Sembilan

12 0 0
                                    

"Rinai hujan basahi aku!!"

"Nanana sepi yang me-nananana!"

"Kala, aku mengingatmu!"

Suara cukup keras terdengar dari rumah sebelah, seberang koleksi tanaman milik ibunya. Sudah lima belas menit sejak Ara membaringkan tubuh, tak kunjung kantuk juga karena suara bising yang mengganggunya. Ia ingin menemukan kedamaian dengan tidur, malah sekarang ia diganggu.

Ibu bilang, rumah sebelah sudah tidak ditinggali. Jadi, sejak beberapa bulan lalu, rumah tersebut disewakan. Pantas saja bising, ternyata ada orang asing. Tidak seharusnya mereka berkekuan seperti itu komplek perumahan, silakan lakukan hal tersebut di hutan. Eh, siapa juga yang berani berisik di hutan? Pokoknya, kita semua harus saling menghargai sebagai sesama manusia, karena kita memiliki hak yang sama, hak atas rasa aman. Jangan menjadi bar-bar seperti mereka, mencerminkan sikap yang amat sangat tidak baik.

Suara nyanyian mereka mereda, kemudian terdengar petikan gitar, terdengar suara yang merdu dan jelek (jelek banget, batin Ara), melebur menjadi satu. Mereka masih bisa Ara maafkan, akan tetapi kalau besok masih berisik, Ara tidak tinggal diam. Akan Ara datangi mereka atau laporkan ke Pak RT. Ara tidak habis pikir, tetangga tidak ada yang melapor, termasuk ibunya.

Karena kantuk tak kunjung datang, Ara memutuskan keluar kamar untuk mengambil minum di dapur. Orang tua mereka belum tidur, ditandai dengan lampu di semua ruangan masih menyala. Ia menuang air dari teko, lalu meneguknya sekali teguk. Ara menoleh ke belakang, menatap kamar orang tuanya yang seperti menjadi sumber suara. Suara dengan intonasi yang belum pernah ia dengar sebelumnya.

Jantungnya berdegup kencang, semua otot badannya melemas seketika. Ia hampir saja menjatuhkan gelas jika tak buru-buru ditaruh kembali. Otaknya mencerna segala yang terjadi pelan-pelan, lalu ia memilih untuk segera kembali ke kamar tidur.

Segala mantra telah dibaca agar segera tidur. Namun, kalimat dari orangtuanya masih menggema seperti tertampung dalam sebuah ruang. Ara mendekap guling panjangnya lalu menarik selimut sampai menutup seluruh badannya. Hal asing yang telah terjadi tadi, semoga hanya sekali, dan tak ada lagi

~

Ari duduk di kursi meja makan di samping Ara yang lebih dulu menyantap sarapannya. Sarapan yang sudah disajikan oleh ibu seperti biasa, tanpa dibantu siapapun, termasuk anaknya. Sebab, Ara juga belum lama turun ke meja makan meski sudah bangun sebelum subuh karena tidak nyenyak tidur.

Ibu beberapa kali mengajak Ara berbicara banyak hal, termasuk perkuliahannya, sampai terakhir bagaimana ujian yang telah dilewati. Semua dijawab Ara dengan santai, padahal isi kepalanya berkecamuk, mewadahi banyak pertanyaan yang tak berani ditanyakan. Ibu tidak merasa ada yang berbeda dari anak gadisnya, berbeda dengan Ara yang dapat melihat jelas sembabnya kedua bola mata.

Si kecil Ari, memakan sarapannya dengan lahap, membuat ibu senang melihatnya. Kata ibu, Ari lebih menyenangkan untuk dilihat saat makan daripada melihat Ara kecil dulu, karena ia sangat sulit untuk disuruh makan, kecuali makan jajanan pinggir jalan. Hal tersebut terbawa sampai besar, sampai detik ini Ara masih suka jajanan pinggir jalan. Tak heran Ara terngiang-ngiang dengan rasa kebab kemarin yang cukup enak untuk ukuran street food, karena biasanya kebab enak hanya ada di restoran bergengsi.

"Bu, besok Ari mau berangkat bareng Ayah ya," ucap Ari di sela-sela sarapannya.

Ibu yang mendengar permintaan Ari tersebut sontak menghentikan suapannya, lalu menatap anaknya dengan tatapan lembut seperti biasa.

"Bareng Ibu aja ya, Ayah berangkatnya kan pagi terus," jawab Ibu.

"Gamau Bu, Ari mau sama Ayah. Udah lama enggak dianterin Ayah. Kan biasanya dianterin Ayah terus Ayah berangkat kerja." Ari masih meminta untuk pergi bersama Ayah.

"Emang Ayah kenapa enggak nganter Ari dulu, Bu? Kayak enggak biasanya aja," tanya Ara.

"Iya, bener. Terus Ayah udah jarang banget sarapan bareng lagi. Kan sekarang ada Mbak Ara, masa jarang sarapan sih. Nanti Ayah sakit loh kalau enggak sarapan," tambah Ari. Ia berbicara semakin menggebu-gebu.

Ibu menghela nafas lalu menjawab, "Ayah kalian berangkatnya pagi terus, jadi sarapan di sana. Enggak papa ya Ibu yang anter. Ari jangan rewel ah!"

Tidak biasanya Ibu berbicara ketus begini. Biasanya selalu menggunakan nada halus bahkan sesekali menggunakan Kromo Inggil saat becanda dengan Ari. Namun, sekarang berbeda, ia masih tampak seperti Ibu tercinta mereka tapi dengan tampilan yang berbeda.

Ari yang masih kecil itu akhirnya mengangguk, mematuhi apa yang Ibunya katakan. Sedangkan Ara makin hari makin bingung saja atas apa yang sudah terjadi. Rumah nuansa biru terang ini sekejap berubah kelam, sunyi, sepi. Tak tercium aroma intim keluarga, tak ada senda gurau terpampang dengan indahnya. Seperti ada yg tidak beres,  pada rumah yang dulu hangat.

Dengan wajah super dongkol, Ari merapihkan dasi merah serta menggendong tas kebesarannya sambil melewati pintu. Mau tidak mau ia kembali diantar Ibu sampai sekolah. Tak apa, asal ia sampai sekolah dan bermain dengan teman sebayanya.

Ibu memasang senyum manis setelah berpamitan dengan anak pertamanya, lalu menghilang setelah mengambil arah kiri. Tinggallah Ara di rumah sendirian ini tanpa ada kegiatan apapun.

Ara berniat memasuki kamar orang tuanya, hal yang jarang ia lakukan karena tidak ada yang diperlukan di kamar orang tuanya, kecuali disuruh Ibu. Ia tahu, memasuki ruang pribadi orang lain bukanlah hal terpuji. Namun, rasa penasaran Ara sangat menggebu-gebu sekarang, ditambah Ibu sedang mengantar Ari ke sekolah.

Ara mendekati nakas putih samping tempat tidur, melihat ke sekeliling nakas tidak ada benda aneh. Ia mulai membuka laci nakas dengan hati-hati, di sana hanya ada berkas-berkas keluarga yang sudah rapih di dalam map. Ia membuka laci di bawahnya, ia menemukan buku nikah orangtuanya, tergeletak sendiri, tak ditaruh di map bersama kumpulan berkas penting lainnya.

Ara hampir saja terjatuh setelah ponsel di saku celananya berdering, pertanda sebuah telepon masuk. Sebuah nama yang tak ingin dibacanya keluar, telepon dari Yogi. Ara cepat-cepat keluar kamar tidur tersebut setelah menutup kembali laci paling bawah, lalu membiarkan telepon dari Yogi mati sendiri. Ia tidak ingin menolak, juga tak ingin mengangkat telfon tersebut.

Dering ponsel berhenti setelah lama berbunyi. Namun, ia menduga tak lama ponselnya akan berdering lagi. Ia tahu, Yogi akan mencoba menghubungi kembali. Benar saja, belum genap lima menit, ponsel Ara kembali berdering. Ara menyetel ponselnya menjadi 'diam', kemudian melemparnya ke kasur. Dia tidak akan menyesal tidak mengangkat telfon mantannya itu, tidak ada yang perlu dibahas lagi. Ia sudah sangat sakit dan muak akan semuanya.

Ponsel Ara memang sudah tidak ada dering panggilan, akan tetapi notifikasi pesan baru telah muncul, menampilkan pesan dari Yogi, bahwasannya Yogi sudah ada di depan rumahnya. Kali ini Ara yang melempar tubuhnya ke kasur.

"Oh my God, help."

Gadis itu tidak mencoba keluar untuk menyambut Yogi, ia tidak sudi. Jangankan menyambut, memastikan bahwa Yogi di depan dengan cara mengintip saja tak Ara lakukan. Ia berdiam diri kamar, tidak merespon apapun dari Yogi. Ia berdoa semoga Yogi mengira Ara memang tidak di rumah, lalu laki-laki itu pergi tanpa menemuinya.

Ponselnya yang sedari tadi menyala hanya menampilkan wallpaper biasa, tidak ada notifikasi pesan masuk dari siapapun. Ia bisa bernafas dengan lega, bisa membuat senyum dari bibir manisnya, dan bisa menetralkan detak jantungnya.

Pintu kamar Ara dibuka, Ibu datang dengan senyum lebarnya seperti biasa sambil berkata, "Ra, ini ada Yogi loh."


***

Saya senang dapet masukkan, tapi bakal lebih senang kalo dapat masukkan tentang alur ceritaku, ketimbang tentang PUEBI. Tapi aku terima semua masukkan kok. Terima kasih banyak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

This Life is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang