12 - Teman Sekamar

32 6 0
                                    

Kuhempaskan tangan si Kepala Buntung dan berlari sekuat mungkin. Aku ingat kata Nurul. Tidak ada hantu luar yang bisa masuk. Kecuali izin dari Kaivan. Aku tidak percaya, kalau Kaivan mengutusnya untukku.

Selepas makan malam. Aku kembali ke kamar dan melanjutkan tugas dan belajar. Besok adalah sabtu, aku tahu itu akan jadi hari yang membuat Ibu kian benci padaku. Kemungkinan besar, dia akan datang ke sekolah lagi. Aku tidak ingin ibu mengamuk di sini. Pak Igun mungkin memperingatkan ibu. Bukan tidak mungkin, ibu akan mendengar. Aku kenal ibuku sendiri.

Segalanya baik-baik saja. Sebelum aku menyadari kamar mulai panas dan pengap. Suara-suara berdengung terdengar samar-samar. Aku memutar badan dari meja belajar. Ku amati seisi kamar dengan seksama.

"Aku tidak menggangumu. Jadi, kenapa kau menggangguku?"

Tidak ada yang terjadi. Hawa panasnya semakin meningkat. Aku memilih tidak peduli. Memikirkan ibu sudah cukup membuatku sakit kepala. Aku tidak ingin menambah beban pikiran. Jika Icarus ingin menjahiliku. Aku akan berpura-pura tidak peduli dan terpengaruh.

Kemudian jendela kamar terbuka lebar. Angin berhembus kencang sampai aku harus menahan buku-bukuku. Dibalik pepohonan, sepasang mata merah mengintip. Cahaya bulan separoh cukup menerangi tubuhnya yang separuh dari tinggi orang dewasa.

Alisku bertaut. Tampaknya ada yang aneh di sini. Sudah dua hantu luar sekolah masuk ke wilayah asrama. Anak kecil bermata merah mungkin kenalannya Gatam. Gatam saja tidak bisa masuk. Mengapa dia bisa?

Aku beranjak menutup jendela. Hawa di kamar berubah kian aneh. Di tambah, suara tawa pria yang membuat bulu kudukku berdiri.

"Hai, Suri."

Aku terperangah. Si Kepala Buntung berdiri santai dengan bersandar di balik pintu.

"Pergi dari sini!"

"Kau tidak bisa mengusirku."

"Kulaporkan kau pada Kaivan."

"Ini bukan wilayah Kaivan."

"Jadi? Kau berbohong soal Kaivan? Icarus yang menyuruhmu?"

Si Kepala Buntung berdecak. Aku tidak paham, bagaimana caranya. Di mana mulut dan matanya? Dia seharusnya tidak bisa melihat. Aku mengambil buku paket, siap mendaratkan benda itu ke lehernya.

"Begini, Suri. Kudengar kau suka membantu entitas seperti kami?"

"Tidak." Aku menggeleng. Kepala buntung berdiri menjulang di depanku. Aku menyipitkan mata pada lehernya.

"Kau membantu Nurul dan Gatam."

"Nurul temanku."

"Bagus. Aku juga mau jadi temanmu. Sekarang, mari kita lihat. Aku ingin kau membantuku."

Aku mengeram. Kupukul lehernya dengan kuat menggunakan buku. Kepala buntung melangkah mundur. Dia menyumpah kemalangan tersebut dengan cacian nama-nama hewan. Aku berjalan keluar dari meja belajar.  Lalu kupukul terus badannya.

Dia harus berpikir ulang, jika ingin menggangguku. Ini kamarku, secara resmi telah menjadi kamarku. Aku tidak suka dia di sini, apalagi dia laki-laki. Bagaimana pun, ini kamar perempuan. Terlepas dia manusia atau makhluk astral.

"Suri!" Buku di tanganku terlepas. Kepala Buntung menahan kedua tanganku. "Dengar, aku butuh bantuanmu."

"Sudah kubilang aku tidak mau!"

Aku berontak. Kutendang-tendang kakinya dengan kuat. Seharusnya ini tidak terjadi. Mereka semua tidak berwujud padat seperti manusia. Anehnya, hal itu tidak berlaku di sini. Aku juga tidak paham alasannya.

Kelas Malam (Elite Only)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang