Empat

9 0 0
                                    

Ara pasrah atas semua yang telah menimpanya, mungkin seharusnya memang ia pulang untuk berlibur, bukan menyibukkan diri. Ara juga harus ingat dengan keluarga yang menantinya pulang. Memang, semua masalah ada hikmahnya.

Meski pasrah tapi rasa sakit hati atas masalah tadi masih sedikit terasa. Ia membutuhkan teman untuk mencurahkan hatinya. Tak lain dan tak bukan, teman ceritanya yang juga pacarnya yaitu Yogi.

Ara meraih ponselnya di tas lalu mencari kontak Yogi di sana. Beberapa detik berlalu, belum ada suara Yogi terdengar. Ara mematikan panggilan kemudian menelfonnya kembali. Tak perlu waktu lama, Yogi mengangkatnya.

"Halo, Ra!" sapa Yogi. Mereka memang biasa menggunakan nama sebagai panggilan, tidak seperti pasangan lain yang memiliki panggilan khusus.

"Kamu di mana?" tanya Ara, ia berniat meminta Yogi untuk bertemu.

"Emang kenapa, Ra? Mau ketemu?" Ara tersenyum karena Yogi terkesan peka.

"Iya, bisa enggak?"

"Yah, maaf Ra, enggak bisa. Kalo sekarang enggak bisa, masih sibuk. Paling nanti malam, gimana?"

Ara mengembuskan nafas sampai didengar oleh Yogi. Perasaan tak enak langsung menghantui Yogi saat itu juga.

"Nanti aku jemput, ok? Terus besok janji deh seharian aku sama kamu. Cuma sama kamu, kita pergi ke mana kamu mau, gimana?"

"Ng … boleh deh. Tapi janji ya?"

"Janji! Besok dandan yang cantik, ok? Udah ya, aku dipanggil. Bye Ra, sampai ketemu besok!"

Yogi memutuskan telfon lalu berbincang dengan perempuan yang sedari tadi bersamanya. Sementara Ara menarik napas panjang lalu membuangnya secara perlahan. Ia jadi tak sabar ingin bertemu dengan Yogi.

Gadis sembilan belas tahun itu mengambil notes kesayangannya lalu menuliskan list yang akan dia lakukan bersama Yogi. Beberapa list-nya yaitu : makan bersama; nonton film; ke toko buku; lalu memesan tiket untuk Ara pulang. Ia juga sudah tak sabar ingin bertemu keluarga kecilnya.

Biasanya jika ia pulang, semua anggota keluarga : ayah, ibu, dan adik selalu meluangkan waktu untuk di rumah. Ayah sebisa mungkin pulang cepat dan tak sabar menunggu weekend, ibu mengurangi jadwal gosip-gosip ria, dan adik lebih sering bermain di rumah, sampai hampir semua temannya ia ajak ke rumah.

Kebersamaan keluarga seperti itu selalu menjadi alasan mengapa Ara ingin segera pulang saat awal-awal kuliah dulu. Namun, semakin ke sini ia paham, jika ia rindu terus, kuliahnya bisa terganggu dan tak akan membuat bangga orang tua.

Ara membaringkan tubuhnya di kasur lalu memejamkan mata agar cepat tidur. Daripada menunggu Dinar—yang katanya akan ke sini—sambil berdiam diri, lebih baik ia tidur.

Akan sangat bersyukur jika Ara dapat tidur barang seperempat jam saja, lantaran dia sangat susah tidur di siang hari. Gadis itu tidak mudah tidur dalam keadaan bising seperti di kost-nya lumayan dekat dengan jalan raya. Tak hanya itu, suara tangisan dan gorengan ikan pun mendadak terdengar sangat keras kalau ia akan tidur siang.

Semua suara yang ada di muka bumi ini seakan-akan berkumpul menjadi satu, mereka tak rela jika Ara tidur dengan tentram. Alhasil Aryana Atmaja memilih untuk berdiri saja, seperti saat ini. Dengan mata merah dan tatanan rambut yang agak kusut, Ara mencuci mukanya di kamar mandi.

Ponsel Ara berdering, pertanda sebuah telfon datang di ponsel hitam pipih itu. Ara yang baru keluar kamar mandi langsung menyambar ponselnya. Sebuah nama singkat tertera di layar : Ibu.

"Halo, Ra."

"Halo, Ibu!!" Ara terlihat senang sekali mendapat telfon dari seseorang yang telah melahirkannya itu.

This Life is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang