"Alaric, gimana persiapan ujian kenaikan kamu? Jangan mentang-mentang libur kamu lengah buat belajar ya." Pria yang mengenakan pakaian setelan kemeja yang terlihat seperti akan berangkat ke kantor kini menghampiri anaknya yang tengah duduk di ruang makan.
"Pah, iya Alaric udah siapin semuanya, aku pastiin kali ini papah gak akan kecewa lagi sama Alaric."
"Papah pegang omongan kamu." Pria itu menarik kursinya, sembari menyatap sarapan bersama Alaric. Walaupun kini Alaric sedang berdua bersama papanya namun mereka sama sekali tidak mengobrol. Hingga mama Alaric datang menghampiri mereka dan memecah suasana.
"Alaric kamu bener mau ikut tanding basket?"
Gak ada hal lain yang dibicarakan orang tua Alaric mengenai dirinya selain kegiatan sekolah. Padahal Alaric juga ingin saat dirinya libur seperti ini mereka membebaskan kegiatannya di luar sekolah.
"Iya ma, itu juga habis selesai ujian." Alaric melihat ke arah mamanya. Sorot mata yang didapati dari mamanya seakan tidak ada bantahan terhadap dirinya.
"Kalau nilai kamu naik dan gak ada yang diatas kamu lagi papah ijinin." Papahnya menyela. Alaric tau akan seperti itu.
"Iya pa."
Setelah menyelesaikan sarapannya Alaric bergegas keluar. Tak seperti biasa walaupun di hari libur hanya untuk main keluar saja dilarang oleh mamanya. Namun, kali ini mereka tidak menentang Alaric. Hanya satu alasannya, karena ia berhasil lolos seleksi ketua Osis. Walaupun hanya pencapaian sederhana dan menjabat sebagai ketua keluarga Alaric sangat menitikberatkan bahwa sebagai penerus Angkasa Group adalah seorang dengan jiwa leadership. Alaric akan bisa belajar dari hal-hal kecil seperti itu. Kenapa bukan kakaknya? Belum lama ini papahnya memperluas jaringan bisnisnya hingga ke luar negeri. Angkasa bisa saja memegangnya karena dirinya sendiri sudah berada di luar negeri. Sementara Alaric, itulah kenapa ia juga harus menjadi seorang sempurna sesuai dengan kriteria papahnya, untuk menjalankan perusahaan yang berada disini.
"Ternyata rasanya jadi orang pintar tuh kayak gini. Sempurna." Alaric meyandarkan tubuhnya pada bangku panjang yang berada disebuah taman kota. Entah apa yang membawanya kemari, ia hanya ingin merasakan udara segar.
"Ternyata kayak gini yang dirasain kak Angkasa, bisa bebas dan gak dikekang. Sekalipun ia dikekang pasti gak akan berat baginya." Alaric menghela nafasnya panjang, menikmati angin yang berhembus.
"Karena ia memang terlahir sempurna." Lanjutnya.
"Gak ada manusia yang sempurna." Suara tersebut membuyarkan lamunan Alaric. Sejak kapan ia memperhatikan Alaric. Sampai-sampai kalimat yang diucapkan direspon olehnya. Alaric menoleh mendapatinya.
"Kayaknya lo udah baikan ya? Udah gak pernah mampir keruangan favorite sekaligus yang lo benci."
Abindra dengan 2 softdrink yang berada ditangannya sebelum ia menyerahkannya kepada Alaric.
"Sejak kapan lo nguping omongan gue." Alaric menyahutnya.
"Gue gak nguping cuman gak sengaja denger." Walaupun mereka sama-sama kenal, namun hubungan Alaric dan Abindra tidak terlalu dekat jika dianggap sebagai seorang teman. Alaric memang dekat dengan dokter Lily, mamanya Abin. Namun, dirinya tidak begitu dekat dengan Alaric. Ia hanya akan bicara seperlunya saja.
"Lo gak pernah ngerasain gimana jadi gue." Alaric meneguk minum yang baru diambilnya dari tangan Abindra.
"Kenapa harus jadi lo kalo jadi diri gue sendiri aja udah cukup." Abin tersenyum miring menatap Alaric. Perkataannya membuat Alaric terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Light
FanfictionTerlalu dituntut untuk menjadi sesuai dengan kemauannya adalah cara yang salah. Karena itu bukan keinginan atas dirinya sendiri melainkan keinginan orang tua yang selalu mengharapkan anaknya seperti harapan mereka.