Enam

12 0 0
                                    

Bus bernuansa biru langit ini memberikan sensasi tenang dan juga nyaman. Sopirnya menyetel musik dengan volume normal, tidak bervolume sangat keras seperti kebiasaan sopir-sopir lain. Sang kondektur pun ramah. Ia sempat memberikan jempol, mungkin sebagai isyarat bahwa semua akan baik-baik saja, Yogi sudah tidak di sini. Ara sangat berterima kasih untuk itu.

Yang agak menganggu di bus ini adalah penumpang di sebelah Ara. Ia adalah lelaki yang dari awal memanggilnya "Dek", seakan-akan Ara anak kecil saja. Saat ini lelaki itu sedang terlelap di sampingnya. Tentu saja di sampingnya, memangnya mau di mana lagi? Tidak mungkin berpindah tempat karena kursi telah terisi semua.

Ara mendekatkan tubuhnya ke jendela bus lantaran lama-kelamaan orang yang berada di sampingnya ini semakin dekat dengan Ara. Ingin sekali ia membangunkan lelaki itu, tapi Ara tidak tega melakukannya. Jika dirinya yang dibangunkan saat tidur, ia pasti akan uring-uringan tidak jelas. Karena itulah, Ara terpaksa menutup mulut dan mengamankan tangannya agar tidak membangunkan orang di sampingnya.

Perjalanan sudah memakan waktu berjam-jam, rasanya seperti bertahun-tahun. Terlebih Ara tidak tahu sedang berada di kota apa ia sekarang, dan ia enggan untuk bertanya kepada siapapun. Ara memilih untuk menunggu ada sebuah sekolah atau gedung-gedung formal lain, berharap terpampang dengan jelas nama kota di mana ia berada sekarang.

Ara merasa bus yang ditumpanginya berhenti, saat itu juga lelaki di sampingnya terbangun dari tidur.

"Yok yang mau ke toilet, makan atau istirahat ayok turun. Lima belas menit, ya!"

Aku harus ke toilet lalu membeli makan sekarang juga, batin Ara.

"Mau turun?" tanya lelaki itu, suaranya khas suara orang baru bangun tidur.

Ara hanya berdeham, lalu dengan malas lelaki itu mempersilakan Ara untuk keluar dari singgahsananya.

Setelah turun dari bus, gadis itu menghirup udara sedalam-dalamnya lalu terbatuk lantaran ia menghirup asap pengendara lain. Tak ingin berlama-lama, ia langsung pergi ke toilet sambil menutup hidungnya. Tak disangka, toilet yang ia tuju ternyata penuh. Sepertinya hanya ada toilet ini di sekitar sini, entahlah mungkin ada toilet lain tapi Ara sangat malas mencari karena pasti akan memakan waktu yang lebih panjang, sedangkan ia harus cepat-cepat.

Ara memutuskan untuk pergi membeli makanan dahulu, memanfaatkan waktu yang hanya lima belas menit itu. Jangan sampai ia tertinggal bus hanya karena dirinya lelet. Selepas membeli beberapa roti dan camilan, Ara kembali ke toilet. Celaka! antrean yang sudah memanjang kini kian memanjang. Tak ada cara lain selain menunggu mereka yang kebanyakan adalah ibu-ibu. Ara tak bisa membayangkan jika ia menyerobot antrean, bisa-bisa kena amukan the power of emak-emak.

Satu persatu entrean memendek, tapi tetap saja sepertinya waktu ia mengantri sama saja masih lama. Berharap saja ia tidak ditinggal oleh rombongan. Wakti terus bergulir, begitu juga dengan antrean hingga kini lebih pendek dari antrean tadi.

Dari tempat ia duduk, gadis itu bisa melihat beberapa ibu-ibu datang berbondong-bondong memasuki area toilet. Dengan sigap Ara berdiri tepat di pintu toilet, ia hanya takut jika ibu-ibu itu tidak mau mengantre, jika tak mau mengantre itu akan sangat membahayakan dirinya.

"Duh, Mbak, nanti saya duluan, ya?"

Nah loh, belum apa-apa salah satu ibu langsung meminta jatah antre dari Ara. Tidak bisa dan tidak akan bisa Ara biarkan.

"Maaf, Bu, tapi nggak bisa. Soalnya—"

"Mbak, tapi saya tuh ke sini karena kebelet pipis!"

Yang bilang mau balapan sama Rossi juga siapa, Bu? batin Ara.

"Saya juga, Bu. Sudah, Bu. Saya masuk dulu!" Dengan tubuhnya yang ringan, ia memasuki toilet dengan cepat, lalu merasa sudah aman dari teror ibu tadi.

This Life is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang