8- Teman

34 7 0
                                    

Rexilan bilang. Pintu UKS dan papan tulis sekolah adalah portal menuju dimensi tersebut. Aku tidak heran, soal papan tulis. Karena, benda itu menjadi stasiun Otniel keluar masuk kelas.

Rexilan membiarkanku menangis di depan kelas bahasa astral. Citra di dalamnya berubah-ubah. Aku yakin, melihat ada sekumpulan tentara Jepang menyeruak masuk. Lalu berganti dengan remaja-remaja pasca kemerdekaan. Rasanya, seperti melihat orang tua dulu belajar sebelum mengenal media sosial.

"Suri. Kamu sudah cukup lega menangis?"

Aku mengganguk. Menatap kemeja Rexilan yang sudah tidak berbentuk. Dia memegang telapak tanganku dan membawaku menembus papan tulis kelas sebelas bahasa. Rasanya tidak berbeda jauh dengan menembus pintu UKS.

Kami tahu-tahu muncul di kelas sebelas waktu manusia. Dua siswi yang sedang duduk di meja pojok menatap kami dengan terkejut. Lalu mereka mengerjab seperti orang linglung dan kembali sibuk dengan gadget masing-masing.

"Apa itu barusan?" tanyaku saat kami keluar dari kelas.

"Kabut memori," jawab Rexilan. Aku mengerutkan kening.

Di koridor, suasana masih sama seperti saat kami melarikan diri lagi. Jam istirahat masih berlangsung. Seingatku, kami sudah berjam-jam di dunia astral.

Rexilan menuntunku mengambil jalan memutar dari aula untuk memantau ruang guru. Aku gugup, jika Pak Igun menemukan kami. Kemudian, kami menyelinap ke dalam kelas melewati parkiran dan menutup pintu.

"Kalian pacaran?"

Johan yang duduk di meja guru tersenyum jahil. Pandangan matanya menurun pada telapak tanganku yang digenggam Rexilan. Buru-buru, aku melepaskannya.

"Wah." Dia semakin tersenyum lebar. "Cie, Suri dan Rexilan pacaran. Ini harus dirayakan. Ye,ye,ye. Kita pesta."

"Berhenti menggoda Suri." Rexilan menegur. "Apa kamu melihat Pak Igun ke sini?"

"Tidak."

"Bagus, berdiri di luar dan pantau itu untuk kami berdua."

Johan menatap heran padaku dan Rexilan silih berganti. Aku memberinya tatapan nyalang, jika dia berani menggodaku lagi. Untunglah, Johan cukup tahu diri dan menuruti kalimat Rexilan. Dia keluar dari kelas dan berjaga di depan.

"Suri. Aku rasa, kita tidak bisa sembunyi. Kamu harus menceritakan ini pada Pak Igun. Kurasa, beliau pasti mau mendengar."

"Boleh, asal tidak ada Ibu di sana. Wanita itu akan melakukan intervensi."

Rexilan menatapku penuh minat. Tampaknya dia ingin bertanya soal ayahku. Jadi kuceritakan, kalau aku punya ayah tiri. Ayah kandungku entah tinggal di mana. Aku tidak mengetahuinya karena Ibu tidak memberitahu. Ayah juga dilarang berkunjung tanpa izin Ibu.

Kalau kuingat lagi. Seharusnya, Ibu membiarkanku pergi bersama Ayah. Satu-satunya alasan dia masih menahanku karena aku adalah jaminan masa depan Safira. Itu yang membuatnya masih menginginkan aku tetap di rumah.

Aku menceritakan singkat kehidupan naasku pada Rexilan dengan cepat. Awalnya aku malu. Namun, aku lebih malu melihat Ibu di sekolah. Keterangan Ibu akan menimbulkan rumor aneh tentang diriku. Oleh karena itu, aku ingin teman-temanku tahu apa yang terjadi. Sebelum mendengar hal tersebut menyebar dari ruang guru.

"Tunggu di sini. Aku akan keluar sebentar."

Aku tidak menolak usul tersebut. Aku duduk di mejaku sendiri dan menatap hampa buku-buku yang bertececeran di atasnya. Aruna masuk bersama Rere. Keduanya melihatku yang bertanya mengapa mataku bisa bengkak.

"Kami dengar, Pak Igun tadi mencari kalian. Aku rasa, kamu dan Rexilan tidak mungkin buat sesuatu yang salah, 'kan?"

Setelah berteman dengan Rere. Aku jadi bersikap terbuka dalam berpendapat. Rere memang terlihat seperti anak yang suka merisak orang lain. Tetapi itu tidak benar. Dia memang ketus, galak dan suka menyebalkan. Di lain sisi, dia sangat peduli oleh teman-temannya.

Aku memberanikan diri. Kembali menceritakan apa yang terjadi. Dengan fakta menyembunyikan soal menembus pintu dan papan tulis.

Aruna dan Rere tidak berkomentar. Aruna langsung memelukku dengan terisak, sedangkan Rere berjuang keras menahan air mata yang membendung di telapak tangannya.

Rasanya semua beban di pundak terangkat. Aku tidak pernah kepikiran berbagi kisah hidupku yang menyedihkan.

"Aku akan minta pamanku untuk mencari tentang ayahmu. Pamanku punya koneksi untuk mencari orang."
Aruna menawarkan diri, setelah aku cukup tenang untuk diajak berbicara lagi.

"Tidak akan sempat, besok adalah harinya." Aku pesimis, jika Ibu tidak mendapatiku sekarang. Dia akan menunggu sampai bel pulang berbunyi.

"Akan kuusahakan. Punya nama lengkap ayahmu itu sudah cukup."

Aku mengganguk. Mempercayakan itu pada Aruna. Rere pergi memeriksa Rexilan. Saat mereka kembali, aku diminta menghadap Pak Igun dan Bu Azzah di ruangan konseling. Aku izin jam pelajaran ketiga.

"Jadi, begitu?" komentar Pak Igun setelah aku menceritakan yang sebenarnya. "Ibumu bilang kamu minggat karena membangkang disuruh di rumah. Bapak enggak tahu, kalau kamu disuruh menikah dini. Jadi, bagaimana nih Bu Azzah? Kami tadi sepakat bahwa saya akan mengawasi Suri dan mengantarnya pulang. Tinggal di ruang klub tidak baik."

Bu Azzah menatapku iba. Jelas, aku menceritakan soal tempat minggatku secara jujur. Aku tidak ingin dikasihani. Itu terasa beban. Namun, aku juga tidak akan menolak bantuan.

"Kita harus cari ayah anak ini pertama. Kedua, Suri bisa tinggal bersama Ibu sementara waktu. Bagaimana?"

Aku menggeleng. "Suri tidak mau bikin repot, Bu."

"Ibu mengerti. Ibu akan bicara sama Mr. Saar. Mungkin ada kamar kosong di asrama belakang."

Itu tawaran yang sangat mengharukan. Aku mengganguk semangat. Tidak masalah, jika ada biaya tambahan di luar beasiswa. Aku akan mencari uang untuk itu.

Bu Azzah memelukku. Kemudian Pak Igun mengantarku kelas. Anak-anak lain memandang penasaran soal apa yang tadi terjadi. Aku beruntung, Rexilan dan Rere mengambil alih menjelaskan situasinya tanpa membeberkan hal sebenarnya.

Setelah jam usai. Rexilan, Excel, Aruna dan Rere menemaniku menunggu Bu Azzah di depan ruangan kepala sekolah. Rexilan menawarkan diri untuk sebelumnya mengambil barang-barangku di rumah utama. Aku berharap, Kaivan tidak berbicara tentang yang terjadi di antara kami.

"Suri." Begitu Bu Azzah keluar. Kami semua seketika mengerumuni beliau.

"Bagaimana, Bu? Apa Suri bisa dapat izin tinggal?" Rere berharap cemas. Sebuah hal yang semakin menamparku untuk tidak menilai orang dari luar.

"Ayo, Bu. Kalau Mr. Saar tidak mau bantu. Aku bakal teror beliau sampai rumahnya." Rexilan ikut-ikutan menambah. Kalau sebelumnya dia tidak membantu. Aku akan bilang dia sangat nakal. Excel terpaksa diberi tahu situasi yang terjadi.

Dia cukup tenang sambil menepuk pundakku. Aku tidak keberatan, kalau dia tahu. Bagaimana pun, dia dan Rexilan seperti surat dan perangko.

"Mr. Saar bilang boleh." Senyum Bu Azzah membuatku ingin menangis haru. "Sayangnya semua kamar itu penuh. Kecuali kamar di lantai tiga. Nomor empat. Kalian bisa menemani Suri bersih-bersih di sana. Mr. Saar dan Pak Igun, akan berusaha menghubungi ayah kandung Suri."

Aku memeluk Bu Azzah dengan tangis. Aku tidak peduli, kalau kamar itu terkutuk atau bekas gudang.

Aruna dan Rere ikut memeluk. Rexilan yang ingin nimbrung ditarik paksa oleh Excel. Karena kemejanya kotor, dia memakai kaos olahraga yang ia simpan di dalam loker. Dan Rexilan beruntung. Tidak ada yang menanyakan dia melakukan itu. Kecuali Johan, yang dijawab Rexilan karena bajunya dicuri kelas malam.

__/_/_/_
Tbc

Kelas Malam (Elite Only)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang