Di tengah pelajaran fisika. Pak Igun memanggilku keluar dari kelas. Dari tatapan beliau. Tampaknya, ini ada hubungan dengan Ibu. Aku mengganguk muram. Aruna memberiku tepukan semangat dalam diam, sedangkan Rexilan malah mengacungkan tangan dan minta ikut ke ruang guru. Sayangnya, Pak Igun tidak mengizinkan. Rere memberikan tatapan layang pada Rexilan dan seisi kelas yang mulai berbisik-bisik tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Di ruang guru, aku gemetaran. Jantungku berdebar panik. Ibu tidak datang sendirian. Dia datang bersama Om Burhan yang tersenyum lebar padaku. Pria itu menggenakan kemeja batik cokelat, rambut ubannya disisir rapi dengan minyak rambut, kumisnya pun dicukur tipis. Aku menjadi jijik melihatnya. Pria itu lebih cocok menjadi kakekku. Tetapi, Ibu berpikir berbeda hanya karena dia juragan galon dan gas elpiji.
"Nah, anak pembakang," ujar Ibu yang berdiri dari kursi. Dia menatap Pak Igun dengan sinis. "Anak ini akan aku bawa pulang. Kalian tidak bisa menahannya."
"Itu jika Suri ingin pulang." Tangan Pak Igun menahan bahuku. "Mr. Saar akan datang. Tunggu sebentar."
Ibu mendengus, dia lantas menghampiriku dan menarik paksa tanganku. Aku berontak dan Ibu menampar pipiku dengan keras. Bu Azzah bergegas panik menarik Ibu menjauh. Aku terlalu terkejut untuk bereaksi. Pipiku seperti terbakar. Para guru menatapku dengan iba.
"Anak kurang ajar! Suri! Aku ini ibumu. Beraninya kau kurang ajar? Kau pikir, kau ini hebat? Aku yang mengandung dan melahirkanmu! Jangan bersikap goblok dengan meminta gurumu menolongmu. Kau bukan anak sultan. Mereka tidak akan bisa membantumu. Cepat pulang dan berhenti sekolah. Om Burhan akan menjadi walimu."
Aku menggeleng. Aku tidak mau pulang dan menjadi istri kedua Om Burhan. Istri pertamanya akan menindasku seperti dia menindas istri-istri mudanya yang lain. Aku hanya akan dinikahi secara sirih. Aku tahu itu, semua orang tahu tentang keluarga Om Burhan. Dan dia juga bukan Om kandungku.
"Suri?" Aku mundur selangkah. Aku tidak sudi menatap tangan Om Burhan yang ingin menyentuhku. "Ngapain sih sekolah? Jika Suri dengan Abang. Kehidupanmu akan terjamin. Suri mau apa? Abang akan kasih semua. Kamu enggak malu? Orangtuamu datang ke sini dan membuat keributan."
Aku ingin muntah, rasa mual dan pening menghantam kepalaku. Dia harus sadar diri. Bisa-bisanya dia menyebut dirinya seperti itu.
"Aku tidak mau menikah denganmu!" seruku lantang. "Dan Ibu, aku ini anakmu. Bukan barang, aku sekolah di sini juga pakai beasiswa. Jadi, seharusnya tidak masalah. Kalau Suri ingin belajar dan menuntut ilmu."
"Oh, Suri." Ibu menyeringai. "Kau ingat? Biaya sembilan bulan mengandungmu, melahirkanmu dari bayi sampai sekarang. Kau pikir, kau sudah cukup membalas semuanya? Kau ingin aku mengucapkan jumlahnya di depan guru-gurumu?"
Aku menggeleng. Ibu keterlaluan. Lalu dia menambahkan. "Kau ingin ibu berbicara soal ini di depan teman-teman sekelasmu?"
"Tidak!" Aku menjerit. "Tolong, jangan lakukan itu."
Ibu tersenyum. Ya, senyum kemenangan karena berhasil membuatku terpojok. Ibu memberikan lirikan mata agar aku menjauh dari Pak Igun. Aku tidak punya pilihan, aku tidak mau dipermalukan lebih dari ini. Ibu sulit dilawan.
"Tidak, Suri." Pak Igun menggeleng, waktu aku meliriknya. "Kamu harus sekolah. Tunggu sebentar."
"Maaf, Pak." Aku menunduk. Aku tahu, beliau sudah berjuang keras membantuku. Apalagi teman-temanku, semua orang baik di dalam ruangan ini termaksud Bu Azzah yang masih bersikap waspada pada ibu. Mereka bukan keluargaku, tetapi orang-orang inilah yang berjuang untukku
Rasanya sesak dan tidak adil. Aku selalu bertanya-tanya, kenapa aku harus dilahirkan untuk menderita. Seharusnya, ibu membunuhku saat aku masih janin. Paling tidak menitipkanku di panti asuhan atau membungkusku dalam plastik sampah. Kurasa semua itu akan baik-baik saja. Penderitaanku mungkin berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Malam (Elite Only)
ParanormalBerada dalam satu universe yang sama dengan Senayan Express dan Fake Eskul. Mereka menyebutnya kelas malam. Anak-anak SMA Jagad Raya menyebut itu adalah kelas para roh sekolah yang bersemayam. Jika seorang dari kelas siang mendapatkan surat undang...