Bab 9

3K 551 17
                                    

Kisah lengkap ada di Playstore dan Karyakarsa.

Luv,
Carmen

_________________________________________

Sisa minggu berjalan seperti biasa, dengan rutinitas normal yang biasa, kecuali Maxton yang bersikap sangat kaku dan sensitif. Sedikit kesalahan dan pria itu akan langsung marah-marah. Sementara Sabrina juga semakin gugup ketika Hari Sabtu kian dekat.

Selama ini, ia tidak pernah pergi ke acara sosial manapun dengan bosnya. Sabrina tidak pernah pergi ke manapun bersama Maxton kecuali bila itu menyangkut tentang urusan pekerjaan. Tapi sebelumnya juga, pria itu tak pernah mengajaknya. Jadi ini cukup mengejutkan. Tapi mungkin saja Maxton memang sedang membutuhkan seorang pendamping, mungkin para wanita yang dikenalnya memiliki halangan dan dia terpaksa meminta bantuan Sabrina. Mungkin itu juga yang membuat Maxton agak sensitif beberapa hari ini.

Dan Sabrina tentu saja tidak akan sanggup menolak permintaan Maxton. Ia bahkan membelanjakan sejumlah uang yang lumayan besar nominalnya demi mendapatkan gaun dan sepatu rancangan desainer – Sabrina tentu tidak ingin membuat bosnya itu malu. Sepertinya, apapun demi Maxton, Sabrina akan melakukannya dengan sepenuh hati. Miris! Ia bahkan pergi ke spa untuk menambah rasa percaya dirinya, melakukan pedicure dan medicure, kemudian lanjut ke salon untuk menata rambutnya dan kembali ke apartemennya untuk bersiap-siap.

Ketika pria itu membunyikan bel pintu apartemennya tepat jam 7, Sabrina menarik napas dalam dan berusaha menenangkan dirinya sebelum membuka pintu. Berdiri di depannya adalah Maxton dalam balutan tuxedo Italia hitam mahal yang dijahit khusus untuknya, dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilan Maxton sempurna dan Sabrina merasa sulit bernapas tatkala menatap pria itu. He's damn gorgeous dan membuat Sabrina semakin gugup. 

Begitu gugup sampai-sampai Sabrina tidak tahu harus mengatakan apa dan alih-alih menyapa pria itu, ia menyentuh rambutnya yang sudah ditata oleh stylist profesional dan dengan canggung bertanya, "Ugh... apakah rambutku sudah rapi?"

"Tentu saja."

Lalu Sabrina melihat mata pria itu bergerak dari atas ke bawah, dengan pelan dan penuh penilaian dan tatapannya membuat perut Sabrina mengetat. 

"You look wonderful, Sabrina," puji pria itu dengan suara dalamnya yang serak. Dan entah kenapa, Sabrina merasakan sensasi gelitik yang menjalari tubuhnya. 

"Kuharap cocok untuk acaranya?" Sabrina terdengar ragu. 

Lalu dilihatnya Maxton tersenyum. "Sabrina, you are perfect. As always. Jangan cemaskan hal yang tak perlu."
Sabrina harap juga demikian. Ia menghabiskan anggaran yang besar untuk penampilannya malam ini, karena ia tak ingin membuat Maxton kecewa dan malu. Sabrina mengenakan gaun sutra maroon dengan model bahu terbuka, yang mempertontonkan bahu mulus Sabrina dan sedikit jalur dadanya. Gaun itu seksi tetapi elegan, membuat pemakainya bisa tampil percaya diri tanpa khawatir memperlihatkan terlalu banyak kulit terbuka. Gaun itu panjang hingga mencapai lutut, memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna, sebanding dengan jumlah uang yang harus Sabrina keluarkan. Ia memadukan gaun itu dengan sepasang sepatu tali hitam berhak tinggi yang juga baru dibelinya khusus untuk menemani Maxton ke acara penggalangan dana ini.

Sementara itu, rambut hitamnya yang halus dibentuk menjadi cepol indah dengan beberapa helaian ikal yang sengaja dibiarkan jatuh membingkai wajahnya. Riasan wajahnya tipis dan alami, tapi menekankan bentuk dan warna matanya yang indah serta bibir penuhnya. Aroma parfum yang ringan terciun dari tubuhnya. Sabrina tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Maxton ketika melihatnya, betapa pria itu terpesona dan harus susah payah menahan diri. Namun aroma parfum Sabrina membuat pria itu sedikit goyah. Seandainya saja Sabrina tahu... 

"Terima kasih."

Suara Sabrina sedikit bergetar. Ia sedang menatap wajah Maxton, memandang ke dalam mata pria itu dan tatapan bosnya itu membuat Sabrina merasa resah. 

Lalu Maxton tersenyum kembali dan ekspresinya kembali seperti biasa. 
"Oke. Kau siap? Kita berangkat sekarang?"

"Ya, sebentar, aku akan mengambil tas dan selendang. Then we're ready to go."

Sabrina berbalik dan kembali ke dalam, menuju meja di foyer lalu meraih tas tangan dan syal kasmir hitam. Ia bergerak untuk menyampirkan syal itu ke punggung dan bahunya tatkala Maxton menghentikannya. Dengan lembut, pria itu menarik syal dalam genggaman Sabrina. 

"Izinkan aku, Sabrina."

Suara dalam pria itu, yang serak dan berat, kembali mengantarkan sensasi gelitik ke sepanjang tulang punggung Sabrina. Entah kenapa, suara Maxton kali ini seperti belaian. Perut Sabrina kembali mengetat saat pria itu menyampirkan syal ke bahu telanjangnya lalu tersenyum padanya melalui cermin rias di dinding sementara tangan-tangan kuatnya berlabuh di kedua bahu Sabrina, meremasnya lembut. "Kau cantik, Sabrina."

Jangan ditanya tentang jantung Sabrina. Detakannya begitu cepat hingga nyaris meledak. Ia menelan ludah susah payah, berusaha menemukan suaranya tapi hanya mampu berbisik, "Terima kasih."

Mereka bertatapan melalui cermin itu hingga rasanya Sabrina tak mampu bernapas, ia merasa sesak dan tercekik. Untungnya, pria itu memutuskan tatapan mereka. 

"Let's go."

In The Bed with Her BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang