berita penangkapannya, aku yakin surat itu sudah difabrikasi."

ALEA IACTA EST • jaywon • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang