1 - Farewell

224 31 2
                                    

Kyoto - Musim Dingin

"Nacchan, kenapa melamun?"

Aku terbuyar dari lamunanku akibat suara lembut itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Mengapa aku bisa melamun saat aku berjalan bersama dengannya? Kesempatan ini mungkin tak akan terulang lagi! Ah... aku sungguh menyesali kebodohanku itu.

"Tak apa. Apa yang ingin kau bicarakan tadi?" balasku sembari bertanya. Gadis itu tertawa kecil, tawa yang tak kumengerti artinya dan untuk apa. Kurasa tak ada yang lucu?

"Umm... begini, Nacchan. Aku... akan melanjutkan sekolahku di Tokyo."

Eh?...

Detik itu juga, waktu terasa berhenti. Jantungku terasa berhenti berdetak walau hanya sesaat. Pikiranku tak jernih lagi, aku tak tahu apa yang harus kukatakan untuk membalas perkataannya. Tokyo? Apa artinya itu kami akan...

"Aku diterima di sekolah yang kuinginkan... Jadi saat kelulusan SMP nanti, aku akan pindah ke Tokyo." tuturnya, "Jadi... ada kemungkinan ini terakhir kalinya kita melalui musim dingin bersama. Dan... terima kasih sudah menemaniku di hari ulang tahunku ini."

"Aku..." mendadak tenggorokanku tercekat, membuatku tak mampu mengatakan apapapun. Setelah menghela nafas dan menata kembali emosiku, aku melanjutkan ucapanku, "Aku sangat senang mendengarnya. Akhirnya kau bisa masuk ke sekolah impianmu setelah usaha kerasmu sekian lama. Kau pantas mendapatkannya."

Bohong. Aku sama sekali tidak senang.

"Nacchan?... Kau tak apa?" tanya gadis itu cemas, segera ia mengangkat telapak tangannya dan meletakkannya di keningku, "Kau terlihat pucat..."

"Ah, bukan apa-apa." Aku menepis telapak tangannya, tak lupa tersenyum sebisaku, "Dan, err... Fuyuki-chan, aku..."

Aku...

Lagi-lagi, tenggorokanku tercekat dan kalimatku kembali menggantung. Gadis berlesung pipi itu menatapku penuh tanda tanya, menunggu kelanjutan dari kalimatku. Tak bisa... kurasa aku tak bisa mengatakannya sekarang.

"Aku harus pergi sekarang." ucapku pelan, sebelum memalingkan wajahku dan berlari pergi meninggalkannya. Tidak... kurasa aku tak dapat mengontrol emosiku. Aku tidak boleh terlihat seperti ini di depannya. Itu adalah sekolah impiannya, aku tak boleh terlihat sedih. Aku harus bahagia untuknya.

"Tu-... Tunggu, Nacchan! Aku harus mengatakan sesuatu padamu!"

Sesuatu?

"Ini penting, Nacchan! Tunggu!"

...

Maaf, Fuyuki. Kurasa sekarang aku tak bisa berpikir jernih sekarang. Menunggumu? Untuk apa? Apapun yang kau katakan nantinya, itu tak akan merubah kenyataan kau akan pergi. Meninggalkanku, tak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Aku memutuskan untuk berlari, tanpa tahu arah. Lari, lari, dan lari dari kenyataan. Aku memejamkan mataku, berharap dalam hati agar semua yang kualami hanya mimpi.

"Nacchan! Awas!"

Awas? Mengapa?

Aku menghentikan laju lariku, tak lupa membuka kembali mataku. Otakku memproses secara cepat, menjelaskan apa yang tengah terjadi di sekitarku. Detik berikutnya, aku menyadari diriku tengah berdiri di tengah jalan raya. Dan sedetik yang lainnya membuatku sadar bahwa sebuah mobil silver tengah melaju ke arahku. Jika aku tak bergerak sekarang, aku pasti akan...

Terlambat.

Aku tak dapat menggerakkan kakiku. Aku membeku, menunggu dengan pasrah ajalku yang akan menjemputku beberapa detik lagi. Aku kembali memejamkan mataku, dan bersamaan dengan kelopak mataku yang menutup, bulir air yang hangat terjun membasahi pipiku.

Ah... aku menangis.

Ya... ternyata sampai akhir hidupku, aku masih belum bisa menyatakan perasaanku padanya, meski tadi itu aku memiliki kesempatan untuk mengutarakannya. Aku menyia-nyiakan kesempatan itu, karena nyaliku yang ciut dan diriku yang ingin lari dari kenyataan. Oh sungguh, bodohnya aku.

Tuhan...

Aku selalu bertanya-tanya, apakah yang aku rasakan ketika aku jatuh cinta. Akankah aku bahagia? Ataukah sebaliknya? Akankah kisah cintaku akan seromantis drana ataukah lebih realistis? Dan masih banyak pertanyaam lainnya yang berputar-putar dalam otakku tiap harinya.

Dan hari itu, ketika aku menikmati musim dingin pertamaku ketika aku memasuki SMP, Kau mempertemukanku dengannya. Dengan gadis menawan itu, yang menyejukkan layaknya musim dingin. Hari itu, aku merasakan perasaan itu, dan aku benar-benar merasa bahagia. Luar biasa bahagia, walau hanya saling bertukar pandang dengannya.

Tapi, Tuhan...

Mengapa Kau putar balikkan pemahamanku tentang jatuh cinta hari ini? Mengapa Kau renggut kebahagiaanku hari ini? Mengapa? Apakah Engkau sudah tak sayang lagi padaku, lantas mengabaikanku dan menghancurkanku seperti ini?

Tuhan...

Aku tak punya permintaan lain. Aku hanya ingin... Kau berikan aku satu kesempatan lagi. Walau hanya satu... biarkanlah aku mengutarakan perasaanku yang menggantung ini.

Tuhan...

Apa Kau mendengarku?

.

Gelap.

Apakah aku sudah mati?

Dimana aku? Apakah ini yang dinamakan dunia setelah kematian?

"Hiks... hiks..."

Tangisan?...

Aku membuka kelopak mataku. Silau. Entah mengapa cahaya lampu itu sangat menyilaukan, seperti mataku sudah tertutup sekian lama. Aku berusaha menggerakkan anggota tubuhku yang lain, namun hasilnya nihil. Tubuhku terasa sangat kaku.

"Hiks... hiks..."

Isakan tangis itu kembali terdengar. Dekat sekali, aku tahu itu. Tapi, milik siapa suara tangisan ini?... Mengingat sebelumnya aku telah tertabrak mobil, kemungkinannya adalah aku berada di rumah sakit dan yang menangisiku ini adalah...

Fuyuki?

Tuhan, apa Kau benar-benar memberiku satu kesempatan lagi?

"Daiki-kun?"

Aku mengerutkan keningku. Siapa itu?

"Syukurlah, Daiki-kun... Kupikir kau akan meninggalkanku saat itu!" sebelum aku dapat mencerna apa yang tengah terjadi, mendadak seorang gadis yang tak kukenal memelukku, "Daiki-kun, aku..."

"TUNGGU!" seruku, berusaha menggerakkan tubuhku untuk melepaskan diri darinya, "Apa yang kau bicarakan? Siapa kau? Dan siapa itu Dai-... ah siapalah itu?!"

Gadis itu tersentak. Ia segera melepas pelukannya, dan dengan cemas, ia menatapku lekat-lekat, "Jangan bilang... kau amnesia?..."

Amnesia apanya? Aku mengingat jelas semua memoriku! Aku bukan Dai-.. apalah namanya itu!

"Hmm..." walau raut wajahnya terlihat terkejut tadi, kini ia sudah memasang raut wajah ceria, tak lupa menyimpul sebuah senyum manis, "Kalau begitu, aku akan menjelaskan secara singkat tentang dirimu, kuharap kau akan mengingat sesuatu dari itu."

Gadis itu berdehem sebelum melanjutkan, "Namamu adalah Shikishima Daiki, 21 tahun. Anak kedua dari tiga bersaudara keluarga terhormat Shikishima. Lulus dari TouDai di usia yang relatif muda, dan sudah menjadi guru tetap di SMA unggulan Murakami, mengajar fisika untuk kelas 10 dan 11. Populer di kalangan siswa, dijuluki 'si guru tampan'. Kau mengerti?"

"Yahh... kurang lebih." jawabku, "Aku masih tidak paham sepenuhnya, namun ada satu hal yang paling tidak aku mengerti. Siapa kau? Mengapa kau bisa tahu aku sampai sedetil itu?"

Gadis itu tersenyum pahit.

"Toda Asaki, 19 tahun. Mahasiswa di ToDai." tuturnya, nadanya terdengar melemah. Ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, "Tunanganmu."

Tunanganku?

.

Note:

Halo... Saya author newbie'-' Monggo di kritik/saran lewat comment^^ Jangan lupa votenya yha^_^

One More ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang