Delapan

8 0 0
                                    

Dengan earphone di telinga, volume musik yang full, gadis ini merapatkan outer rajut yang dipakai, sesekali menahan rok yang tertiup angin, meski rok yang dipakai cukup panjang.

Udara siang ini cukup cerah namun cukup banyak juga angin berdatangan, menyapu rambut kecokelatannya dan menggugurkan dedaunan kering di sekitar tempat ia duduk. Daun kecoklatan seperti rambutnya itu membuat tempat ini seakan agak-agak seperti sedang musim gugur.

Beberapa remaja umur anak Sekolah Menengah tengah bercerita riang bersama teman-temannya di tempat duduk seberang. Lain lagi, ada yang sibuk dengan hasil jepretan kamera miliknya. Semua terlihat bahagia dengan kegiatan masing-masing tampak tanpa ada beban di kepala mereka. Akan tetapi, sudah menjadi rahasia umum jika semua orang pasti memiliki masalah, hanya saja mereka tidak menunjukkan hal tersebut di depan orang lain.

Maka dari itu, Ara tidak boleh merasa iri dengan mereka. Daripada iri, akan lebih baik fokus saja ke masalah sendiri. Namun, hal tersebut bisa membuatnya pusing tidak ketulungan. Ara makin bingung dengan langkah yang harus ia lakukan. Tidak mungkin berdiam diri, tapi ia tak punya kekuatan untuk maju ke depan. Yang ia rasakan hanya pusing dan lelah.

Ara mengecilkan volume musiknya yang sangat keras itu. Lantaran lama-kelamaan kupingnya terasa sakit meski yang ia setel adalah lagu-lagu slow. Setelah mengecilkan volume, ia menaruh ponsel di saku rok kotak-kotak sebetuisnya, lalu pergi meninggalkan taman yang membuatnya tak kepanasan siang ini.

'Jangan ke rumah ... jangan ke rumah ... jangan ke rumah ...,' batin Ara. Segala pemikiran-pemikiran negatif selalu muncul di otaknya saat ia memikirkan rumah.

Suara indah terdengar dari perutnya yang kosong sedari pagi. Ia tak sempat sarapan, lagi pula ia tak bernafsu makan. Bahkan, tak ada satu makanan pun yang masuk ke dalam perut sejak kemarin malam. Ia boleh sedih, boleh banyak masalah, tapi jangan sampai mati kelaparan.

Ara melihat ke sekeliling, mencari warung makan, atau warung mie ayam, makanan kesukaannya atau penjual makanan apapun, tapi tidak ada. Yang ada hanya stand-stand jajanan masa kini seperti burger, aneka minuman boba, dan jika ada burger, tak lupa dan biasanya ada kebab. Semua berhuhungan dengan sayur, Ara malas.

Ara mengatur nafas lalu menyeberangi jalan saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah menyala. Ia mendekati stand burger dan kebab.

"Lha aku ra turu blas mambengi. Sumpah Mas, ra ngapusi aku."

"Mikiri opo? Wedokan? Mending turu nek aku."

Sesampainya di sana, Ara merasa terganggu dengan obrolan dua lelaki yang duduk di kursi dekat stand tersebut.

"Ora. Tapi iyo, tapi ora. Mikiri skripsi ra rampung-rampung, mumet aku." Dua lelaki tersebut masih bercengkrama dengan cukup keras.

"Mba, antre ya, duduk dulu silakan soalnya ada tiga pesanan belum dibuat," ujar si penjual dengan ramah. Ara hanya mengangguk lalu duduk di sana, lalu mengeraskan volume musiknya.

Ara berharap mas-mas yang menjual cepat-cepat menyelesaikan tugasnya, karena Ara sudah ingin cepat pergi dari sini.

"Yo wis, aku lanjut yo, wong sibuk iki," kata salah satu di antara dua orang tersebut. Dilihat dari perawakannya, lelaki itu jauh lebih tua. Perkiraan kisaran akhir dua puluhan.

"Sip, Mas! Sesok rene meneh yo, tak kei gratis terus pokoke," jawab lelaki satunya sambil terkekeh, lalu menatap temannya yang pergi itu sampai menaiki motor dan pergi dari sekitar sini.

Setelah temannya pergi, barulah lelaki itu tersadar jika ada orang lain selain mereka. Orang lain tapi bukan orang lain.

"Ara? Hah? Ara?" Lelaki itu terlihat kebingungan sendiri.

Ara yang tadinya tengah menekan-nekan ponsel kini menoleh ke sumber suara. "Loh? Adam? Kok?"

Si penjual melihat mereka berdua seakan sedang menonton drama India di mana sebentar lagi akan ada lagu-lagu yang terdengar.

"Ara kamu lagi ngapain eh di sini?" tanya Adam masih tidak menyangka.

"Lagi senam. Ya beli jajan," jawab Ara. "Aku tau kamu orang Jogja, tapi kukira bukan sekitar sini," lanjutnya.

"Sama, kukira juga kamu bukan orang sini. Wah malah deket dong kita, enggak nyangka sumpah."

"Jauh-jauh aja, kamu berisik banget kalo ngobrol, mengganggu ketenangan, tahu! Kayak ini punya lo aja." Ara mengomentari sikap Adam tadi, yang membuatnya tidak nyaman.

"Eh? Tadi keras banget, ya. Sorry ... sorry, suka kelepasan sama temen." Adam menjawab sambil terkekeh, sedikit merasa bersalah.

Tak ada jawaban dari Ara, ia kembali sibuk dengan ponsel, padahal hanya scrolling timeline. Jangan harap ada chat, apalagi dari mantannya. Adam pun bingung mau menanyakan hal apa, ia bingung mencari topik. Di sana hanya ada suara kompor menyala.

Adam kemudian berbisik ke penjual, lalu kembali duduk di dekat Ara. "Pulang ke mana, Ra."

"Enggak pulang," singkatnya.

"Oh, masih mau jalan-jalan?" tanya Adam yang masih ingin berbasa-basi dengan gadis itu. Basa-basi biasa seperti yang ia lakukan kepada orang lain, entah orang baru atau orang lama.

Adam hanya kurang suka situasi sepi yang terkesan damai tapi juga terkesan kelam. Ia lebih suka berbicara meski sedikit daripada hanya berdiam diri. Tak heran, ia mengajak siapa saja yang ada di dekatnya, dan cukup memiliki banyak teman. Tak jarang juga ada masalah karena selalu mengajak bicara orang yang salah.

Ara mengangguk, membalas pertanyaan Adam tadi. Ia tampak malas berinteraksi dengan lelaki yang kini di dekatnya itu. Mereka terdiam hingga penjual menyerahkan kebab kepadanya, lalu menyodorkan satu lembar uang berwarna biru.

"Eh, enggak usah, Mbak. Enggak perlu," kata penjual yang berkaos agak kebesaran itu.

Ara mengerutkan dahi. "Kok?"

"Jumat berkah, Mbak," jawabnya sambil agak terkekeh tapi terdengar sangat kaku.

"T-tapi sekarang kan Kami—"

"Kamis berkah!" sahut Si penjual dengan Adam bersamaan. "Udah Ra, rejeki itu. Rejeki dapet kebab gratis," lanjut Adam.

Ara mengerutkan dahi, merasa tingkah lawannya itu sangat aneh. Tanpa banyak bicara lagi, Ara pergi pergi dari kedai tersebut setelah berterima kasih dan pamit ke Adam, lelaki yang bersamanya saat di bus kala itu. Dunia memang sempit, tapi ternyata sesempit ini. Baguslah, ia bertemu Adam, daripada bertemu Yogi.

Gadis ini melanjutkan perjalanan kakinya, ia menengok ke kanan dan kiri, sepertinya ia sudah berjalan cukup jauh. Perjalanan tidak mungkin dilanjutkan dengan berjalan kaki, bisa-bisa ia tidak nyenyak tidur saking lelahnya nanti. Ara memutusnya berjalan sedikit ke arah barat, lalu berhenti di halte Trans Jogja. Meski rumahnya tak tepat di pinggir jalan, tapi masih bisa dikatakan strategis, cukup jalan tiga puluh meter, sudah sampai di rumah kesayangannya.

Tak lama menunggu di halte, Trans Jogja sudah datang dengan isi yang tak terlalu penuh. Masih sisa tempat duduk untuk beberapa orang yang menunggu di halte bersama Ara. Ia menatap ke sekeliling, takut kalau ia mendadak lupa di halte sebelah mana ia harus berhenti.

Terdengar sangat mustahil, tapi tentu tidak mustahil karena Ara pernah mengalaminya. Ia kebablasan satu halte saat pertama mudik dulu. Kesalahan itu tidak akan terjadi lagi, karena Ara pun merasa sangat aneh dengan dirinya kala itu. Jika sampai terjadi lagi, sepertinya ia bisa berkuliah di kampus cukup punya nama adalah sebuah keajaiban dari Tuhan. Ara harus sering-sering bersyukur atas hal tersebut.

***

Haha udah lama banget aku gak update. Aku bakal update lagi meski gaada yang baca, gapapa haha.

This Life is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang