Border 7: Kazimir and the Giants Surrounding

224 37 0
                                    

TW: Dead body; slight profanity

Riki berjalan ke arah ruangan lain di bawah tanah, dimana yang lain berkumpul sambil menunggunya. Heeseung sudah pergi duluan, mendorong sebuah mayat yang mereka bawa dari hutan untuk dilihat.

Mayat itu masih memiliki bentuk yang sama dari ketika dia mati – rambut putih dan kulit pucat dengan urat yang muncul di leher, tangan, dan kakinya. Ketika Riki membuka dan menyinari matanya, iris biru terang menatap balik. Jaeyun menunjuk bibirnya sendiri, dan Riki membuka mulut mayat tersebut.

Giginya taring utuh dan setajam silet.

Dia mundur. "Bangsa apa ini?"

Heeseung menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang tahu."

"Bagaimana dengan hologram?" saran Sunoo, duduk di kursi rodanya. "Arsip-arsip dan sebagainya. Ratu Alina atau bahkan pejabat konsensus tak mungkin tak menyimpannya."

"Pertanyaannya adalah, apakah kita diizinkan untuk mengaksesnya?"

"Ratu Alina sepakat untuk memberi kita akses untuk semua yang kita butuhkan," Jungwon membalas Sunghoon. "Tapi untuk sisanya, kita sendirian. Untuk sementara, aku tak bisa kembali ke istana, jadi kita harus menyelesaikan ini dengan cepat."

"Kenapa seorang delegasi tak bisa kembali ke istana?" tanya Jaeyun, dan Jungwon hanya diam, mengalihkan pandangan. "Jungwon, apa ada sesuatu terjadi?"

Dia menatap dirinya sendiri di pantulan besi ranjang mayat, mata kuning yang kentara dan telinga yang lebih lancip dari mereka. Jungwon menghela nafas. "Kalian ingat bahwa aku hanya memiliki ibu dan kakekku?"

Sunoo menganggukkan kepalanya. "Aku ingat. Rumahmu begitu sepi."

"Aku menemukannya – ayahku." Semuanya memperhatikannya menunggu. "Atau bisa dikatakan, orang yang menghamili ibuku."

Jongseong bicara. "Siapa, Jungwon?"

"Ratu Alina," bisiknya. Semuanya terdiam, menyadari betapa krusial dan berbahayanya kata-katanya. Namun Jungwon menghela nafasnya. "Aku tak ingin bertemu dengannya sampai aku mengerti kenapa dia tidak bisa memperjuangkan ibuku. Jadi aku tak bisa, untuk saat ini."

Kaki mayat itu bergerak, kejang. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, geraman terdengar dari mulutnya. Ketika dia membuka mata, biru terang menatap cahaya lampu, dan dia mendesis marah.

Sunghoon menarik pistolnya, menembaknya tepat di kepala. "Siapapun yang membunuhnya begitu bodoh untuk tidak menekan titik vital."

"Hei!" seru Jaeyun. "Pisauku tepat sasaran."

"Untuk sekarang kita tahu hal lain," gumam Sunoo, menunjuk bekas luka di dahinya, peluru yang seharusnya bersarang di otaknya terdorong kembali, menggelinding ke lantai dan menyisakan ceceran darah, sementara luka itu menutup.

Jaeyun menyentuh kepalanya sendiri, merasa pusing. "Kita menyimpan mayat hidup di ruang bawah tanah kita–"

Heeseung memeganginya. "Jongseong, tali. Sunghoon, ikat kakinya. Riki, tangan."

Sunoo menarik Jungwon – yang tidak di dalam kondisi dapat bergerak cepat – mendekat padanya, mengusap tangannya dengan lembut. "Hei," panggilnya perlahan. "Aku tahu ini berat, dan aku tak tahu apapun soal ini, tapi aku yakin ibumu menginginkanmu menentukan pilihanmu sendiri."

"Tapi bagaimana jika dia sebenarnya ingin bersamanya?"

"Bibi Moira sudah tiada, Jungwon," dia menyadarkannya. "Apapun yang terjadi antara kau dan Ratu Alina, ini semua tergantung pada kalian berdua."

Mayat itu menggeram marah, ludah mengalir dari mulut dan giginya sementara tangan dan kakinya terikat kuat. Jungwon meraih sebuah kain dan melingkarkannya ke mulutnya, mengendalikan gigitannya.

ALEA IACTA EST • jaywon • end •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang