9 - Kamar

28 7 0
                                    

Asrama kelas tiga berada sedikit jauh dari rumah utama. Tetapi, kalau melihatnya dari ketinggian. Bangunan bergaya victoria itu pasti terlihat jelas dari kamar mereka.

Gedung itu dibangun dari bata merah yang setiap kamar memiliki balkon kecil. Bangunannya masih menggambarkan sentuhan Eropa. Tamannya terawat dan ada gazebo kecil di sudut halaman. Di dalamnya, ada tumpukan kardus yang dibiarkan begitu saja.

Kami naik ke lantai tiga asrama dengan diiringi tatapan heran anak-anak kelas dua belas. Mr. Saar menemani kami sampai di lantai yang di maksud. Rere bergerak gelisah sejak kami berjalan ke sini. Dia menggumam tentang angker pada Aruna dan aku di belakang punggung Mr. Saar.

Aku tidak paham, bagian mana yang angker. Asramanya bersih dan ramai. Aku sama sekali tidak melihat jejak etintas lain di sini. Tidak, mungkin saja ada. Namun, belum terlihat.

Kami tiba di depan pintu kamar nomor empat. Kamar itu berdebu. Namun cukup luas. Ada tempat tidur yang menempel di dinding. Lemari kayu tua dan meja belajar. Di pojok dekat pintu masuk adalah pintu kamar mandi dalam. 

"Peralatan bersih-bersih ambil saja dipojokkan koridor." Mr. Saar memberitahu. "Di lantai ini ada Sisca yang bertanggung jawab. Kalau sudah selesai. Kalian harus segera pulang sebelum Malik mengunci gerbang." Mr. Saar menatap Rexilan dan yang lain.

"Terima kasih," ucapku tulus. "Em, anu … Mr. Saar. Apa, maksudku. Biaya huninya akan dibebankan ke mana?"

Mata hitam Mr. Saat menatapku tajam. Dia tersenyum tipis sambil berkata, "Tidak ada biaya. Kamu murid beasiswa. Anggap saja, ini salah satu kebutuhan darurat kalian."

Rere menyiku pinggangku dengan menyengir. Aku meringis, lalu menatap Mr. Saar yang berjalan pergi. Kami berbagi tugas. Rexilan dan Excel membersihkan laba-laba dan jendela. Aku membenahi kamar, meja, dan lemari

Sedangkan Rere menyapu dan mengepel. Sisanya, Aruna yang membersihkan kamar mandi. Melihat mereka bekerja keras seperti ini. Aku berjanji di dalam hati bahwa aku harus membalas hutang budi ini suatu hari. 

Pekerjaan itu bahkan selesai lebih cepat. Rexilan dan Excel kembali bersama seorang siswi. Mereka bertiga tampak akrab.

"Hoo, jadi kamu yang namanya Suri." Sudah bisa dipastikan dia adalah Sisca yang dimaksud Mr. Saar.

"Benar. Kak Sisca?" tanyaku balik.

Dia menatap seisi kamar dengan waspada. Wajahnya cukup bersahabat, dia memang tersenyum. Tetapi binar matanya terlihat mencurigakan.

"Kira-kira, sejak kapan kamar ini kosong?" Aku memberanikan diri memancing pertanyaan. 

"Eh, kamar ini?" Sisca berubah kikuk. Dia menatap Rexilan yang masuk dan duduk di meja belajar.

"Melihat debunya. Tampaknya sudah lama tidak berpenghuni." Rexilan ikut menimpal. Wajah Sisca semakin resah.

"Ya, cukup lama kurasa. Jika ada perlu sesuatu. Ketuk aja pintu kamarku. Salam kenal ya, Suri."

Sisca melambai dan meninggalkan kami. Aku bahkan yakin, dia menjaga kakinya tidak melangkah masuk ke dalam kamar.

"Kamar ini pasti berhantu." Rere tiba-tiba bercelutuk. Dia melirikku, mungkin khawatir aku tidak jadi menginap. "Bagaimana Rex?"

"Selain berdebu. Aku tidak merasakan ada aura yang mencekam di sini. Bau-bau entitas lain tidak tercium."

Rexilan benar. Aku pun sama sekali tidak merasakannya. Kamar ini tampak normal. Terlalu normal untuk sesuatu yang dihindari.

"Suri, jika kamu merasa ada yang janggal. Infokan saja pada aku atau Excel. Kami akan segera mencari tahu ini. Ah, tidak." Rexilan menjentikkan jari. "Kurasa, Otniel mungkin tahu sesuatu."

"Sependapat." Excel menimpali. "Tapi, teman-teman. Sebaiknya kita bergegas pulang. Gerbang akan segera ditutup."

"Kalian harus segera pulang," ucapku, "terima kasih atas bantuannya. Aku benar-benar sangat berterima kasih."

Rere dan Aruna memelukku untuk yang terakhir kali. Rexilan memberiku tatapan penuh arti. Aku mengganguk atas perhatiannya dan Excel menepuk pundakku, memberi semangat seperti biasa.

Sisca mengetuk kamarku selepas magrib dan mengajakku menuju lantai dasar. Dia menceritakan bahwa jam makan malam dimulai pukul tujuh, sarapan pukul enam dan makan siang gratis di kantin seperti biasa.

Aku bertemu banyak kakak kelas. Rata-rata memandangku penuh ingin tahu. Tidak ada intimidasi yang mempertanyakan keberadaan siswa kelas sepuluh di asrama. Mungkin, setiap penanggungjawab sudah mendapatkan informasi untuk dibagikan kepada seisi asrama oleh Mr. Saar.

Aku berdiri di belakang Sisca menimba makanan yang menunya adalah olahan seafood. Lalu ikut makan bersama teman-temannya. Yang kutahu, mereka sekelas di kelas bahasa dan anggota klub renang. 

Sebagian besar, aku menjadi pendengar yang duduk manis. Hingga perempuan yang kulitnya lebih gelap berkomentar, "Langsung panggil Sisca bila terjadi sesuatu padamu di kamar. Dia akan segera menolong. Tapi, Elsa yang di depan kamarmu juga bisa membantu."

Dia menunjuk seorang perempuan yang tertawa di meja lain.

"Beb, kita tidak harus membicarakan ini di sini." Sisca mengingatkan dengan nada penuh penekanan.

"Ya, tidak bisa dijelaskan."

"Kamarnya terkutuk, ya?" kataku sambil menyelesaikan suapan terakhir. "Kamarnya terbengkalai cukup lama. Debunya menebal."

"Tidak pernah dihuni sejak lima tahun lalu."

Meja tiba-tiba bergoyang kasar. Kami semua menatap Sisca. Dia tampaknya sengaja menendang kaki seseorang di bawah meja. "Intan!" 

"Kita semua waswas, Sis. Kami rasa Mr. Saar cukup sinting membiarkan anak ini."

Intan tampaknya berusaha memberitahu sesuatu yang terlarang. Sisca menyelesaikan makanannya. Lalu mengajakku kembali ke kamar. Dia tidak berbicara lagi, setelah kami meninggalkan ruang makan. Kubiarkan dirinya mengantarku sampai depan pintu kamarku.

"Aku tidak mengunci kamarku malam ini." Sisca memberitahu. "Jadi, kau bisa menerobos. Selamat malam, Suri."

"Em, malam."

Sisca pasti tahu, sesuatu akan terjadi malam ini. Di tengah malam barangkali. Intan juga sudah memperingatkan. Aku masuk ke dalam kamar. Berdiri dibalik pintu dengan seksama.

"Siapa pun kamu, bila kamu sudah menetap di sini. Jangan ganggu aku, karena aku juga tidak akan menggangumu. Mari hidup berdampingan sebagaimana mestinya."

Kukatakan itu lalu mencuci kaki, menyikat gigi dan berganti dengan baju tidur. Lampu juga dipadam. Aku tidak bisa tidur dengan cahaya menyilaukan.

Kupeluk guling sambil menghadap dinding. Lalu, kurasakan sesuatu sedang naik di atas kasur. Berat tubuhnya sangat terasa dibalik punggungku.

Kadang-kadang, aku juga merasa takut. Jantungku berdebar kencang. Entah bagaimana, makhluk ini seolah menungguku berbalik. Kurasakan lampu mendadak menyala, lalu mati. Menyala, mati lagi. 

Aku mencoba mengabaikannya. Memaksa diri untuk tidur. Tidak peduli, dia mau apa. Asal bukan sesuatu yang berbahaya. Kemudian aku bermimpi, tetapi rasanya tidak juga. Samar-samar aku mendengar, "Tutup matamu. Semuanya akan baik-baik saja selama ada kami."

Kelas Malam (Elite Only)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang