Napas Qia memburu melihat sang kekasih bermesraan dengan orang terdekatnya. Bagai petir di siang bolong, hatinya hancur seketika. Kepercayaannya runtuh tak tersisa. Jika bukan sahabatnya, sudah dipastikan bahwa helm yang dipakai perempuan itu akan ditarik paksa.
"Cabe!" seru Qia penuh penekanan. Dia tiba-tiba menjambak rambut sahabatnya yang terurai di luar helm. "Ngapain maneh mesra-mesraan sama pacar urang!"
Begitulah Qia. Jika amarah memuncak, bahasa Sunda kasarnya akan keluar. Maneh berarti kamu dan urang berarti aku. Kata seperti ini memang tidak patut dicontoh, kecuali saat melabrak selingkuhan.
"Anjir, Qia! Lepasin gue!" teriak perempuan yang rambutnya dijambak. Dia turun dari motor Alkana seraya memegang rambutnya yang masih dijambak.
Perempuan tanpa hijab itu tampak kesakitan saat Qia makin brutal menjambak rambutnya. Alkana ikut turun dari motor dan berusaha memisahkan sekuat tenaga. Dia tidak pernah menyangka jika kekasihnya akan marah seperti itu.
Beberapa mahasiswa yang ada di area parkir ikut menonton perkelahian itu. Mereka hanya berbisik-bisik membicarakan Alkana. Beruntungnya, tidak ada satu orang pun yang merekam aksi tersebut. Entah karena segan ataupun takut pada ketua BEM itu.
"Qia, Farida, cukup!" bentak Alkana menghentikan dua perempuan di hadapannya.
Farida, salah satu sahabat Qia itu mendekat ke samping Alkana dan menggandeng lengannya. Hati Qia makin sesak melihat hal tersebut. Terlebih, saat kekasihnya hanya diam tak menolak.
Qia menatap tajam kekasihnya penuh arti. Dia sangat berharap jika Alkana akan menjelaskan sesuatu. Namun, nihil, lelaki itu malah menarik Farida agar naik motornya. Tidak hanya Qia yang terkejut melihat perlakuan Alkana, para mahasiswa yang ada pun bereaksi demikian.
Sesaat sebelum Alkana melajukan motornya, dengan berani, Qia menendang bagian samping tangki bensin motor gede itu. Otomatis motor itu miring ke kanan dan hampir menjatuhkan penumpangnya. Namun, kaki lelaki itu masih kuat menopang beban yang ada.
Karena kesal, Alkana terpaksa turun dan mendekat ke hadapan Qia. Dia membuka helmnya. Kini, Alkana dan Qia hanya berjarak setengah meter. Lelaki yang lebih tinggi itu terlihat sedikit menunduk saat ingin berbicara.
"Mau kamu apa, Qi?" tanya Alkana berusaha tenang.
Qia refleks mengerutkan dahi. "Hah? Nggak salah kamu nanya gitu?" Gadis itu benar-benar tak habis pikir dengan kekasihnya.
Alkana membuang muka saat ditatap lekat oleh kekasihnya. Dia mengusap wajahnya kasar sembari membuang napas berat. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Jelas-jelas kekasihnya itu Aqila, tetapi yang diajaknya pulang malah Farida.
"Kita putus! Embat aja tuh Cabe Tanah Abang. Semoga kalian nggak pernah bahagia!"
Sumpah serapah mulai keluar dari mulut Qia. Amarahnya benar-benar meledak. Apalagi saat melihat reaksi Farida yang hanya diam tak berkata apa-apa. Perempuan itu malah diam di atas motor sambil melihat ke mana saja.
Qia berlalu meninggalkan Alkana yang berusaha menarik lengannya. "Qi, denger dulu," ujar Alkana, baru berinisiatif untuk menjelaskan.
Gadis dengan hati yang sudah hancur itu terus berjalan dengan cepat tanpa melihat lagi ke belakang. Dia cepat-cepat menuju gerbang untuk keluar dari area kampus. Sambil berlari kecil, air matanya keluar perlahan.
Cuaca tidak berpihak padanya. Di tengah badai yang menerpa hati, langit malah makin cerah menyuguhkan mentari. Qia makin merasa terpojokkan. Dunia memang tidak adil untuknya.
Niat pergi ke kafe, Qia urungkan karena ingin menenangkan perasaan terlebih dahulu. Dia kembali ke kosan dengan sesak yang terbawa pulang. Ponselnya mulai bergetar. Sepertinya, para sahabat Qia yang lain sudah tahu kejadian tadi.
Qia mengunci pintu kosan. Tasnya dilempar sembarang ke kasur. Tubuhnya sengaja dijatuhkan juga ke kasur. Wajahnya ditenggelamkan di atas bantal yang tidak terlalu empuk. Tangisnya langsung pecah tanpa suara.
Makin lama, tangisan tanpa suara itu mulai terdengar isaknya. Qia tersedu-sedu setelah beberapa menit menahan suara tangisnya. Dia tidak ingin tetangga kosnya penasaran dengan kondisi dirinya.
"Qiii. Qiaaa," ujar seseorang dari luar sambil mengetuk pintu. Suaranya terdengar lembut karena tak ingin membuat kegaduhan dengan rasa cemasnya.
Qia sudah tak asing dengan suara itu. Sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah Lyra. Namun, Qia tetap diam, tak ingin menerima tamu, siapa pun itu.
"Qia, buka dulu pintunya. Ini aku, Lyra," ujar Lyra dari luar. Terdengar dari nada bicaranya, gadis itu khawatir pada Qia.
"Pulang aja Lyra. Qia enggak ada di kosan," ujar Qia menahan isaknya. Dia tidak niat bercanda dan bercerita. Dia benar-benar tidak ingin diganggu.
"Hah? Kamar Qia ada setannya?"
Qia makin menangis karena cape dengan Lyra yang selalu tidak cepat tanggap. Sudah diusir dengan halus, tetap saja tidak mengerti. Kali ini, Lyra mulai memaksa masuk kosan Qia dengan menggerakkan gagang pintu.
"Pulang, Lyraa. Qia enggak ada," titah Qia lemas.
"Qiii, jangan gitu. Aku khawatir sama kamu," lirih Lyra di luar kamar kos. "Semua orang di kampus bicarain kamu sama Farida, tapi aku tetep ada di tim kamu."
Gadis yang tadinya telungkup di atas kasur, kini duduk karena sahabatnya yang tetap diam di depan kamar. Kehadiran Lyra bukan menenangkan, melainkan menambah kekesalan Qia.
"Aku enggak butuh suporter, Ra. Kamu pulang aja," lirih Qia terakhir kali sebelum menyumbat telinganya dengan earphone.
Qia menyetel lagu galau dengan volume yang cukup tinggi, lalu menghubungi manajernya untuk izin tidak masuk kerja satu hari dengan alibi sakit. Setelah mendapat persetujuan, Qia melanjutkan galaunya hingga tertidur lelap.
Terima kasih sudah membaca! Semoga bisa menikmati dan betah dengan cerita Error ini, ya!
⚠️
Cerita Error hanya dipublikasikan di akun Wattpad dheisyaadhya.
***
Jumat, 22 Juli 2022
Dheisya Adhya
KAMU SEDANG MEMBACA
ERROR
RomanceAqila Intan Zevana atau Qia, mahasiswi Universitas ternama di Bandung dengan segala keramahan dan kebaikannya. Gadis itu sudah dikenal banyak orang karena berpacaran dengan ketua organisasi. Dia pun memiliki teman satu geng yang terkenal positif vib...