Bisa kusampaikan, pagi ini aku terbangun dengan tidur nyenyak. Aku memperhatikan setiap benda. Tidak ada yang berpindah, rusak atau hilang. Cahaya matahari pagi bersinar terik menembus kamar. Tampaknya, aku mendapat kamar yang menghadap ke arah timur.
Aku membiarkan pintu kamar terbuka dan para penghuni di lantai empat berkumpul di depan kamarku dengan tatapan beragam saat mereka hendak turun. Aku sendiri sudah siap untuk berangkat ke kelas. Ini hari sabtu, ada banyak hal yang harus aku lakukan.
"Tidurmu nyenyak?" Sisca bertanya dengan sorot tidak percaya.
"Nyenyak."
"Tidak mengalami mimpi buruk?"
"Aku tidak bermimpi apa pun sampai pagi."
Jawabanku tampaknya tidak memuaskan semua orang. Sisca mengganguk paham dan mengajakku turun bersama yang lain. Saat cukup jauh dari asrama dan berjalan melalui setapak. Sisca mulai menceritakan sesuatu.
"Ada pantangan sebelum siswa tiga tinggal di asrama. Seperti kelas malam yang menghuni kelas kita. Di asrama, ada makhluk seperti itu. Kami menyebutnya Jangan Sebut Namanya."
Aku diam saja mencerna penjelasan Sisca. Seorang tukang kebun berjalan melewati kami. Pria tua itu tersenyum ramah dan memberikan salam pada setiap siswa yang ia temui.
"Ayahnya Bang Malik yang pensiun, Pak Ginanjar." Sisca memberitahu. "Sekarang, jadi pengurus kebun dan halaman belakang sekolah."
Aku berseru o panjang dan lanjut mendengarkannya cerita.
"Jangan Sebut Namanya menghuni kamarmu. Hal itu diketahui lima tahun lalu."
Kami mulai melewati kawasan rumah utama. Aku mencuri pandang ke teras. Beruntung, Kaivan tidak mengajakku mampir semalam di kelas malam. Barangkali, asrama bukan wilayahnya.
"Kamar lantai empat dan lantai tiga awalnya kamar untuk anak laki-laki, sedangkan lantai satu dan dua untuk anak perempuan. Lorong di sana lebih luas sampai dua puluh kamar. Berbeda dengan lantai empat yang sampai sepuluh kamar. Suatu hari, siswa yang menghuni kamarmu kesurupan. Mulanya tengah malam, lalu menjadi lebih sering saat matahari terbenam. Mr. Saar dan yang lain mencari tahu apa yang terjadi. Mereka mencoba mengobati dan memanggil orang pintar. Namun percuma, tidak ada yang efektif. Anak itu menjadi kurang fokus untuk belajar di siang hari. Dia menjadi anak pemurung. Tidak juga mau berbagi apa yang terjadi pada teman-temannya. Lalu diketahui, bahwa dia keluar dari sekolah tidak lama kemudian. Saat itu, Pak Ginanjar menceritakan sesuatu pada anak kelas tiga. Dia menyebut entitas tersebut Jangan Sebut Namanya marah. Siswa itu melakukan sesuatu di dalam kamar. Mungkin demi kelulusannya. Entitas yang tinggal di kamar tersebut merasa terganggu dengan makhluk asing yang datang dari luar sekolah. Jangan Sebut Namanya, mungkin memperingatkannya. Tapi, pemuda itu terlalu bodoh untuk menantangnya balik. Hingga akhirnya seperti itu. Posisi kamar lalu diubah. Sayangnya tidak ada yang mau menghuni kamar itu lagi. Semua orang terlalu takut untuk melihat Jangan Sebut Namanya. Kami juga dilarang membahas mengenai dirinya di lingkungan asrama, bila tidak mau diganggu. Jadi, selama kami mengabaikannya. Dia juga tidak akan mengusik."
Cerita berakhir. Aku berpisah dengan Sisca dengan setumpuk pertanyaan. Makhluk itu tadi malam mengganguku. Mungkin tidak suka ada yang menghuni kamarnya. Namun, entahlah. Mungkin dia hanya ingin berkenalan.
Aku pergi menuju kelas. Disambut anak kelas malam yang mulai bergentanyangan seperti biasa di koridor. Kudapati Otniel sudah berdiri di depan kelas sepuluh. Menatapku dengan tersenyum lebar.
"Hebat," ujar Otniel saat aku menaruh tas di atas meja. Kelas masih sepi.
"Apanya?"
"Kamu tinggal di rumah utama dan sekarang tinggal di kamar Icarus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Malam (Elite Only)
ParanormalBerada dalam satu universe yang sama dengan Senayan Express dan Fake Eskul. Mereka menyebutnya kelas malam. Anak-anak SMA Jagad Raya menyebut itu adalah kelas para roh sekolah yang bersemayam. Jika seorang dari kelas siang mendapatkan surat undang...