4 - Minggat

53 11 0
                                    

Aku bilang, aku tidak ingin menangis. Namun, keran air mataku terbuka. Aku terisak sambil menyembunyikan wajah ke dalam bantal. Untunglah, kamarku memiliki kamar mandi dalam. Aku tidak perlu repot-repot keluar dan bertemu mereka.

"Suri? Mau makan jambu air?"

Aku mengangkat wajah. Mbah Celine berdiri dibalik jendela.

"Enggak ada ulatnya kok."

Dia malah menunjukkan dua buah jambu air berwarna merah ranum.

"Aku tidak mau makan jambu," kataku sambil menyeka air mata. "Aku mau sate."

"Sate? Nih ada."

Aku mengerjab. Sebuah bungkusan sate berada di tangan Mbak Celine. Aku tahu, dia sering berpura-pura menjadi pembeli. Tetapi malah tidak membayar kepada penjual. Entah, mungkin saja dia membayarnya. Namun, uangnya telah berubah menjadi daun.

"Aku enggak mau makan dari setan. Nanti berubah jadi aneh."

Wajah Mbak Celine berubah cemberut. Dia pasti ingin memukulku. Sayang, dia tidak bisa masuk ke dalam rumah. Tunggu, aku seperti teringat sesuatu.

"Ini sate asli. Bukan dari pasar ghoib. Kamu ambil gih. Jangan lupa baca doa sebelum makan. Aku enggak akan ngapa-ngapain kamu."

Aku ragu. Kebaikan Mbak Celine pasti ada maksud tertentu. Aku skeptis. Menolak sate pemberian Mbak Kunti.

"Pagi masih lama." Dia kembali berujar. "Kamu bisa pingsan jika tidak makan malam ini. Percaya padaku. Aku juga enggak berani ganggu kamu. Lumo tidak akan membiarkan itu. Ayolah, Suri. Kamu harus makan. Ya, kecuali kamu mau mati karena kelaparan. Enggak masalah, masih ada dahan kosong di pohon jambu. Kamu bisa memilih tempat yang kamu mau."

Aku terbelalak. Nama Lumo meluncur dari bibir Mbak Celine. Buru-buru, aku membuka jendela kamar. Angin malam seketika berhembus masuk.

"Lumo? Kamu kenal Lumo?"

Wajah Mbak Celine berubah memerah semu.

"Kenal. Kamu pikir aku buta? Aku masih bisa melihatnya."

"Di mana?"

"Dalam dirimu?"

"Siapa dia?"

"Pendampingmu."

"Kenapa kamu enggak pernah bilang?"

"Aku? Emm, kurasa aku pernah bilang."

Mbak Celine tampak berpikir. Lalu dia memberikan bungkusan sate ke arahku. Sikapnya masih malu-malu kucing. Aku menoleh ke belakang, berusaha melihat hal yang dilihat Mbak Celine. Tetapi, tidak ada apa pun di sana.

"Aku tidak bisa melihat Lumo," ucapku kecewa. Entah siapa dia, aku malah jadi penasaran.

"Memang. Kamu tidak akan bisa melihatnya. Lumo belum mengizinkan." Mbak Celine menatapku muram. Aku jadi berpikir, bahwa dia baik padaku karena Lumo.

"Jadi, ini alasannya?" godaku untuk memancing. "Kunti sejenismu kalau baik. Pasti ada maunya."

"Hey!" Mbak Celine tampak tersinggung. "Suri, kamu jahat banget. Aku memang baik kok. Cuma ya, namanya cinta. Enggak ada yang salah bukan? Aku hanya berjuang untuk itu. Dasar tidak berperikemanusian."

Mbak Celine terbang dan duduk kembali di pohon jambu tetangga. Sikapnya yang merajuk mirip Nurul. Tetapi, tatapan matanya tidak bisa berbohong. Dia terus mencuri pandang pada sesuatu.

Kelas Malam (Elite Only)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang