Bab 2

4.7K 531 15
                                    

Happy Sunday

Cerita full version sudah diupload di Karyakarsa ya. Playstore menyusul.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akun Karyakarsa: Carmenlabohemian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akun Karyakarsa: Carmenlabohemian

Luv,
Carmen

_________________________________________

Maxton Montgomery berdiri di depan salah satu jendela tinggi di kamarnya di penthouse miliknya yang berlokasi di Fifth Avenue, Manhattan. Ia menatap pemandangan dari salah satu jalan paling sibuk di New York tetapi dari ketinggian ini, ia tak menangkap suara apapun, hanya lampu-lampu yang menghiasi kota di tengah kegelapan, bangunan-bangunan yang menjulang dan jalan-jalan lebar dengan mobil yang lalu-lalang seperti miniatur-miniatur kecil berwarna-warni.

Ia kemudian mengangkat gelas kristalnya dan meneguk Scotch berusia 100 tahun itu. Cairan tersebut menuruni tenggorokannya dengan lancar, menghangatkannya dan ia merasakan sensasi terbakar menyenangkan di dalam perutnya. Lalu ia menatap bayangannya sendiri yang terpantul dari kaca jendela yang menjulang dari lantai ke langit-langit penthouse-nya.

Di usia ke-35, Maxton memiliki tubuh yang dengan mudah membuat para pria seusianya menjadi iri. Bahkan mungkin banyak pria yang jauh lebih muda darinya juga akan menatapnya iri. Ia menyukai gym dan berolahraga adalah cara termudah untuk membuatnya rileks dan mengeluarkan segala keruwetan serta tekanan pekerjaannya. Dan itu memberikan hasil yang sangat positif pada tubuhnya, tubuhnya kencang, dengan otot-otot kuat dan kulitnya yang sehat berwarna kecokelatan alih-alih pucat. Saat ini ia hanya mengenakan sepasang celana pendek yang menggantung rendah di pinggang, memamerkan otot-otot perutnya yang kuat dan indah dengan sebaris rambut dari dada hingga mencapai ke balik celananya. Rambut di kepalanya sewarna dengan rambut di dadanya, sama-sama sehitam arang. Bedanya, rambut di kepalanya terpotong rapi oleh salon ternama.

Ia menatap kembali bayangannya di kaca jendela, sebagian dari wajahnya tertimpa cahaya dan tak terlihat jelas, tapi ia tahu ia memiliki wajah tampan yang menawan. Sejak berusia 15 tahun, Maxton sudah terbiasa menjadi pusat perhatian dan para wanita sudah sibuk mengejarnya, sampai saat ini, hal itu tak berubah.

Bukannya Maxton merasa keberatan. Ada sisi baiknya juga, ia jadi tidak kekurangan seks. Selalu saja ada wanita yang bersedia naik ke tempat tidurnya. Kapan saja, di mana saja ia menginginkannya. Tapi… senyum masam tersungging di bibirnya. Sayang, wanita biasanya tidak bisa dipercaya, apalagi setelah mereka berhubungan seks dengannya, para wanita itu biasanya akan pelan-pelan menunjukkan sifat asli mereka. Tamak, dangkal dan egois. Mereka biasanya berpikir bahwa setelah tidur bersama, mereka akan memiliki semacam kuasa ke atas Maxton dan mulai mencoba menguasai hidupnya. Huh! It won’t happen, not with him.

Tatapan Maxton lalu berpindah ke pantulan kamar di belakangnya. Ruangan kamar itu berpenerangan lembut, berasal dari lampu dinding dan cahaya kecil dari perapian listrik. Dua buah kursi kulit nyaman berlengan lebar diletakkan di kanan kiri perapian dengan sebuah meja kopi marmer di tengahnya. Selimut garis-garis biru abu tersampir di salah satu pundak kursi, di atas dudukannya yang empuk terdapat koran yang dibacanya sore kemarin.

Di dinding panjang lainnya di kamar tersebut, terdapat sebuah meja mahagoni mengilat yang mencerminkan maskulinitas pemiliknya dengan sebuah cermin besar tergantung di atasnya. Di atas meja itu tersusun rapi sederet jam tangan Rolex milik Maxton, beberapa botol parfum, sekotak manset emas dan kebutuhan mendasar lainnya.

Di atas meja itu juga terdapat sebuah patung pahat dari kayu ek berkualitas tinggi, hasil karya seorang seniman ternama yang selama ini dikagumi Maxton. Bentuk pahatannya selalu memberi kesan maskulin tetapi lembut, seperti patung itu, yang membuat ruangan kamar menjadi sejuk dan tenang, sebuah tempat pribadi yang bisa mengobati kelelahan Maxton setelah hari yang panjang.

Mata Maxton kini bergerak ke arah ranjang berukuran king di dinding terjauh. Kepala ranjangnya yang terbuat dari kayu ek mengilat menutupi dinding itu hingga mencapai langit-langit.  Tapi perhatian Maxton terarah pada sang wanita yang telanjang di tempat tidurnya, selimutnya yang tersingkap mempertontonkan tubuh polos yang terpentang di atas ranjang besar itu. Posisi wanita itu menggiurkan, satu kakinya tergantung di ujung ranjang, seolah memanggil Maxton agar cepat mendekat.

Tapi sayangnya, saat melihat wanita itu, Maxton tak merasakan apapun, ia tak bisa merasakan apapun. Gairah apapun yang tadi dimilikinya untuk wanita itu telah menghilang. Sebenarnya ia nyaris tak mampu memberikan performa sampai ia memaksa pikirannya untuk beralih pada… seseorang yang lain. Jadi ia menunggangi wanita itu dengan membayangkan wanita lain dan itu rasanya seperti siksaan, ia meledak puas karena wanita di dalam bayangannya, sekaligus kesal dan marah pada dirinya dan juga pada wanita yang tak mampu memuaskannya itu.

Diam-diam, Maxton mengutuk dirinya sendiri. Tatapannya kembali teralih balik pada pemandangan kota di bawahnya. Ini benar-benar tidak bisa diterima. Dari mana datangnya gairah tak pantas dan terlarang itu? Wanita itu adalah satu-satunya wanita yang disadari oleh Maxton terus-menerus ada dalam pikirannya beberapa bulan ini, seseorang yang semakin banyak dipikirkannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu mengisi fantasinya belakangan ini, padahal wanita itu adalah wanita yang terlarang untuknya. She is off limits! But why! Maxton menyadari bahwa semakin sulit baginya untuk mengontrol pikirannya sendiri.

“Maxton, Baby¸ come back to bed.”

In The Bed with Her BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang