Bab 11

3.1K 607 33
                                    

Another sneak peek. Kisah lengkap ada di Playstore dan Karyakarsa.

Seri keduanya juga sudah upload di Karyakarsa.

Kalian bisa dapetin paketnya juga, akan lebih murah sedikit.

Enjoy

Luv,
Carmen

__________________________________________

Setelah makan malam, acara dilanjutkan dengan sesi pelelangan. Sebagian besar dari hasil pelelangan ini nantinya akan disumbangkan ke yayasan amal yang berfokus membantu anak-anak di Benua Afrika.

Selama acara lelang, Maxton duduk sangat dekat dengan Sabrina sehingga ia praktis bisa mencium aroma pria itu. Bahkan pria itu meletakkan satu tangannya di sandaran belakang kursi Sabrina dan Sabrina bersumpah, pria itu dengan santai memainkan helaian-helaian rambut Sabrina yang jatuh di sekeliling wajahnya. Sabrina tidak tahu apakah ini sesuatu yang normal bagi Maxton? Apakah pantas? Ia adalah karyawan pria itu. Dan...dan... perlakuan Maxton pada Sabrina membuatnya sulit bernapas. Tubuh bagian dalam Sabrina bergetar dan ia tak berani menatap Maxton. Ia hanya duduk kaku di kursinya, mengatur napas dan menenangkan dirinya sambil mendengarkan para tamu berebut harga dengan benda-benda yang dilelang.

Maxton membeli beberapa macam item, salah satunya lukisan yang dikagumi Sabrina, lalu kemudian kalung emerald cantik yang membuat Sabrina terpana saat pertama kali melihatnya. Ia cukup terkejut karena Maxton menawar dengan harga yang lumayan tinggi dan kalung itu langsung menjadi miliknya. Tapi bagi Maxton, harga tersebut bukanlah jumlah besar bagi pria itu. 

Setelah acara pelelangan berakhir, musik orkestra mulai dimainkan dan Maxton kemudian mengajak Sabrina untuk berdansa. Ia ingin menolak tapi tak bisa menemukan alasan yang tepat. Terpaksa, ia membiarkan Maxton menyeretnya ke lantai dansa. Tubuh Sabrina menegang saat pria itu mendekatkan tubuh mereka dan memeluknya lebih erat dari yang seharusnya dilakukan oleh seorang bos pada karyawannya. Ini benar-benar tak pantas. Tapi Sabrina tak menemukan kekuatan untuk menolak. Tubuh Maxton yang besar dan hangat menyebarkan getar sensasi ke tubuh Sabrina dan melemahkan sistem saraf di otaknya. Ia jadi tidak bisa berpikir waras. 
 
Dan sia-sia saja jika Sabrina berharap pria itu melonggarkan pelukan. Alih-alih memberi Sabrina sedikit ruang untuk bernapas dan rileks, Maxton malah menariknya semakin erat. Yang membuat Sabrina nyaris pingsan, Maxton tiba-tiba merendahkan kepalanya dan menyurukkan wajahnya di lekukan antara bahu dan leher Sabrina. Tubuh Sabrina kembali menegang saat pria itu menarik napas dalam, seolah ingin mengisi paru-parunya dengan aroma Sabrina lalu dia berbisik, begitu dekat dengan telinga Sabrina, suara pria itu rendah dan seksi, terdengar berat serta dalam. 

"Kau benar-benar cantik, Sabrina." Napas Maxton berhembus membelai kulit Sabrina juga helaian-helaian rambutnya. Tubuh Sabrina langsung berdesir, bulu romanya berdiri pelan, tubuh dalamnya bergetar dan gairah mulai mengaduk di tengah perutnya. Perasaan apakah ini? Demi Tuhan, ini sungguh tak pantas.

"Max... Maxton..." Suara Sabrina kecil, tercekik. 
Maxton pasti menyadari ketegangan Sabrina tapi dia berpura-pura tak mengerti. "You look so good. Good enough to eat." Lalu dia terkekeh. 

Kata-kata Maxton yang tak pantas diucapkan oleh seorang bos membuat kepala Sabrina pusing. Sensasi menyergapnya ketika bayangan akan kata-kata Maxton menjelma menjadi ribuan fantasi. Tapi ia bersikeras bahwa ini hanya sekadar pujian basa-basi. 

"O... Okay, thanks."

"Hmmm... " gumam pria itu sebagai jawaban. Tapi tangan Maxton mulai bergerak, mengelus punggungnya pelan, dengan gerakan melingkar yang ringan, pelan-pelan bergerak hingga nyaris menyentuh bokong Sabrina. 

"Max... Maxton!"

"Relax," bisik Maxton dan lengan-lengannya kembali memeluk Sabrina erat. Kali ini, ketika pria itu menekankan tubuh Sabrina padanya, ia bisa merasakan ereksi Maxton dengan jelas, kali ini tidak ada lagi keraguan. 

Oh Lord, apa yang harus Sabrina lakukan? 

Ini sungguh tak pantas. 

Ingat Alan, try to remember him, Sabrina. 

Sabrina tahu itu tak mungkin berhasil. Tapi ia berusaha... ia berusaha menghadirkan bayang Alan tapi... 
Satu-satunya yang mengisi semua fokus dan pikiran Sabrina adalah pria yang kini tengah memeluknya. 

Bosnya. Maxton Montgomery. Pria yang diam-diam membuat Sabrina jatuh cinta. Bagaimana ia bisa mengingat pria lain ketika Maxton tengah memeluknya seperti ini? 

Rasanya lama sekali sebelum lagu itu berakhir dan dansa mereka ikut berakhir. Baru pada saat itu Maxton memberi Sabrina sedikit celah untuk bernapas saat dia menjauhkannya dan menciun dahi Sabrina lembut. Sabrina masih tercengang, otaknya tak mampu memproses apapun tatkala Maxton menggiringnya kembali ke tempat duduk. 

Pria itu lalu meninggalkannya sejenak untuk mengambil kalung dan mengatur pengantaran dari dua lukisan dan dua buah patung pajangan yang dibelinya. Lalu mereka meninggalkan pesta tersebut. Dalam perjalanan pulang, pria itu menjadi lebih banyak bicara dan Sabrina sibuk menanggapi hingga ia tidak sadar ke mana tujuan mereka. Saat mobil berhenti dan Sabrina keluar, berpikir bahwa ia sudah tiba di gedung apartemennya, ia kaget ketika menemukan dirinya berdiri di bawah gedung tempat pria itu tinggal. Dengan heran, Sabrina menoleh untuk menatap pria itu. 

"Ke... kenapa kita berada di penthouse-mu? Kupikir kau tadi bilang kau akan mengantarku terlebih dulu?" tanya Sabrina. 

"Aku berubah pikiran. Aku ingin berbicara denganmu sebentar, ayo, kita bisa minum sambil mengobrol."

Sabrina tidak tahu apa yang bisa mereka bicarakan di tengah malam seperti ini. Ia menatap Maxton ragu tapi Sabrina juga tidak bisa menolaknya. Siapa tahu ini menyangkut tentang pekerjaan. Jadi pun ia mengikuti pria itu naik ke penthouse-nya. 

In The Bed with Her BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang