Happy Saturday
Selengkapnya bisa didapatkan di Playstore dan Karyakarsa.
Boleh follow akun saya di Karyakarsa: carmenlabohemianEnjoy
Luv,
Carmen___________________________________________
Setelah menyelesaikan makan malam mereka, Alan mengingatkannya akan janji sembrono yang tadi diucapkan oleh Sabrina. Ia tidak punya pilihan selain membiarkan pria itu mengantarnya pulang lalu mengundang dirinya sendiri masuk. Bagaimanapun, mungkin sudah waktunya. Mereka sudah berkencan beberapa kali, rasanya akan aneh dan mencurigakan jika ia terus-menerus membuat alasan dan menolak Alan mendatangi apartemennya.
Well, Alan adalah kekasihnya. Sabrina harus mulai menyadari hal itu. Dan bukankah ia sudah memberitahu dirinya sendiri berkali-kali, bahwa Alan adalah pria yang tepat dan Alan terang-terangan berkata bahwa dia mencari hubungan yang serius, yang artinya pria itu tidak berniat untuk bermain-main dengan Sabrina. Alan adalah pilihan yang tepat, pria itu tidak jelek, karirnya juga bagus, dia masih muda dan juga ambisius. Iya, iya, Sabrina sudah memberitahu dirinya sendiri berkali-kali, tapi ia harus mengulanginya lagi malam ini karena setelah bertemu dengan Maxton tadi, pendirian Sabrina sedikit goyah.
Ini adalah pertama kalinya terjadi, Maxton memergokinya bersama seorang pria dan walau Sabrina tahu pria itu tak peduli, tapi entah kenapa ia merasa seperti mengkhianati pria itu. Selama ini Sabrina sangat tertutup dengan kehidupan pribadinya lebih karena ia tidak mau Maxton tahu tentang pria-pria yang pernah hadir sekilas dalam hidupnya.
“…brina… Sabrina!”
“Yes!
Alan tertawa saat melihat reaksi Sabrina. “Ada apa? Apa kau gugup, Sabrina?”
Pria itu maju untuk membelai rambutnya dan Sabrina tahu apa yang diinginkan oleh Alan. Jantungnya berdegup begitu kencang sehingga ia nyaris tuli. Ia harus melakukan sesuatu. Ia menolak Alan pelan dan menjauhkan diri. “Kau mau minum kopi? Aku punya kopi yang enak di dapur.”
Ia baru saja akan melarikan diri ke dapur ketika Alan menyentak lengannya dan sedetik kemudian, Sabrina menemukan dirinya ada dalam pelukan pria itu. Aduh Tuhan, apa lagi sekarang?
“A… Alan?”
Ia mendongak dan ini adalah kesalahan. Pria itu juga sedang merunduk menatapnya. “Sabrina, kau tak perlu gugup.”
“Gu… gugup?”
Pria itu tersenyum dan pikiran Sabrina yang sinting langsung membandingkan senyum pria itu dengan senyum Maxton. Tapi Maxton sedang memeluk wanita lain malam ini, pikirnya pahit.
Lalu kenapa kau tidak boleh, Sabrina? Jangan tolol. Perasaanmu pada Maxton tidak memiliki masa depan. Kalau Alan… lain lagi ceritanya.
Ia terpaksa membenarkan. Jadi ketika pada akhirnya Alan menunduk untuk menciumnya, Sabrina membiarkannya. Sabrina tidak menikmatinya tapi ia membiarkannya, sama seperti ia membiarkan pria itu merebahkannya di ranjang dan menciumi rahangnya, lehernya, membuat tanda di sana sehingga Sabrina meringis pelan karena pedih lalu tangan-tangan pria itu naik ke dadanya, meremas kuat sebelum beranjak menunjuk deretan kancing blusnya.
Sabrina membiarkannya, menutup mata dan berusaha menikmati. Mungkin satu malam bersama Alan akan membuatnya mampu melupakan perasaan tak mungkinnya pada Maxton. Bagaimanapun, Sabrina lebih memilih karirnya daripada menghabiskan satu malam di ranjang Maxton, tak peduli seberapa besar perasaannya pada pria itu.
Sabrina mungkin tidak akan meminta Alan berhenti dan membiarkan pria itu melepaskan blusnya jika saja ponselnya tidak tiba-tiba berbunyi. Ia menyetel nada dering yang berbeda khusus untuk Maxton karena dengan begitu, ia akan langsung tahu apabila pria itu menghubunginya. Maxton pernah berkata bahwa Sabrina harus selalu mengangkat panggilannya, tidak peduli kapan dan di mana, karena masalah-masalah penting mengenai pekerjaan sama sekali tidak mengenal tempat dan waktu. Dan bila Maxton sampai menelepon di luar jam kerja, itu berarti penting!
Refleks, ia langsung mendorong wajah Alan menjauh, begitu juga tubuh pria itu. Alan mengerang kesal lalu menyumpah kecil.
“Ada apa, Sabrina?”
“Telepon. Aku harus mengangkatnya.” Ia terburu bangun dan mengancingkan kembali kancing teratas blusnya.
“Biarkan saja, for God’s sake!”
“Penting.”
Saat ia bangkit dari ranjang, Alan menahan lengannya agak keras dan menatapnya kesal. “Apa yang begitu penting?!” bentak pria itu dan membuat Sabrina membeku terkejut. Namun dering ponsel yang kembali berbunyi membuat Sabrina kembali sadar. Ia tidak menjawab pria itu dan berlari untuk mengangkat panggilan Maxton.
“Ya?”
‘Kenapa napasmu memburu?’
“Ya, Maxton? Kenapa kau meneleponku?”
‘Kau baik-baik saja?’
“Iya.”
Hening sejenak. Lalu…
‘Oke. Aku cuma mau bilang kalau aku berubah pikiran. Kau akan pergi bersamaku Sabtu ini, ke acara Clarkson.’
“Huh?”
‘Kau dengar aku?’
“Ap… apa yang terjadi pada Kelly Whitterson?”
Terdengar decakan tak senang dari seberang saluran. ‘Sudah kubilang aku berubah pikiran dan kau tak perlu tahu alasannya.’
“Oke.”
‘Dan Sabrina...’
“Ya?”‘Kau tak perlu terburu mengambil keputusan, kau tahu? Jangan terburu tidur dengan pria kalau kau tak benar-benar menginginkannya. Siapa tahu besok kau akan menyesal.’
Wajah Sabrina memerah saat mendengar suara dalam Maxton. Apa hak pria itu membahas kehidupan pribadinya? Maxton tak pernah seusil itu sebelumnya. “Itu… itu bukan urusanmu!”
‘Aku tahu, aku hanya mengingatkan. Kau bisa mengusirnya sekarang sebelum terlambat. Bilang saja, kau perlu datang ke kantor, urusan mendesak. Menurutku, Alan bukan pria yang baik dan sama sekali tidak cocok denganmu.’
“Selamat malam, Maxton.” Sabrina langsung menutup telepon. Ia merasa ia tak perlu mendengar lebih lagi.
Tapi pada akhirnya, setelah mematikan sambungan dan menyadari Alan sedang berdiri di belakangnya, Sabrina memutuskan untuk menggunakan trik yang diajarkan Maxton, dengan sedikit improvisasi, tentu saja.
“Siapa? Bosmu?” tanya pria itu, masih terdengar tidak senang.
“Iya, dia… uh, dia memintaku mengerjakan laporan. Harus selesai malam ini juga.”
“So?” Mata Alan tampak meredup kecewa dan Sabrina harap pria itu mau mengerti dan pulang.
“Maaf, Alan. Sepertinya malam ini kau harus pulang cepat.”